Tamu silih berganti datang, menyampaikan bela sungkawa yang mendalam. Lintang hanya diam kala mereka menjabat tangan, sembari mengatakan beberapa patah kata dukungan moril. Tatapannya kosong, seakan belum percaya dengan apa yang terjadi. Seorang lelaki tinggi berkumis tipis, dengan setia menggantikannya mengucap terimakasih pada orang-orang itu.
Dalam tujuh hari ke depan, Lintang akan sangat sibuk. Bukan untuk bekerja, karena rumah sakit telah memberinya izin penuh sampai hari ketujuh perginya sang Istri. Lintang akan disibukkan dengan hal lain. Mengurus pengajian tujuh hari bersama keluarga besar, dan juga rutin mengunjungi Sahla di rumah sakit.
Kemarin Lintang masih menjadi seorang lelaki yang terbilang sempurna. Lelaki yang paling bahagia di dunia mungkin. Di usia muda, ia telah memiliki segalanya; istri yang begitu baik, putri yang cerdas dan berbakat, juga pekerjaan yang mumpuni. Namun dalam sekejap, dua dari bagian kesempurnaannya lenyap.
Kecelakaan beruntun yang melibatkan sang Istri dan putrinya, telah merenggut nyawa belahan jiwanya itu. Istrinya telah pergi selamanya ke sisi Tuhan. Sementara keadaan putrinya masih belum bisa dipastikan. Ia belum sadarkan diri semenjak dibawa ke rumah sakit. Padahal dokter yang menangani mengatakan bahwa tak ada masalah serius pada fisiknya. Mereka masih memantau keadaan Sahla hingga kini.
Lintang membayangkan, seandainya tidak ada si Lelaki Berkumis Tipis--yang sampai sekarang masih ada di sini, bahkan membantunya mengurus ini itu--mungkin keadaan Sahla akan menjadi jauh lebih mengkhawatirkan dibanding sekarang.
Singkat cerita, Julia--mendiang istri Lintang--menjemput Sahla dari sekolah. Dalam perjalanan pulang, Julia mengajak Sahla untuk memberi kejutan pada Lintang, dengan tiba-tiba datang ke rumah sakit menemuinya.
Perjalanan yang awalnya menyenangkan itu, berubah menjadi tragedi pilu. Terjadi pada lampu merah, perempatan alun-alun kota Kediri. Mobil yang dikendarai Julia melaju dari arah selatan. Lampu telah hijau sekitar jarak 50 meter sebelum mobil sampai di area traffic light. Meski begitu, Julia tak serta merta menambah kecepatan. Ia melaju pelan, antisipasi supaya ia dan Sahla tetap aman.
Terdengar suara tabrakan yang keras. Berasal dari arah depan. Rupanya, mobil yang berada pada barisan pertama area traffic light dari arah selatan, mengalami mogok. Sementara kendaraan lain yang ada di belakangnya, tergesa-gesa ingin segera tancap gas, tanpa peduli dengan keadaan di depan. Kecelakaan beruntun, tak dapat dihindari.
Menyadari kondisi itu, Julia bermaksud menghindar. Untunglah ia melaju pelan. Namun Julia merasa panik. Dalam keadaan seperti itu--di mana banyak nyawa meregang tepat di hadapan mata--wajar seseorang mengalami serangan panik.
Julia harusnya memutar stir ke kiri, karena ke arah kiri, ia bisa jalan terus tanpa harus mengikuti isyarat lampu. Sayang, Julia justru memutar stir ke kanan. Sementara dari arah barat, lampu lalu lintas telah kembali hijau. Kendaraan lain yang supirnya memiliki tenggang rasa, memutuskan untuk tak melaju dulu, mengingat sedang terjadi kecelakaan besar. Namun tak semua orang seperti itu. Selalu ada di antara mereka yang sembrono--atau sedang terburu-buru.
Ada sebuah mobil yang seperti itu. Tetap melaju kencang, melewati lajur kiri--pada jalan di mana Julia salah memutar stir. Mobil itu seketika menabrak mobil Julia. Kala itu, mobil yang memiliki air bag hanya dipunyai oleh mereka yang benar-benar berasal dari keluarga berada. Apalagi di kota kecil seperti ini.
Julia meninggal karena luka parah di kepala. Sementara putrinya juga mengalami luka-luka. Namun anak itu selamat. Ada yang bilang, anak kecil yang belum memiliki dosa, kerap dilindungi oleh Tuhan dalam segala bencana. Kecuali jika memang takdirnya sudah sampai di situ.
Sahla menangis memeluk tubuh sang Ibu yang sudah tak bernyawa. Seakan rasa sakit karena luka-lukanya, tak sebanding dengan rasa takut dan yang menyerang, melihat sang Ibu meregang nyawa dengan mata kepala sendiri, dalam keadaan yang memprihatinkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKI [Sudah Terbit]
أدب المراهقين[Sudah Terbit] KEKI "Akulah orang yang tepat, kapan kamu nyadarnya?". _________________________ Tingkah Sahla memang seringkali absurd, tapi kali ini yang paling puncak. Ia bersikeras memakai helm sepanjang hari di sekolah. Alasannya...