BAB 23

20.9K 1.8K 26
                                    

"Ini kursi gue. Cari yang lain sono curut!"

"Gak mau. Ini kursi udah gue booking setahun lalu," tolaknya memeluk kursi. Ya, saat ini Bimo sedang berebut dengan Sifi.

"Gue di depan! Gak mau tau."

"Eh gak bisa. Gue yang di depan, lo kan tau gue mabokan"

"INI PUNYA GUE!"

"GAK! INI PUNYA AING."

Itulah beberapa celoteh perdebatan yang terjadi di dalam bus.

"Tinggal duduk kok ribet," gerutu Alesya jenggah.

Memang apa bedanya? Bukannya semua kursi sama saja. Apalagi pemandangan semakin terlihat berlebihan ketika beberapa siswi yang sibuk dengan masker. Persis orang takut terkena flu burung.

Alesya memilih duduk di dekat kaca. Menurutnya ini pilihan terbaik. Setidaknya saat ia merasa bosan, pemandangan luar dapat menetralkan pikiran. Kursi nomor dua dari belakang. Ya, seperti biasa. Belakang selalu menjadi faforit.

Alesya berdecak pelan saat Angga yang berada di sampingnya sibuk menawarkan berbagai makanan ringan. Padahal bus saja belum berjalan.

Di sisi lain, Gandra tengah memperhatikan Alesya dari kursi nomor empat bilangan depan. Senyumnya kembali terulas melihat gidikan ngeri dari Alesya ketika Angga berusaha keras menyuapi.

Bus berjalan. Klakson dibunyikan sebagai tanda. Menelusuri jalan yang masih sepi. Nyiuran daun kelapa terbayang di benak Alesya. Setidaknya setelah sekian lama, ia bisa sedikit menghilangkan kerinduannya.

Suasana yang beberapa detik lalu tenang berubah kacau.

"Woi gak seru nih kalo gak goyang!" teriak Bimo antusias berdiri di depan. Tangan sudah siap memegang microfon.

"Goyang Mo!" seru murid lain ikut berpartisipasi.

"Pak musik pak," pinta Bimo lagi pada kondektur.

Apa salah dan dosaku sayang? Cinta suci ku kau buang-buang.

Lihat jurus yang kan ku berikan.

Jaran goyang. Jaran goyang.

Sayang janganlah kau waton serem.

Hubungan kita semua adem. Tapi sekarang kecut bagaikan asem.

Semar mesem. Semar mesem.

Seisi bus ikut berdiri dan berjoget ria. Hanya segelintir orang yang masih diam dan berperan sebagai pononton. Alesya.

Mendadak raut datar Alesya berubah geli ketika Jono menarik tangan Nabila lantas mengajak berjoget.

Dan apa yang terjadi? Sudah bisa ditebak.

Tempeleng kanan kiri depan belakang mulus terlaksana di kepala Jono. Membuat si Jawa tulen itu meringis.

"Langsung sambat mbah?" sorak Bimo melempar mic ke arah yang lain. Bak seorang diva dangdut.

"Saya putus cinta!" jawab mereka kompak.

Tidak dipungkiri akhir-akhir ini lagu Jawa memang sedang naik daun. Alhasil lagu-lagu itu sudah ada di luar kepala. Bus ini benar-benar menjilma menjadi konser dangdut. Tidak terasa sudah hampir empat jam perjalanan dihabiskan dengan dentuman musik. Mulai dari dangdut, pop, keroncong sampai lagu-lagu India.

Desiran angin pantai menusuk membelai tulang. Nyiuran daun kelapa semakin menarik perhatian. Deburan ombak seakan berteriak lantang ingin segera membasahi kulit. Embusan angin segar kembali menerpa. Alesya memejamkan mata sejenak saat keluar bus. Ini sangat segar, lebih segar dari segelas jus jeruk penuh es batu.

Bumantara Dan AmertanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang