Page 6

1.8K 279 7
                                    

Cuaca London pagi ini sangat dingin sekali mencapai 6°C. Perjalanan panjang yang ditempuh selama hampir 15 jam akhirnya berakhir juga. Sheryl mengeratkan syal yang ia kenakan di lehernya dengan erat.

Meskipun sudah memakai mantel panjang tetap saja udara dingin menusuk ke dalam mantel membuat tubuhnya menggigil kedinginan.

Sheryl berjalan cepat menuju mobil yang telah menunggu rombongan mereka. Meskipun ia menghabiskan waktu perjalanannya dengan tidur, tetap saja badannya terasa lelah. Untung saja hari ini mereka diberi waktu bebas dan kegiatan yang sebenarnya baru bisa dilakukan esok harinya.

Gadis itu memilih duduk di kursi paling belakang. Bukan berarti ia menyukai duduk di sana, tetapi ia lebih mengutamakan seniornya. Tubuhnya terasa kaku, ia mencoba memposisikan tubuhnya dengan nyaman. Setelah semuanya duduk, mobil pun melaju meninggalkan airport menuju hotel tempat dimana mereka akan tinggal untuk sementara selama di London.

Saat Sheryl tak sengaja menoleh keluar jendela, ia melihat sosok Stephen yang sedang memasukan barang-barang bawaannya ke dalam bagasi taksi. Pikiran Sheryl menerawang ke hari sebelumnya ketika lelaki itu menjadi teman duduknya selama di perjalanan.

Irene yang mengikuti kemana arah pandang Sheryl di luar jendela sana menyadari apa yang dilihat gadis itu.

Bukankah itu Stephanus aktor terkenal yang sedang naik daun di negaranya?

"Bukannya itu Stephanus, ya?" gumam Irene di telinga Sheryl tiba-tiba mengejutkan gadis itu.

"E-eh, iya, Mbak. Itu Stephanus." jawab Sheryl gugup sambil mengeluarkan ponselnya berpura-pura acuh padahal jantungnya berdegup kencang sekali.

Irene mengangguk, "Bukannya dia teman dudukmu selama diperjalanan, 'kan? Wah, kamu beruntung banget, Ryl, bisa duduk sama artis macam dia! Dia kan lagi famous banget." mata Irene berbinar ketika ia berbicara.

Sheryl tertawa canggung, "Ah, nggak juga, Mbak, hehe... aku ngerasanya biasa saja."

"Kamu sempet ngobrol sama dia nggak, selama di perjalanan?" tanya Irene antusias.

Sheryl menggeleng, "Nggak, Mbak. Dia cuma nanya aku ke London baru pertama kali apa gimana. Sama nanya aku ke sini mau ngapain. Begitu saja." jawabnya jujur.

Irene mengangguk, "Yah... sayang banget, hehehe. Padahal kesempatan banget bisa ngobrol sama artis terkenal. Aduh- kok aku kesannya ndeso banget, ya? Malu aku."

Sheryl tertawa melihat tingkah Irene yang menurutnya manis. Irene ini terkenal dengan sikap yang seperti es. Dingin dan sulit didekati. Tapi baginya, wanita yang sudah ia anggap seperti kakaknya itu wanita yang sangat ramah dan baik sekali. Ia selalu membantu Sheryl ketika gadis itu sedang kesulitan dalam pekerjaan dan hal lainnya. Sosok yang keibuan. Beruntung sekali Juniar, calon tunangan Irene, bisa memiliki calon istri sebaik dia.

Ketika konsentrasi Irene terpecah dengan timnya membicarakan persiapan untuk kegiatan esok hari, Sheryl kembali fokus dengan dunianya sendiri. Aneh, baru sekali ini ia bertemu dengan Stephen tapi rasanya ia sudah mengenal lama. Belum juga ia mengenal laki-laki itu secara keseluruhan, ia merasa bahwa Stephen ini adalah lelaki yang baik. 180° berbeda dari yang sering diberitakan.

Ia bergidik. Bukan karena ngeri. Tidak biasanya ia merasakan hal-hal seperti itu pada seseorang. Nyaman dekat seseorang. Mungkin hanya perasaan sementara saja yang ia rasakan karena ia baru mengenal Stephen. Ia mencoba mengabaikan pikiran-pikiran aneh itu. Ia terlalu lelah bekerja jadi maklum saja pikirannya menerawang kemana-mana. Mungkin....

"Room 4012. Enjoy your stay here, Sir."

"Thankyou." Stephen menerima kunci kamar miliknya dari petugas hotel sembari mengantarkan barang bawaannya ke kamar. Stephen meletakan barang-barang bawaannya di atas tempat tidur, mencoba mengeluarkan isinya dari koper.

Akhirnya ia tiba juga di London setelah menempuh perjalanan panjang. Ia membaringkan badannya yang terasa kaku di atas ranjang. Nyaman. Baru kali ini ia merasa senyaman ini berada di atas tempat tidur.

Setelah bergelut dengan aktivitasnya sebagai aktor papan atas di negaranya, Stephen bisa menghela nafas untuk sementara menikmati liburan sebelum memulai kembali aktivitasnya yang membosankan. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya. Lelaki itu mencoba mencari tempat-tempat wisata yang bisa ia kunjungi selama ia berlibur di sana. Banyak juga daftar tempat yang bisa ia jelajahi.

Ia memutuskan untuk memulai kegiatannya besok dan menggunakan hari ini untuk beristirahat. Perbedaan waktu yang cukup besar antara Jakarta dan London membuatnya terkena jetlag, meskipun tidak terlalu parah karena ia mencoba menyesuaikan waktu tidur dan makannya selama di perjalanan seperti yang diberitahukan Aiden sebelum ia pergi.

Perutnya berbunyi. Terakhir ia makan saat ia masih di atas pesawat. Ia memaksakan tubuhnya untuk bangun dan mencari makanan di luar. Ya, untuk hari ini ia akan menghabiskan waktunya kuliner mencoba makanan yang sedang terkenal di London.

Stephen baru saja keluar dari lift ketika melihat sosok gadis yang ia kenal berjalan bersama beberapa orang yang bisa ia simpulkan mereka adalah teman-teman gadis itu. Gadis itu tertawa riang sambil mengaitkan lengannya dengan salah satu perempuan berkacamata sambil berbicara yang dibarengi dengan candaan. Tanpa sadar Stephen memerhatikan gerak-gerik gadis itu. Gadis yang sama yang menjadi teman duduknya selama perjalanan.

"Ryl, Sheryl!" Panggil salah seorang pria pada seseorang. Gadis yang ia perhatikan itu menoleh ke arah sumber suara lalu mendatangi pria yang memanggil namanya tadi.

Jadi, namanya Sheryl? Gumam Stephen dalam hati.

Stephen yang menyadari apa yang baru saja ia lamunkan langsung menggelengkan kepalanya mencoba mengalihkan pikirannya dari gadis itu. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Lagi pula gadis itu juga hanya orang-orang yang sepintas saja melewati hidupnya. Kenapa ia penasaran ingin mengetahui gadis itu?

Lelaki itu pun mencoba mengacuhkan pikirannya dan berjalan keluar dari hotel. Ya, perutnya lapar, ini efek dari perutnya jadi ia berpikir yang tidak semestinya. Makanan, ia butuh makan. Ia harus mengisi perutnya dengan makanan dan berpikir lebih jernih.

- continue -

●●●

The GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang