R&J 22

630 95 4
                                    

Salah Paham
"Salah paham disebabkan banyaknya sisi pandang yang berbeda. Mungkin, jika memiliki satu pandangan, semua akan salah atau benar bersamaan."

Ia mendecak beberapa kali. Sudah berusaha menghindar, tetapi pemuda itu terus saja menghalanginya dengan motor. Kesal, akhirnya dia menyerah dan berhenti di sisi jalan.

"Gue nggak akan pergi sebelum lo dengerin gue." Pernyataan itu keluar setelah Reynand turun dari motornya. Ia mencegat Joya ketika pulang, meski tahu gadis itu akan menghindarinya seperti tadi.

Gadis itu pun turun dari sepedanya. "Apa lagi?"

Joya malas berbasa-basi, lagi pula, dia merasa semua sudah selesai ketika Maria memintanya untuk menjauh, hal itu sudah cukup jelas meruntuhkan bangunan kokohnya.

"Gue sama Gita itu nggak pacaran. Mama cuma pengen kita dikenalkan, tapi bukan untuk pacaran apalagi lebih. Lagian gue nggak suka sama tu cewek," cerocos Reynand berusaha menjelaskan. Ia menganggap semua ini hanya lelucon, bukan hal serius yang harus ditakutkan.

"Tujuan lo dikenalin itu untuk berteman? Cuma itu? Kalau iya, kenapa tante Maria nyuruh gue buat jauhin lo?"

Pertanyaan Joya sontak membuat Reynand terdiam. Gadis itu benar dan Reynand tidak memiliki jawaban yang dapat mengalahkan pertanyaannya.

"Ok, kalau nggak untuk pacaran, tapi mungkin untuk nikah di masa depan lo nanti setelah wisuda dan kerja," sambung Joya telak. Pernyataan gadis itu sangat menohok Reynand—kenyataannya memang tidak sesepele itu.

"Gue tau itu salah nyokap gue, tapi lo harus tau kalau gue nggak suka sama Gita. Apa lo langsung mau nyerah gitu aja?" Akhirnya Reynand membuka suara setelah diam beberapa detik. Matanya menatap sayu dan penuh kekhawatiran. Pemuda itu takut jika gadis yang dua tahun dia kejar, akan memilih meninggalkannya begitu saja.

"Jadi ... lo mau lawan nyokap lo? Asalkan lo tau, kita masih muda Reynand. Mungkin bener, Gita itu masa depan yang nyokap lo pilih, sedangkan gue cuma kameo di hidup lo."

Ketika melihat Joya hendak pergi, Reynand mencekal pergelangan tangan gadis itu. Kemarahannya kembali lagi, acap kali Joya mengatakan 'terlalu muda' seperti mamanya. "Lo selalu bilang kita masih muda, padahal jelas kita udah mau naik kelas tiga dan berumur delapanbelas tahun, itu bukan muda lagi. Apa masuk kuliah baru lo bilang dewasa? Jangan kayak nyokap gue, Joya."

"Gue cuma berpikir, perasaan bisa berubah kapan pun karena terlalu muda. Masa muda belum ada komitmen, Rey," sahut Joya mengemukakan pendapatnya, sekaligus memberi tahu kecemasan yang selama ini mengusik batinnya.

"Apa harus membuat komitmen, biar lo tau keseriusan gue? Pasti jawaban lo 'masih terlalu muda', iya 'kan?"

Kini giliran Joya yang tidak dapat menjawab pertanyaan Reynand. Memang, Joya merasa terlalu muda untuk serius menanggapi cinta. Namun, memang benar kalau mereka bukan anak kecil lagi, apalagi kini sudah hampir memasuki kelas 3 SMA, sehingga rasa bukan lagi mainan, tetapi sudah memasuki fase yang berbeda.

"Gue terserah ke elo Rey. Intinya, bangunan gue runtuh karena nyokap lo langsung yang meminta gue menjauh."

Reynand menatap penuh kehangatan, dia tersenyum penuh arti. Kedua tangannya menggenggam bahu gadis itu—tidak erat, tetapi membuat Joya larut dalam tatapannya. "Kalau gitu, biar gue bangun lagi bangunannya."

xx

"Makasih, lo udah mau bantuin mengepak barang-barang di butik." Ucapan itu keluar dengan tulus. Lagi-lagi, kebaikan pemuda di depannya tidak dapat ditolak. Ananda Seno membantunya mengepak barang butik ke kardus, padahal pemuda itu datang untuk mengambil baju pesanannya.

Reynand & Joya | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang