Sahla berinisiatif melakukan sesuatu setelah mengetahui siapa gerangan wali kelas barunya—Pak Saipul, guru olah raga super gembul nan bulat, dan juga berkumis tebal. Pak Saipul terkenal dengan sikap yang disiplin. Saking disiplinnya, ia bahkan memikirkan urusan tatanan parkir di sekolah. Tiap ada siswa yang memarkir kendaraan dengan tidak rapi, Pak Saipul tak akan segan-segan menggembos ban mobil, motor atau sepeda yang bersangkutan. Seperti biasa, guru yang disiplin seperti itu, selalu identik dengan sebutan killer.
Namun Sahla tak peduli—mengingat ia memang tak pernah peduli, lebih tepatnya tak mengerti—dengan hal-hal seperti itu. Ia berlari ke ruang guru untuk mencari wali kelas barunya.
"Nyari siapa, Sahell? Eh, Sahla!" tanya Bu Winda.
Selain Bu Winda, beberapa guru yang sudah stand by juga ikut menatap kedatangan Sahla. Guru-guru yang mengajarnya di kelas sepuluh, sudah hapal dengan tabiat anak itu. Sementara guru-guru lain hanya pernah mendengar tentang siswi yang hobi lari maraton keliling sekolah sambil menabrak apa pun—siapa pun—yang menghalangi jalannya. Namun belum tahu secara pasti, bahwa anak inilah pelakunya. Yang jelas di benak mereka, siswi yang sedang datang ini terlihat panik, entah karena apa.
"Bu, saya mau ketemu sama Pak Saipul," ucapnya.
"Pak Saipul?" Bu Winda mengernyit. Ia memutar arah pandang pada yang bersangkutan. "Itu!" Bu Winda mengarahkan Sahla pada meja Pak Saipul.
Sahla tanpa keraguan sedikit pun berjalan mantap menghadap pada sang wali kelas. Pak Saipul menatap Sahla dari ujung kaki hingga ujung kepala. Guru-guru yang menatap interaksi antara Sahla dan Pak Saipul, seketika terkikik. Pikiran mereka indentik. Sahla dan Pak Saipul terlihat seperti sedang bermain drama Masha and The Bear. Bahkan tanpa kostum pun, sudah sangat mirip.
"Ada apa?"
"S-saya ... saya ...."
"Kalo ngomong yang jelas? Saya ... saya ... saya apa?"
"Sebentar, dong, Pak. Sahla, kan, masih gugup!" jawab Sahla.
Para guru seketika menelan ludah. Berani-beraninya Sahla bersikap seperti itu pada Pak Saipul? Guru-guru yang sudah mengenal Sahla, gemas ingin menghentikan anak itu. Sebagian juga gemas ingin mencurahkan isi hati, bahwa dulu mereka sering mendapatan perlakuan seperti ini saat mengajarnya di kelas sepuluh. Sementara sebagian lagi, ingin dengan sukarela menjelaskan bagaimana kondisi Sahla, sehingga meminta guru lain untuk memahami bagaimana tabiat gadis itu.
"Saya ... boleh, nggak, saya pindah kelas, Pak?" Sahla akhirnya mengutarakan isi hati.
Mata Pak Saipul memicing. Rasa terkejutnya akan sikap Sahla padanya tadi bahkan belum berakhir. Eh, sekarang Sahla malah menambahnya dengan pertanyaan konyol seperti ini?
Tapi setidaknya kini Pak Saipul mulai paham bahwa murid yang mendatanginya ini, adalah anggota dari kelas yang diwalii olehnya selama satu tahun yang akan datang. "Kenapa kamu mau pindah?"
"K-karena ... karena ... di kelas baru ada Yayang Ahyar, Pak."
Yayang Ahyar? Guru-guru terheran-heran sampai menggeleng-geleng. Ahyar yang dimaksud Sahla, adalah Ahyar yang sama dengan seorang siswa dalam pikiran mereka, bukan? Ahyar yang super pendiam, dan terkesan memiliki dunianya sendiri. Guru-guru mengenal anak itu. Karena notabene, murid-murid yang terkenang, adalah mereka yang ter-ter. Bisa jadi terpintar, terheboh, terbandel, terlucu, dan lain sebagainya. Dan Ahyar, masuk dalam kategori terdiam. Sementara Sahla ... ter ... apa, ya? Uhm ... isi sendiri saja!
Pak Saipul melotot. "Yayang Ahyar?"
"Iya, Pak. Yayang Ahyar."
"Memangnya kenapa kalau di kelas baru ada Yayang Ahyar kamu itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKI [Sudah Terbit]
Teen Fiction[Sudah Terbit] KEKI "Akulah orang yang tepat, kapan kamu nyadarnya?". _________________________ Tingkah Sahla memang seringkali absurd, tapi kali ini yang paling puncak. Ia bersikeras memakai helm sepanjang hari di sekolah. Alasannya...