Page 11

1.4K 216 2
                                    

Mata gadis itu melebar ketika Irene menyimpan setumpukan bahan artikel di atas meja kerjanya. Ia menatap atasannya itu dengan pandangan tak percaya.

"Tolong bantu Mbak buat memilih artikel yang akan dimasukan ke dalam konten majalah bulan depan ya, Ryl." kata Irene.

Sheryl menunjuk tumpukan bahan di atas mejanya, "Sebanyak ini, Mbak? Gak salah?"

Irene menganggukan kepalanya dengan sangat yakin, "Iya, sayang. Bu Fany yang minta. Ditambah juga kita punya banyak bahan hasil laporan perjalanan kita kemarin."

Gadis itu hanya tertegun mendengar penjelasan Irene. Ia masih terkena shock dengan bahan yang ia lihat di atas mejanya. Sebanyak ini? Itu artinya ia harus lembur lagi jika akan dijadikan konten untuk majalah bulan depan.

Hexa yang melihat Irene dan Sheryl dari kejauhan menghampiri kedua gadis itu. Dahinya ikut berkerut ketika ia menyadari setumpukan artikel di atas meja Sheryl. "Ini apaan, Mbak?"

Irene menoleh ke sumber suara, "Ah ini, Xa. Bahan artikel buat konten majalah bulan depan. Kamu lagi sibuk, gak? Kalau gak sibuk, coba aja bantu Sheryl buat pilih-pilih yang menurut kamu sesuai, deh."

"Lha, kok saya, Mbak? Mbak sendiri nggak kerja?"

Baru saja Hexa hendak menolak perintah dari Irene, Irene menunjuk meja kerja miliknya dengan memasang wajah poker face, "Kerjaanku juga lagi banyak-banyak. Jadi, aku minta tolong sama kalian. Tolong bantuin aku, ya? Kerjaan kalian masih lebih ringan dibanding yang lain." ujarnya lalu melenggang pergi meninggalkan Hexa dan Sheryl, tetapi sedetik kemudian gadis itu kembali berbalik menatap kedua rekannya, "Dan... kita butuh seseorang yang belakangan ini untuk diinterview juga. Ryl?" panggil Irene.

Sheryl, yang namanya dipanggil oleh Irene, langsung menoleh, "Ya, Mbak?"

Irene menyunggingkan senyum misterius. Sambil meletakan posisi kacamatanya kembali ke tempat semula ia berkata, "Kamu kan beberapa waktu lalu ketemu sama Stephanus, nih, aktor yang lagi naik daun itu... kayaknya image dia cocok, deh, buat ngisi satu artikel dan interview buat majalah kita."

Sheryl merinding ngeri mendengar nada bicara Irene. Gadis itu tahu betul jika Irene meminta sesuatu darinya atau ingin ia melakukan sesuatu sesuai dengan perintahnya. Ia menahan nafas sambil memasang senyum kaku di wajahnya. Sudah jelas terlihat tujuan dari pembicaraan mereka mengarah kemana.

"Maksud Mbak, Mbak ingin aku hubungi dia gitu meminta kesediaan dia untuk jadi salah satu pengisi konten majalah kita?" tanya Sheryl sambil menatap gadis yang berdiri di depannya hati-hati.

"BINGO!" Seru Irene ceria sambil membuat gerakan menembak dengan jarinya. Benar apa yang diprediksi oleh Sheryl tentang Irene yang tiba-tiba mengangkat topik mengenai pertemuannya Stephen di London.

"Tapi, Mbak. Saya 'kan hanya kenal begitu aja. Lagian nggak enak kalau minta langsung ke orangnya," gadis itu berusaha mencari alibi agar menghindari topik mengenai aktor itu.

"Lagi pula masih banyak orang yang bisa kita interview yang sesuai dengan tema majalah kita bulan depan." lanjutnya sambil meringis.

Irene menggeleng tidak setuju, "No, no. Stephanus itu sedang menjadi trending topic. Hot issue dimana-mana. Apa salahnya kita mencoba, bukan?"

Sheryl terdiam tak berkutik jika Irene sudah berkata seperti itu. Tidak ada tapi-tapian lagi dan harus segera dilaksanakan.

"Kalau nggak, kamu bisa hubungi agensinya. Nanti aku bicarain sama Bu Fany. Pasti Bu Fany senang, kalau kita sampai bisa nge-interview Stephanus. Aku mesti ke ruangan Bu Fany sekarang. Dah, Hexa, Sheryl!" tutup Irene lalu melenggang pergi ke ruangan atasannya secepat kilat.

Hexa menghela nafas sambil bersandar ke bilik kerja Sheryl. Sheryl yang bingung harus mengerjakan apa terlebih dahulu hanya terdiam sambil menggigiti kuku jari tangannya. Hexa yang melihat itu langsung menjauhkan tangan Sheryl agar gadis itu beehenti menggigiti kuku jarinya.

"Kebiasaan jelek kamu kalau lagi panik atau bingung pasti kuku kamu yang jadi sasaran." Hexa memutar bola matanya.

"Eh? Oh, iya, ya? Hahaha.... Jadi, malu Mas Hexa tau kebiasaan burukku." Sheryl cengengesan salah tingkah.

"Ya sudah, seperti kata Mbak Irene tadi. Kamu mulai cari kontak agensi dari siapa itu tadi? Yang aktor itu? Biar sebagian saya yang urus bahan-bahan apa aja yang dibutuhkan." Hexa mengambil salah satu kursi kosong ke dekat Sheryl lalu mulai memilah-milah bahan yang menurutnya sesuai dengan tema majalah mereka yang akan diterbitkan bulan depan.

Sheryl manggut-manggut paham dan segera melaksanakan tugas yang diberikan. Setidaknya Hexa tidak seperti rekan kerja yang lainnya. Bukan berarti rekan kerja yang lainnya buruk. Tapi bekerja sama dengan Hexa seratus kali lebih mudah karena lelaki itu lebih mengutakan bekerja cepat dan tepat dibandingkan banyak berbicara. Maka dari itu Sheryl masih bersyukur Irene meminta Hexa membantunya dibandingkan diberikan ke orang lain. Pekerjaan lebih mudah dikerjakan bersama rekannya itu.

Sheryl mulai mencari tahu informasi mengenai agensi mana yang menaungi Stephen saat ini. Setelah ia menemukan agensi tempat Stephen bernaung, ia mulai mencatat nomor dan email yang bisa dihubungi lalu menjalankan tugasnya.

Sebenarnya pekerjaan tidak terlalu sulit. Hanya mencari tahu apakah jadwal si narasumber ini kosong atau padat, jika padat terpaksa ia harus membatalkan janji dan mencari tahu narasumber lain yang bisa dihubungi. Atau jika narasumber tersebut sanggup melakukan interview dengan majalah mereka, ia tinggal menyesuaikan jadwal dengan si narasumber tersebut untuk melakukan sesi pemotretan, wawancara dan lain sebagainya.

Sheryl segera menghubungi agensi tempat Stephen bernaung. Setelah sekitar 5 menit ia berbicara, gadis itu diarahkan langsung untuk menghubungi manager yang bersangkutan. Setelah mengucapkan salam dan terimakasih serta menutup sambungan telepon, ia menghela nafas sambil memandangi catatan yang berisi kontak manager Stephen.

"Udah dapat kontaknya, Ryl?" tanya Irene tiba-tiba. Gadis itu muncul secara misterius di belakang Hexa dan Sheryl. Sheryl berbalik lalu menunjukan kontak manager yang ia dapat. Irene tersenyum sumringah. "Bagus. Bagus. Kalau gitu kamu segera hubungi mereka. Biar kita bisa antisipasi cari yang lain kalau Stephanus ini menolak adakan interview."

Sheryl mengangguk, "Baik, Mbak. Segera laksanakan." ujarnya sambil tersenyum lalu kembali berbalik menghadap meja kerjanya. Sejujurnya ia sedikit ragu untuk menghubungi Stephen. Meskipun melalui perantara managernya, tetap saja ia terkesan mengganggu kehidupan pribadi Stephen. Selain itu mereka hanya bertemu sekilas dan secara tidak sengaja selama di London. Bukan karena keinginan mereka sendiri. Sheryl tidak tahu apa yang membuatnya ragu seperti ini. Tidak biasanya ia berpikir panjang saat menghubungi narasumber atau yang lainnya. Kenapa dengan dirinya ini?

Setelah memberi jeda selama 10 menit, Sheryl mengangguk mantap lalu mengambil gagang telepon bersiap untuk menghubungi manager Stephen. Ya, dia harus profesional. Untuk apa ragu? Ini sudah kerjaannya. Mungkin hanya perasaan ragu sesaat saja, pikirnya.

Telepon Sheryl akhirnya diangkat ketika ia menunggu nada sambung sebanyak dua kali, cukup cepat juga pikirnya.

"Halo?" terdengar sapaan dari seberang sana.

Sheryl menjauhkan gagang telepon berdeham pelan lalu menjawab telepon tersebut, "Halo? Apa benar ini dengan manager dari Stephanus Anthonio? Saya dari majalah...."

- continue -

●●●

The GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang