BAB 27

13.8K 1.4K 7
                                    

Keringat dingin membasahi dahi. Saliva dipaksa masuk melewati tenggorokan. Mata lurus memandang wajah yang terlihat begitu segar. Napas yang berhempus mampu menggeser butiran air di wajah pucatnya. Cowok itu menahan napas saat wajah mereka hanya terpaut lima senti.

"Terimakasih Al. Gue gak akan lakuin ini," kata Gandra tersenyum setelah beberapa saat berdebat dengan dirinya sendiri.

Ia memundurkan kepada dari posisi awal. Lantas mengangguk yakin dengan mata masih menatap wajah angkuh yang tidak mau membalas tatapannya.

"Gue yakin ada cara lain buat selametin lo Al," tegasnya lagi.

Gandra menarik napas. Meletakkan telapak tangan secara sejajar kembali. Memejamkan mata sejenak, ia berdoa. Karena hanya Tuhanlah yang bisa menyelamatkan Alesya. Bukan dirinya, orang lain atau seorang dokter sekalipun. Dan kata yakin menjadi kekuatan.

Meletakkan tangan di depan dada.

"Bismillah."

Tekanan beberapa kali diberikan dengan aturan kedalaman yang diharuskan. Jangan sampai kurang atau lebih. Salah sedikit nyawa seseorang akan melayang. Dalam setiap tekanan Bismillah senantiasa terucap dalam hati Gandra. Memohon kepada sang Pencipta.

Nyawa dalam diri manusia hanyalah titipan dari Tuhan. Dan Tuhan dapat mengambilnya kapan saja. Karena itu bukan milik kita, manusia. Tetapi berusaha menjaga diri sebelum nyawa itu pergi adalah kewajiban setiap manusia.

"Alesya?"

Mata Gandra membelalak sempurna. Bahkan nyaris tidak percaya. Kelopak mata yang ia tunggu, yang ia khawatirkan, yang ia rindukan kini telah terbuka. Air keluar dari mulut dan hidung. Menandakan pertolongan pertama Gandra berhasil. Gadis itu masih sibuk batuk-batuk, begitu pula Gandra yang masih sibuk dengan kebahagiaan dapat menatap sosok di hadapannya telah kembali.

Alesya menatap lurus seseorang yang baru saja ia sadari keberadaannya. Sorot mata Alesya sendu. Ketakutan besar menghantui kembali. Sedetik kemudian ia menghamburkan pelukan. Isakan tangis langsung terdengar. Gandra mendekap Alesya dalam dada bidangnya. Membiarkan gadis itu menangis.

Menangis bukan berarti orang itu lemah.

Cowok itu berusaha memberi kekuatan lewat usapan pelan di puncak kepala Alesya.

"Gue takut," ucapnya terisak. Bahu gadis itu semakin berguncang

"Gue hampir mati."

"Gue takut."

Mendengar ketakutan semakin menguasai. Gandra memegang kedua bahu Alesya. Mengarahkan wajah itu agar menghadap ke arahnya. Ia menatap dalam.

"Al."

Air mata masih mengalir membasahi pipi. Alesya belum sadar sepenuhnya, kejadian beberapa lalu terus menghantui pikiran. Mimik Alesya seperti orang linglung. Keringat dingin membasahi dahi. Bibirnya masih menggigil dan terus mengucapkan hal yang sama.

"Gue takut."

"Gue takut."

"Alesya lihat gue," kata Gandra tegas menggucang bahu. Mungkin dengan ini Alesya bisa sedikit sadar.

Bumantara Dan AmertanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang