BAB 26

14.2K 1.4K 12
                                    

Derum jet sky semakin keras. Jelas kepanikan itu semakin merajai. Dirinya semakin jauh meninggalkan bibir pantai. Kemana ia harus mencari. Mata hanya melihat hamparan laut yang seolah tak berbatas.

Lalu bagaimana keadaan gadis itu sekarang? Dimana keberadaannya? Apakah dia baik baik saja?

Semua pertanyaan itu meraung meminta jawaban.

Derum kendaraan air memelan setelah beberapa menit menyisir ombak.

"Al lo di mana?" teriak Gandra di tengah laut.

"Alesya!"

"Al!" teriaknya frustasi melihat tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sekeliling.

Gandra, titip anak om ya. Jaga dia.

Selintas pesan Dani muncul. Ia kembali mengacak rambut dengan perasaan kesal, meski frustasi mendominasi. Merasa menjadi orang paling brengsek di dunia karena tidak bisa menjaga apa yang sudah ia janjikan dari mulutnya sendiri.

"Alesya!"

"Gue gagal! Gue GAGAL!"

"Al lo di mana?"

"Alesya!"

Angin berembus pelan, seakan membawa sebuah pesan. Embusan yang menarik Gandra untuk menoleh ke arah kiri. Mata hitam pekat itu memicing, memperjelas pandangan. Otak bekerja lebih keras saat warna hitam sedang mengapung di atas air tak jauh dari sebuah pulau.

Gandra menunduk. Detik berikutnya ia baru tersadar jika jet sky miliknya berwarna hitam, sama dengan sesuatu yang mengapung tanpa pemilik.

"Alesya!" ucapnya lirih.

Secepat mungkin Gandra mengarahkan jet sky miliknya untuk mendekat. Detak jantung berdetak lebih cepat, tangan yang menarik gas seakan kelu. Jarak yang semakin dekat membuat keringat dingin keluar. Pikiran meracuni, apakah seseorang yang dicari ada atau bagaimana.

"Al lo di mana Al!" teriak Gandra lagi tidak menemukan Alesya di sekitar jet sky. Tangan mengepal memukul bagian depan jet sky beberapa kali. Menyalurkan kekesalan, kemarahan, kekhawatiran.

Kalah!

Ia sudah kalah. Sosok Alesya tidak dapat ia temukan. Tubuh Gandra merosot di jok. Mengumpat menyumpah serapahkan dirinya sendiri. Ia benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu terjadi pada Alesya. Tugasnya gagal.

Emosi meluap saat mengingat tindakan kriminal Kervia. Gadis itu harus membayar untuk semua ini. Namun semua itu hanyalah sia-sia. Gandralah yang paling buruk di sini, dia yang harus bertanggung jawab untuk semua ini, dan dia yang paling tepat untuk disalahkan untuk semua ini.

"To..lo..ng!"

Sunyi. Gandra masih diam dalam tundukkan.

"Gan..ndra!"

Satu kata terucap dengan sangat pelan dan terbata. Gandra langsung mendongak. Sorotan binar itu telah kembali. Ulasan senyum terlihat. Ia menoleh.

"Alesya?" teriak Gandra melihat seseorang berada di antara hidup dan mati. Tangannya terus bergerak, ingin sekali keluar dari air yang seakan semakin kuat menarik ke bawah. Tanpa pikir panjang, cowok itu mengegas mendekati posisi Alesya yang lumayan jauh.

Itulah intuisi. Tidak butuh ruang, tidak butuh waktu, tidak butuh tempat, tidak butuh suasana, tidak pula butuh media. Hanya mengandalkan perasaaan. Sejauh apapun, selama apapun, se-kacau apapun getaran itu akan tetap ada dan terasa.

"Al!"

Suara tubuh menjatuhkan diri di air membuat suara cukup nyaring.

Keduanya bertemu. Keduanya saling menatap bilik mata, menerobos mencari arti setiap tatapan. Keduanya mamandang wajah. Keduanya saling menggenggam tangan. Air menerobos membuat jarak keduanya semakin dekat.

Lagi-lagi Gandra menyumpah serapah dirinya sendiri saat wajah pucat Alesya terlihat jelas di mata.

Sorotan menajam. Ada pesan yang ingin disampaikan.

"Tolongin gue,"

"Lo bakal baik baik aja Al. Percaya."

"Gue percaya."

Kelopak itu menutup, meninggalkan kecemasan. Tangan yang menggegam mulai lemas hingga terlepas. Tubuhnya menurun tiba-tiba, namun dengan sigap tangan cowok itu menahan. Membawa ke puermukaan air. Meski berat begitu terasa, apalagi ini berada di dalam air.

Beberapa waktu bergelut dengan beban dan ombak yang selalu datang, Gandra berhasil menggotong Alesya. Menutut tangan yang bahkan sudak tidak bergerak agar melingkar. Bahu Gandra menjadi tumpuan dagu. Satu tangan menjadi kontrol jet sky, sedangkan tangan lain menggenggam erat tangan Alesya agar tidak terlepas.

Berhenti di pulau dekat Alesya ditemukan menjadi pilihan. Keselamatan gadis itu menjadi yang utama bagi Gandra.

Sial!

Ranting pohon bakau memenuhi bibir pantai. Terpaksa cowok itu berhenti. Mengendong tubuh dingin itu dengan perlahan. Sesekali mata Gandra meunduk, melihat wajah yang semakin memucat.

"Aw!" ringis Gandra.

Tanpa sengaja ranting beruncing tajam menggores dalam kaki kanan hingga membuat air berubah kemerahan. Perih menusuk hingga tulang. Darah keluar begitu lancar. Membuat langkah cowok itu sedikit sempoyongan.

Gandra menepuk pipi Alesya beberapa kali. "Al bangun Al."

Tangan beralih mengusap telapak tangan Alesya. Berusaha memberi kehangatan.

"Alesya bangun," pintanya lagi meski masih tidak ada jawaban.

Bak seorang dokter yang menyelamatkan pasien. Gandra harus melakukan itu. Memberi pertolongan pertama. Bukan tanpa alasan Gandra yakin untuk melakukan ini. Pasalnya ia adalah salah satu tim kesehatan di klub Roar.

Menyatukan telapak tangan secara bersebelahan, lantas menekan di rongga dada. Beberapa kali ia melakukan ini namun tidak ada hasil. Gadis itu masih sombong dengan diam. Apa ini saat bagi gadis itu untuk angkuh? Di saat denyut nadi semakin melemah?

Gandra tidak akan membiarkan keangkuhan Alesya bertambah. Keangkuhan yang akan membuat Gandra membenci Alesya seumur hidup.

"Gue gak bisa kehilangan lo Al," ucapnya dalam menggengam tangan Alesya.

Selintas pertolongan napas buatan muncul begitu saja. Bingung menghampiri begitu cepat. Apa harus ia melakukan itu? Apa harus ia mencuri apa yang seharusnya Alesya jaga? Apa harus ia membuat rahasia dalam keadaan ini? Apa harus ia mengambil kesempatan dalam kesempitan? Apa harus ia memberikan napasnya untuk menyelamatkan nyawa?

Genggaman tangan semakin erat. Ia memandang nanar wajah Alesya. Mengutuk dirinya yang akan mengambil apa yang Alesya jaga.

"Maaf."

"Tapi lo harus selamat," ucapnya lagi yakin. Ia mendekat pada wajah yang sudah sempurna memucat. Waktu yang berlalu, napas yang berderu, embusan angin yang menerpa membuat jarak semakin terkikis. Gandra menarik napas panjang lantas menutup mata rapat.



***

Bumantara Dan AmertanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang