Tujuh tahun lalu.
Malam ke-367 semenjak Sahla dirawat. Lintang rajin menghitung hari demi hari. Menunggu saat di mana putrinya dapat kembali normal—seperti dulu. Sudah jam sepuluh lebih ketika semua pekerjaan akhirnya selesai. Ia melepas jubah dokternya, menggeliat kecil, kemudian melenggang meninggalkan ruangan.
Lintang menuju ke bangsal rawat inap anak-anak. Tercipta kerutan di kening lelaki itu, saat tahu bahwa lampu kamar Sahla masih menyala. Padahal biasanya anak itu sudah tidur jam segini. Mengingat putrinya bukan tipe anak yang betah terjaga lama-lama. Apalagi setelah peristiwa nahas di masa lalu, yang merenggut keceriaan putrinya itu. Dan Sahla tak pernah mau bicara lagi setelahnya.
Knop pintu terasa dingin kala Lintang membukanya. Perlahan ia masuk, menatap lekat pada Sahla yang berbaring tengkurap di atas brankar. Lintang beringsut mendekat supaya tahu pasti apa yang sedang dilakukan putrinya.
Menyadari kedatangan Lintang, Sahla menoleh. Lintang tertegun menatap senyuman Sahla padanya. Senyuman ceria nan tulus, yang sudah lama sekali tak Lintang temui. Senyuman yang begitu ia rindukan. Hingga membuat dadanya bergemuruh sesak. Ditambah apa yang sedang Sahla lakukan ... ia ... menggambar?
"Bapak, bagus nggak gambarnya Sahla?" tanya gadis itu kemudian.
Pancaran ceria masih terlihat jelas. Sahla menunjukkan sebuah sketsa yang baru saja ia buat. Lintang ingat tentu saja. Putrinya memang berbakat menggambar. Sahla sudah pernah menjuarai berbagai lomba menggambar kategori anak-anak, di usianya yang masih begitu muda. Namun Sahla sudah lama tak pernah mau menggambar lagi. Lintang benar-benar tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tadi pagi saat meninggalkan ruangan ini, Sahla masih seperti biasa—diam seolah-olah tanpa jiwa. Namun apa gerangan—atau siapa—yang telah membuat putrinya ini berubah, kembali seperti dulu?
Banyak hal yang sudah lama Sahla berhenti lakukan selain bicara, di antaranya, gadis kecil itu juga berhenti tersenyum, berhenti menggambar, juga berhenti melakukan segala kebiasaannya yang lalu. Raganya hidup, namun kosong. Jiwanya seakan ikut pergi, bersama kenangan pahit itu.
Tak ayal Lintang merasakan gemuruh hebat dalam dada. Tangisnya seketika pecah. Dalam satu malam, putrinya yang dulu telah kembali. Lintang merasa harus mencari tahu apa saja yang Sahla lakukan hari ini, sampai-sampai keajaiban ini terjadi.
"Bapak kenapa nangis?" Sahla mengerjap polos.
Lintang buru-buru menghapus airmatanya. "Nggak, Sayang. Bapak nggak nangis!"
"Jangan bohong, deh! Siapa yang nakal sama Bapak? Nanti biar Sahla marahin!" Sahla bangkit dudut, kemudian berkacak pinggang.
Lintang terkikik dibuatnya. "Nggak, Sayang, nggak. Bapak nangis karena terharu. Bapak sedang merasa sangat bahagia."
Sahla masih mengamati Lintang dengan sorot polosnya. Sebelum Lintang memeluknya erat, lalu mengecup puncak kepalanya. Seperti Lintang sedang sangat merindukannya. Seperti Lintang telah lama tak bertemu dengannya.
"Ini kamu gambar siapa, Sayang?"
Sahla meringis manis menunjukkan deretan giginya yang tersusun kurang teratur. Dua gigi depannya sangat besar. Sementara gigi taringnya belum tumbuh setelah tanggal beberapa waktu yang lalu. "Ini Sahla, Pak." Sahla menunjuk gambar gadis dalam foto itu.
"Lalu ini siapa?"
"Ini ...." Sahla tersenyum malu-malu. "Ini Yayang."
"Yayang?" Lintang berjengit.
Sahla mengangguk-angguk. "Yup, Yayang."
"Yayang siapa maksud kamu?"
"Ih, Bapak. Masak Yayang aja nggak tahu. Itu, tuh, yang tadi siang main sama Sahla sepanjang hari. Meskipun Yayang ngomongnya irit, tapi Sahla suka."
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKI [Sudah Terbit]
Dla nastolatków[Sudah Terbit] KEKI "Akulah orang yang tepat, kapan kamu nyadarnya?". _________________________ Tingkah Sahla memang seringkali absurd, tapi kali ini yang paling puncak. Ia bersikeras memakai helm sepanjang hari di sekolah. Alasannya...