Page 16

1.1K 194 11
                                    

Sheryl menatap lelaki di hadapannya dengan pandangan aneh. Rasanya baru kemarin mereka bertemu dan terasa sangat aneh melihat laki-laki itu sekarang berdiri di depan dia dengan santainya.

Apakah laki-laki ini seorang stalker? Pikirnya. Bagaimana tidak Sheryl berpikiran begitu. Stephen seperti membuntutinya kemana pun gadis itu pergi. Bahkan saat ia pulang ke Bandung saja, tiba-tiba lelaki itu memberikan kabar bahwa dia juga ke Bandung.

Stephen memasang tampang innocent-nya melihat gadis itu menatapnya dengan tatap heran. Mungkin gadis itu berpikir bahwa dia aneh tiba-tiba mendatangi gadis itu. Itu bukan masalah besar sama sekali menurutnya. Ia bisa membohongi gadis itu dengan memberikan banyak alasan kenapa ia bisa tiba-tiba sampai di Bandung dan menemui Sheryl. Bukan hal yang sulit.

"Bu-bukannya Mas lagi sibuk masa promosi?" tanya gadis itu hati-hati pada Stephen.

"Memang," jawab Stephen dengan santai. "Tapi, kan sekarang long weekend. Koh Aiden ngasih waktu buat nikmatin liburan." lanjutnya lagi.

Sheryl mengerutkan dahinya mendengar jawaban laki-laki itu. Ia yakin 100% bahwa Stephen hanya membuat alasan saja kenapa laki-laki itu tiba-tiba pergi ke Bandung. Stephen hanya mengangkatkan bahunya tanda ia tak terlalu mempedulikan apa yang ia lakukan.

Memang dirinya sendiri juga merasa aneh. Tidak biasanya dia mengambil langkah sembrono saat sedang melakukan pekerjaannya. Terlebih masa promosi merupakan hal yang penting bagi kelangsungan filmnya.

Sheryl diam-diam menghela nafas. Ia malas memperpanjang masalah dan itu menurutnya itu bukan kesalahan dia jika sampai terjadi sesuatu pada Stephen dan project filmnya. Ia bahkan tidak tahu maksud Stephen menyusulnya tiba-tiba.

Lelaki itu juga diam-diam menyunggingkan senyum kemenangan. Dalam hatinya ia senang karena Sheryl tidak bertanya macam-macam hal dan ia tidak harus memberikan alasan-alasan yang sudah tentu itu adalah alasan yang dikarang olehnya.

"Mbak bilang waktu itu ke saya temen Mbak punya restoran Italia yang cukup terkenal. Kalau kita ke sana sekarang, bagaimana? Kebetulan saya juga ingin makan masakan Italia." ajak Stephen mengisi suasana yang tiba-tiba canggung.

"Ke restoran Wendy? Sekarang?!" pekik Sheryl dengan nada yang terkesan berlebihan. Ia langsung membungkam mulutnya dengan kedua tangan ketika menyadari nada bicaranya meninggi dan Stephen terlihat terkejut dengan respon yang ia berikan.

"I-iya... saya mau makan. Me-memang ada yang salah ya?" laki-laki itu terlihat bingung.

Sheryl buru-buru menggelengkan kepalanya, "Ti-tidak, kok. Tidaj ada yang salah sama sekali. Tapi bukannya kita bisa di sini juga, ya? Berhubung kita juga lagi di... mall?" Ya, keduanya janjian bertemu di salah satu mall saat Stephen sampai di Bandung beberapa waktu lalu.

Stephen tersenyum, "Saya mau coba masakan Italia yang Mbak rekomendasikan ke saya. Lagi pula saya bosan dengan makanan di mall. Nggak ada bedanya pasti dengan makanan yang saya temui di Jakarta."

Sheryl terdiam kembali. Ia memutar otak mencari lagi alasan agar Stephen mengurungkan niatnya pergi ke restoran milik temannya itu. Sebenarnya tidak ada yang salah berkunjung ke restoran milik Wendy. Hanya saja Sheryl seperti menelan ludah sendiri di depan temannya.

Baru kemarin malam ia mencurahkan isi hatinya di depan sahabatnya itu dan masih mengingkari dirinya sendiri bahwa ia juga tertarik dengan laki-laki yang sekarang dengan tiba-tiba menampakan diri di depan wajahnya, lalu ia juga pasti akan mengejutkan Wendy membawa serta laki-laki itu ke restorannya. Apa yang ia katakan pada sahabatnya itu?

"Jadi, bagaimana, Mbak? Boleh, 'kan, saya pergi ke restoran tempat temen Mbak bekerja?" tanya Stephen sambil merundukan tubuhnya mensejajarkan dirinya dengan Sheryl.

The GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang