Ahyar memagut diri di depan cermin, menyisir rambut, mengoles pelembab, kemudian mengenakan beanie berwarna hitam. Terakhir, ia memakai kacamata tebalnya. Selesai, ia meraih tas samping warna hitam, memastikan buku astrologi sudah di sana. Kaki jenjang Ahyar melangkah tegas keluar dari kamar. Matanya memutar malas menatap Junot dan Banyu masih asyik bermain catur.
Seperti kala masuk rumah tadi, Ahyar sama sekali tak ada niat untuk menyapa dua pemuda tanggung itu. Ia terus melangkah, menuju ke mobil. Tanpa mengulur waktu, Ahyar pun segera tancap gas.
~~~~~KEKI - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~
Ken menyibak sedikit selimutnya. Ia mengernyit melihat suasana sekitar yang gelap. Pantas saja. Ternyata sudah setengah enam sore. Dan lampu kamarnya belum dinyalakan. Ia langsung tidur ketika sampai rumah tadi. Ia bahkan lupa minta tolong pada asisten untuk mengurusi motor yang ia tinggal.
Ken kembali mengernyit merasakan nyeri di dada. Ia sudah minum obat. Ia sudah menenangkan diri. Ia pun sudah istirahat. Tapi kenapa masih sakit?
Jemarinya meraih gagang telepon di atas nakas. Ia menekan angka satu, yang menghubungkan kamar ini, dengan dapur. Tak perlu menunggu lama, seseorang sudah menerima panggilannya.
"Halo, Mas!"
"Mbak Bian ...."
"Mas Kenta nggak apa-apa?" Tersirat kekhawatiran dalam nada bicara asisten itu.
Dari suaranya saja terdengar jelas bahwa kondisi Ken sedang tidak baik. Bianca sebenarnya sudah curiga sejak Ken pulang sekolah tadi. Apalagi anak itu pulang naik taksi. Padahal berangkat menggunakan motor. Ia sudah bertanya apa yang terjadi, tapi Ken tidak menjawab. Hanya bergegas menuju kamarnya.
"T-tolong kasih tahu Mas Yongki buat nyiapin mobil!"
"Mas Kenta nggak apa-apa?"
"Nggak tahu. Tolong kasih tahu Mas Yongki, ya, Mbak!" Ken mengucapkannya sepelan mungkin. Tak ingin Bianca semakin panik. Meskipun sepertinya percuma.
"I-iya, Mas. Tunggu sebentar, ya!" Kepanikan itu semakin jelas terdengar.
Ken segera meletakkan gagang telepon, kembali menarik selimut sampai menutup kepala.
~~~~~KEKI - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~
Garong menggoyangkan ekornya ke kanan dan ke kiri, menghindari tangan nakal Sahla yang terus memaksa ingin memegang ekor panjang warna oranye, bermotif belang-belang. Sudah tahu bagian itu sensitif. Garong selalu marah tiap kali Sahla melakukannya. Tapi gadis itu tak pernah kapok, meskipun Garong sudah pernah mencakar lengannya.
Garong bukan kucing Sahla. Ia adalah kucing liar. Makanya Sahla memanggilnya Garong. Kucing itu sering main dari rumah ke rumah untuk minta makanan. Termasuk ke rumah ini.
Tiap kali Garong ke sini, Sahla selalu kegirangan. Karena ia merasa punya teman. Apalagi saat Lintang belum pulang seperti ini.
"Rong!" seru Sahla.
"Meong!" jawab Garong.
"Kok Bapak belum pulang juga, sih, Rong? Kamu jangan pergi dulu, ya! Temenin Sahla!" manjanya sambil terus berusaha memegang ekor Garong. Dan Garong juga terus menggerakkan ekornya menghindari tangan Sahla.
"Meong!" jawab Garong lagi.
"Nanti kamu Sahla kasih ikan pindang lagi, deh. Biasanya cuman Sahla kasih satu. Hari ini dua!" Sahla mengangkat dua jarinya.
"Meong!" pasrah garong.
"Rong, bentar lagi tahun 2018. Tahun janji Sahla sama Yayang. Hmh ... Sahla beneran udah nggak sabar, Rong. Tapi Sahla sebenernya khawatir Yayang lupa. Tapi ... kayaknya nggak, deh. Soalnya dia tetep baik banget sama Sahla, kayak dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKI [Sudah Terbit]
Genç Kurgu[Sudah Terbit] KEKI "Akulah orang yang tepat, kapan kamu nyadarnya?". _________________________ Tingkah Sahla memang seringkali absurd, tapi kali ini yang paling puncak. Ia bersikeras memakai helm sepanjang hari di sekolah. Alasannya...