Page 9

1.5K 219 3
                                    

Tiga hari sudah Sheryl menghabiskan waktu meliput catwalk event bersama timnya. Tiga hari juga ia tidak istirahat dengan teratur karena jadwalnya yang padat dan sibuk ke sana kemari membantu rekan-rekannya. Terkadang Irene memberinya pekerjaan yang harus ia selesaikan secara individu dan harus segera diselesaikan secepat mungkin.

Akhirnya Irene memberikan waktu bebas setelah menyelesaikan tugas peliputan di hari ke empat. Sheryl pamit undur diri kembali ke hotel setelah Irene memberikan izin mereka untuk beristirahat.

Saat sampai di kamar hotelnya, Sheryl langsung membanting tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia menatap langit-langit kamarnya lalu menghela nafas.

Masih ada 3 hari lagi sisa kegiatannya di sini sebelum ia kembali ke Indonesia. Irene bilang pekerjaannya tidak sesibuk beberapa waktu lalu jadi ia bisa sedikit bersantai. Ia menyadari bahwa bekerja di bidang jurnalistik seperti yang ia lakukan saat ini tidaklah mudah.

Berbeda halnya ketika dulu ia bekerja sebagai pengajar balet paruh waktu. Karena pekerja paruh waktu tidak sesibuk pekerja full time. Tetapi, ia menyukai semua pekerjaan yang ia lakukan meskipun harus merelakan waktu istirahatnya. Sheryl tipikal seorang workaholic. Ia akan sakit jika tidak ada kegiatan yang bisa ia lakukan.

Baru saja Sheryl hendak memejamkan mata, ponselnya berbunyi. Dengan malas dan sedikit kesal karena waktu istirahatnya terganggu, ia meraih tas dan mengambil ponsel di dalamnya. Dahinya mengernyit ketika melihat nomor yang tidak dikenal tertera di layar. Tanpa ambil pusing gadis itu langsung menggeser tanda terima panggilan.

"Halo?" sapanya pelan dan sedikit malas.

"Halo? Apa betul ini dengan Sheryl... errr– Nat... errr–" tanya seseorang dari seberang sana dengan terbata-bata.

"Ah, ya, betul, ini dengan saya sendiri, Sheryl. Maaf, kalau boleh tahu, ini dengan siapa, ya?" Sheryl balik bertanya dengan sopan.

"Ah– iya, Mbak. Saya Stephanus." sahut orang di seberang sambungan sana yang tak lain adalah Stephen.

Dahi Sheryl mengernyit lagi, "Stephanus mana, ya?"

"Stephanus Anthonio, Mbak. Beberapa hari lalu kita bertemu di restoran."

Sheryl mencoba mengingat-ingat kejadian beberapa hari lalu. Inilah kelemahan yang dimiliki Sheryl. Dia seperti nenek-nenek yang mudah sekali melupakan sesuatu. Untung saja namanya sendiri tidak lupa.

Lalu mata Sheryl membelalak ketika ia mengingat siapa Stephanus yang dimaksud. Lalu dengan ragu ia menjawab lagi teleponnya, "Eerr– iya, Mas. Saya ingat. Ada apa, ya?" tanya Sheryl hati-hati.

"Begini, Mbak. Beberapa hari lalu kan Mbak membantu saya di restoran. Sebelumnya saya minta maaf karena melibatkan Mbak pada masalah saya pribadi. Saya malu sejujurnya Mbak melihat kejadian itu." terdengar Stephen terkekeh pelan malu dari ujung sana. "Kalau boleh tahu, Mbak malam ini sibuk, gak? Saya berniat mengembalikan uang yang saya pinjam secara pribadi."

"Ma–malam ini maksudnya, Mas?" Sheryl terkejut dengan ajakan Stephen yang to the point.

Terdengar Stephen mengiyakan pertanyaan Sheryl. "Hmm... bisa sih, Mas. Kalau boleh tahu, jam berapa dan dimana saya bisa temui Masnya?"

Stephen tersenyum meskipun Sheryl tidak bisa melihat senyumnya dari sebrang sana. "Jam 7 malam bisa, Mbak? Tempatnya? Hmm... bagaimana kalau di Poppies?"

Sheryl mengangguk setuju, "baik, jam 7 di Poppies. Sampai bertemu nanti kalau begitu?"

"Iya, sampai bertemu nanti."

Lalu setelah keduanya mengucapkan salam, Sheryl mematikan sambungan telepon dan bersiap untuk mandi. Beban lelah ditubuhnya terangkat digantikan oleh sebuah perasaan aneh yang tidak bisa digambarkan.

The GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang