Page 18

1.1K 197 8
                                    

Lelaki itu terlihat tidak bersemangat sama sekali. Semenjak kepulangannya dari Bandung beberapa hari yang lalu ia nampak lesu. Kerjaannya terkadang hanya memandang ke layar ponselnya. Sesekali ia terlihat menghela nafas. Jika mengerjakan sesuatu juga ia hanya mengerjakan seenaknya saja. Bawaannya sangat malas, seperti bukan dirinya.

Aiden memerhatikan tiap pergerakan Stephen dengan seksama. Ia menyadari artisnya itu sedang dalam kondisi yang tidak prima. Entah apa yang membuat Stephen uring-uringan beberapa hari terakhir ini. Mungkinkah karena gadis itu?

Stephen lagi-lagi memandang ponselnya untuk ke sekian kalinya hari ini. Tidak ada satu pesan pun. Entah itu pesan singkat semacam sms atau pun chat. Tidak juga dengan panggilan. Ponselnya benar-benar terasa dingin.

Ke mana gadis itu? Tidak memberi kabar sama sekali kepada Stephen. Seperti hilang terbawa angin. Apakah gadis itu menghindarinya?

Bahkan gadis itu juga tidak memberikan jawaban sama sekali terhadap pernyataannya beberapa waktu lalu. Ia hanya meminta maaf dan keduanya tidak ada yang membahas satu sama lain lagi. Mungkinkah ia menolak Stephen?

Stephen mengacak rambutnya dengan kesal. Tidak ada kabar dari Sheryl lebih buruk dibandingkan ditolak olehnya. Lelaki itu rasanya ingin menghukum dirinya telah bertindak tanpa berpikir sebelumnya. Mungkin Sheryl terkejut dengan pernyataannya yang tiba-tiba.

Bagaimana tidak terkejut, ia baru saja bertemu dengan mantan yang masih ia sukai dan Stephen tanpa berpikir panjang langsung menyatakan perasaannya tepat saat itu juga.

Ya, Stephen bertindak seperti itu karena ia tidak ingin kehilangan Sheryl. Dan ia merasa sudah saatnya ia harus menyatakan perasaannya pada gadis itu. Tetapi sekarang rasanya ia menjadi sangat bodoh. Tidak ada kabar, tidak pula ada jawaban.

"Aaaaahh!" Stephen berteriak frustasi dan mengejutkan orang-orang di sekitarnya.

Aiden yang sedari tadi memerhatikan Stephen, bergerak mendatanginya. "Lo kenapa, sih? Sudah beberapa hari ini gue lihat lo kayak orang keilangan nyawa."

Stephen mengalihkan pandangannya menatap Aiden dengan tatapan kusutnya, "Sheryl tidak menghubungi gue." ujarnya dengan nada yang dibuat sesedih mungkin.

Aiden memutar bola matanya, "Ya, terus? Kenapa lo gak coba ngehubungi dia duluan coba?"

Lelaki itu membenturkan dahinya pelan ke atas meja, "Gue udah coba hubungi dia. Tiap pagi gue sapa. Tapi tidak ada jawaban sama sekali. Dia menghindari gue, apa, ya?"

"Memang lo habis ngeapain dia sampai menghindari lo kayak gitu?"

"Gue habis confess perasaan gue sama dia."

Aiden terkejut mendengar ucapan Stephen, "What!? Lo akhirnya ngaku lo naksir dia?! Terus terus bagaimana jawabannya?"

Stephen menggelengkan kepalanya dengan lesu. Aiden memicingkan matanya.

"Dia tidak memberi jawaban apa-apa sama gue. Mungkin dia shock tiba-tiba orang macam gue nyatain gue suka sama dia." jawab Stephen sembari menghela nafas.

Aiden menjitak kepala Stephen, "Begok lo, Steph."

Stephen mengerang kesakitan, "Aw! Sakit kalik, Koh! Gue begok kenapa coba?" Protesnya.

"Kasih dia waktu, lha."

Stephen mengernyitkan dahinya, "Maksud lo, Koh? Kasih waktu gimana?"

"Duh, Stephen... IQ lo berkurang apa gimana? Kasih dia waktu buat berpikir. Mungkin dia butuh waktu buat ngejawab perasaan lo, atau mungkin buat menyadari perasaan dia. Lo juga gak tau kan, apa yang lagi dia rasain?" Aiden menjelaskan. Stephen baru memahami setelah mendengar penjelasan Aiden.

The GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang