Ahyar mengernyit menatap sebuah mobil berwarna silver yang terparkir di pelataran rumah. Ia tahu benar siapa pemilik mobil itu. Hanya saja, ia heran. Kenapa mereka sudah ada di sini? Sementara ini masih sore. Tak biasanya mereka sudah pulang jam segini.
Ahyar bergegas memarkirkan mobilnya tepat di sebelah mobil itu. Mengingat setelah ini ia akan segera pergi lagi. Ia ada perlu dengan Ken di rumah sakit. Juga hari ini adalah jadwalnya menemani Embun.
Ahyar ingin bersikap biasa saja seperti hari-hari sebelumnya--saat Ayah dan Bunda Widi belum pulang. Tapi nyatanya Ahyar hanyalah anak biasa. Meski kenampakan luarnya cuek, namun ia tetap mencuri pandang ke segala arah. Mengantisipasi di mana pun keberadaan kedua orangtuanya itu.
Ternyata mereka ada di ruang keluarga. Ahyar sudah hendak menyapa mereka, sebelum melihat Junot dan Banyu yang ternyata juga ada di sana. Ahyar seketika kehilangan minat. Cowok itu tetap mendekat ke sana, tapi mungkin ia hanya akan menyapa, tidak lebih. Ia tak mau terlibat dalam urusan kedua orangtua dan saudara tirinya. Kenapa? Karena tiap kali melihat mereka bersama, hanya rasa iri yang menguasai hati Ahyar.
Ayah yang begitu percaya pada Junot dan Banyu. Dan Bunda Widi yang selalu melimpahi kedua putranya dengan kasih sayang. Tentu saja, mereka adalah putra kandungnya, bukan? Wajar jika seorang ibu menyayangi putranya sendiri. Tiap kali mereka berkumpul, mereka terlihat seperti sebuah keluarga impian. Sementara Ahyar dan Embun? Ahyar merasa, dirinya dan Embun hanyalah parasit.
Well, Bunda Widi memang menyayanginya. Juga menyayangi Embun. Tapi semuanya terasa berbeda. Biar bagaimana pun, Bunda Widi tak bisa mencurahkan kasih sayang secara maksimal pada Ahyar dan Embun, di bawah kuasa Ayah. Apalagi Ahyar dan Embun seakan hidup tanpa rasa percaya sama sekali dari lelaki itu.
Ahyar melangkah maju, menyiapkan diri dengan apa pun reaksi mereka saat ia datang menyapa. Ia hanya sebentar. Ia akan langsung pergi. Jadi tak ada yang perlu dipusingkan. Ia pasti bisa menahan rasa iri itu--seperti yang sudah-sudah.
Semakin dekat, Ahyar semakin bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Semakin mengerti situasi macam apa yang sebenarnya terjadi.
Ternyata tak seperti biasanya. Atmosfer kali ini berbeda. Bukan suasana kekeluaragaan yang kental. Namun justru sebaliknya.
Jika biasanya Ayah adalah seseorang yang mendominasi. Kali ini Bunda Widi-lah yang melakukannya. Ayah hanya diam di tempat, duduk, dan menunduk. Ahyar bisa melihat penyesalan mendalam pada rautnya.
"Ahyar sudah datang. Tunggu apa lagi?" tanya wanita itu pada kedua putranya yang juga duduk diam pada sebuah sofa panjang. Keduanya terlihat ketakutan.
"Bunda benar-benar kecewa. Bunda benar-benar malu. Bagaimana bisa putra-putra Bunda melakukan hal serendah itu? Apalagi pada saudaranya sendiri. Kalian tadi bilang menyesal. Sekarang, ayo tunjukan penyesalan itu! Ayo minta maaf sama Ahyar!"
Junot dan Banyu masih menunduk dalam. Kedua jemari mereka mengepal, menahan geram.
"Baiklah, jika kalian nggak mau minta maaf. Biar semuanya diselesaikan oleh pihak berwajib. Bunda hanya perlu mengirim bukti ini ke kantor polisi!" Bunda Widi mengangkat sebuah memory kecil.
"B-Bunda ...," guman Junot di antara amarah dan rasa takutnya. "Kami adalah putra Bunda. Tapi kenapa Bunda tega mengancam kami demi Ahyar?"
"Iya, Bunda!" timpal Banyu. "Kenapa Bunda lebih membela Ahyar yang hanya seorang anak tiri?"
Bunda Widi menghapus dengan kasar airmatanya. Tak percaya dengan apa yang barusaja dikatakan kedua putranya. "Nak, tidakkah kalian mengerti? Semenjak Bunda menikah dengan Ayah Wisnu, kita sudah menjadi sebuah keluarga. Namun meski begitu kita nggak boleh bertindak seenaknya. Kita nggak boleh lupa dengan fakta bahwa saat ini kita tinggal di rumah mereka. Kita datang dan menumpang. Kita harusnya selalu bersikap baik dan sopan. Tapi apa yang kalian lakukan? Bunda benar-benar tak habis pikir dengan kelakuan kalian. Bunda benar-benar malu! Apa Bunda pernah mengajari kalian bersikap seperti ini? Melakukan perbuatan keji yang benar-benar nggak bermoral?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKI [Sudah Terbit]
Teen Fiction[Sudah Terbit] KEKI "Akulah orang yang tepat, kapan kamu nyadarnya?". _________________________ Tingkah Sahla memang seringkali absurd, tapi kali ini yang paling puncak. Ia bersikeras memakai helm sepanjang hari di sekolah. Alasannya...