9 | Tawuran Mendadak

101 4 0
                                    

[]

Siang ini pelajaran Kimia terasa lebih membosankan dari hari-hari sebelumnya. Materi asam-basa yang amat membuat mual jika Pak Kumis yang mengajar, benar-benar sukses membuat mood Leon semakin memburuk. Cowok itu memutar pensilnya dengan malas di antara sela jari telunjuk dan jari manis. Ia melirik Hilman yang sama malasnya. Pak Kumis masih bercerita bagaimana asal muasal teori asam basa Bronsted Lowry yang sebenarnya bisa lebih simpel.

"Le, lo nggak nyuruh Rio buat minta izin pura-pura Bu Titin manggil kita apa?" Hilman berbisik pada Leon sambil melihat Pak Kumis penuh waspada.

Meski Pak Kumis itu guru yang paling ngebosenin saat mengajar, tapi kalo beliau udah marah mah nggak nanggung-nanggung. Apapun yang berada di dekatnya pasti dilempar. Sekarang Pak Kumis tengah memegang buku cetak Kimia yang super tebal, entah sampai berapa halaman. Padahal buku-buku Kimia biasanya tidak setebal Biologi yang lebih banyak materi dibandingkan rumus. Tapi buku Pak Kumis selalu beda sendiri, entah beli di mana.

Leon menoleh. "Maunya sih. Tapi kan si kepsek gendut itu lagi izin, Man," jawab Leon.

Memang Bu Titin atau biasa dipanggil oleh Leon ialah kepsek gendut itu, tengah izin menemani suaminya yang tengah sakit. Leon sih seneng karena nggak akan ada guru yang selalu menatapnya penuh waspada dan ancaman, tapi sedih juga karena nggak bisa bikin izin buat ngehindarin guru-guru macam Pak Kumis.

Alhasil selama 30 menit ke depan Leon habiskan untuk memperhatikan Pak Kumis mengajar. Kemudian cowok itu segera keluar lebih cepat saat bel pulang dibunyikan, dibandingkan teman-teman sekelasnya yang masih membereskan peralatan tulis. Tas hitam menggantung ringan di bahunya. Tas itu hanya diisi oleh dua buku catatan, cesan ponsel dan earphone pemberian Abang lelakinya yang kini tengah menjalani studi di salah satu universitas di Malang.

Bersama Hilman, Leon berjalan menuju kantin untuk menemui seluruh anggota Elang. Cowok itu sempat berpas-pasan dengan Alana bersama teman setianya yang tengah mengobrol sambil tertawa kecil. Ingin iseng, Leon menghalangi kaki Alana dengan telapak kakinya membuat gadis itu sedikit tersandung, hampir jatuh.

Leon tersenyum tipis, matanya yang tajam sedikit memancarkan kegelian melihat Alana yang cemberut.

"Kunyuk! Iseng banget jadi cowok," gerutu gadis itu tanpa memperpanjang pertengkaran kecil antara dirinya juga Leon yang masih tertawa.

Leon melirik Hilman. "Yuk, gue udah laper."

***

Setiap pulang sekolah, kantin selalu diramaikan oleh para anggota Elang entah itu untuk bermain adu panco atau tarot, atau misalnya mereka berunding untuk melawan pereman-pereman, membuat strategi tempur buat tawuran, dan masih banyak hal lainnya yang bisa dilakukan oleh para anggota Elang ketika bel pulang tiba.

"Leon!" panggilan Jalu membuat Leon menoleh dan mencari cowok berkulit sawo matang itu.

Menemukan Jalu yang duduk dengan Rio di pojokan kantin membuat Leon dan Hilman bergerak ke sana. Di sana, Rio sudah memesankan jus mangga untuk Leon dan satu es teh manis untuk Hilman. Kedua cowok yang sebenarnya masih merasa ngantuk gara-gara Pak Kumis, dengan segera meminum minuman tersbut hingga tersisa setengah.

"Lo tau nggak sih soal copet di deket stasiun?" Jalu bertanya, memulai diskusi mereka.

Kantin yang tadi ramai oleh tawa dan seruan kini senyap saat Jalu memulai ceritanya.

"Kemarin Laila, cewek kelas 10 Bahasa, ponselnya raib pas dia mau masukin tuh ponsel ke dalam tas," ujar Jalu.

Diki, siswa kelas 10 yang baru bergabung pun bertanya. "Terus Laila gimana? Dia udah lapor polisi?"

"Dia nggak berani," jawab Rio. "Dia juga nggak bilang orangtuanya karena takut, tapi dia malah bilang ke kita buat ambil itu ponselnya," Rio menambahkan.

Hilman tertawa. "Udah telat kali kalo mau ngambil sekarang mah. Palingan itu ponsel udah jadi duit," sungut cowok itu dengan lugasnya.

"Iya sih, tapi setidaknya kita bisa ngehajar itu copet, kan? Ini udah keempat kali dia nyopet barang-barang siswa Bima Sakti," usul cowok berkacamata yang tengah melahap permen mint di mulutnya. "Bisa kan, Le?" cowok itu menatap Leon yang tengah berpikir.

Sebelum Leon menjawab, sosok siswi berkerudung tiba-tiba berteriak nyaring. Wajahnya nampak panik, cemas dan takut. "Di depan ada SMK Bangkara nyerang!"

Leon menoleh cepat bersama anggota Elang lainnya. Tanpa basa-basi, cowok itu segera menyambar tasnya dan berlari meninggalkan kantin dengan diikuti para anggota Elang. Dia melihat ke gerbang di mana para siswa dari SMK Bangkara tengah berjaga dan berteriak kesetanan. Tanpa peralatan khusus selain gesper juga potongan kayu yang ia temukan di kantin tadi, Leon segera meminta Pak Mamat untuk membuka gerbang dan membiarkan mereka melawan para siswa kurang kerjaan itu.

Leon mulai memukul dagu si ketua dari basis SMK Bangkara ketika baru ingin menyerangnya. Sambil menghindar dan juga balas memukul, Leon bertanya dengan napas terengah. "Apa maksud lo nyerang sekolah gue, hah?" tanya cowok itu.

Laki-laki yang kini berada di bawah Leon itu terkekeh. Darah dari sudut bibirnya terlihat ngilu dan bonyok di mata kirinya benar-benar menyeramkan. "Tanya aja sama siswa dari sekolah lo yang berani nyenggol temen gue," jawabnya.

Leon tertawa, kini dia menahan sakit di pipi kirinya ketika mendapat pukulan kencang. "Yaelah, bocah banget lo pada. Nyenggol dikit doang nggak bikin lo mati, kan?" Leon bertanya, menendang perut laki-laki yang kini terlihat lebih lunglai. Lemah. "Apa? Masih mau ngelawan? Woi mas, nyenggol doang mah nggak perlu pake tawuran begini. Bocah banget tau, gak?" Cowok itu mendaratkan pukulannya ke pipi kanan laki-laki itu. Ia melihat name tag di dada kirinya. "Dipo, sekarang lo bawa balik anak buah lo. Gue lagi nggak mood buat bikin lo koma," ucap cowok itu telak. Membiarkan laki-laki bernama Dipo itu berteriak,

"Kita balik sekarang! Urusan kita udah selesai!" Mata Dipo menangkap smirk menyebalkan Leon. Cowok itu menggeram dan berlari dengan tertatih.

Leon terkekeh, mengusap darah di ujung bibirnya dan memegang bengkak di siku kanannya. Tadi Leon sempat mendapatkan pukulan tidak sengaja di siku kirinya, sehingga sekerang rasanya benar-benar nyeri dan ngilu.

"Kita balik aja. Buat masalah copet itu, mungkin lain kali bisa kita urusin mereka," ucap Leon final dan berjalan menuju UKS untuk mengobati lukanya.[]

Kompas (Arah, Tujuan, dan Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang