[]
Pagi ini Leon terbangun karena siraman air ke wajahnya. Cowok itu bangkit dengan mulut menganga lebar, menatap ke samping di mana Ibunya tengah berkaca pinggang dengan pandangan mata tajam. Wanita paruh baya itu menjewer telinga Leon, memelintirnya kencang membuat cowok itu meringis.
"Aww! Bunda!"
"Apa?" Bunda menatap anaknya sebal. "Udah Bunda bilangin, jangan keluyuran malem-malem. Kenapa kamu masih aja ngeyel, sih, Le. Kamu anak IPA, seharusnya kamu belajar yang bener, bukan malah berantem tiap malem!" ucap Bunda penuh penekanan di setiap kata-katanya.
Leon menggeleng tidak mengerti. "Aish, Bun, aku tetep belajar kok. Tadi malem setelah dari tempat nong—"
"Jadi kamu nongkrong di sana lagi, Leon?" Bunda menatap Leon penuh ancaman. "Kamu ke tempat itu lagi, hah?" wanita itu mulai geram.
"Bun, Leon cuman ngerok—ups," cowok itu menutup mulutnya, menunduk sebelum dia merasakan pukulan di punggungnya dengan kencang. Bunda memukulnya lagi, seharusnya Leon tidak sebodoh ini.
"Astaghfirullah, Leonn. Udah Bunda bilangin, berhenti ke tempat itu! Berhenti ngerokok sama minum! Kamu anak Bunda, kan?" wanita itu menatap anaknya dengan lelah. "Kamu nggak mau ka—"
"Iya Bun. Aku ke sana sebulan sekali, kok," Leon bangkit dengan bertelanjang dada karena setelah belajar sampai jam 1 pagi untuk menghadapi ujian Fisika hari ini, Leon melepas kaus hitamnya kemudian tidur dan terbangun pukul enam pagi. Itu pun jika Bunda berinisiatif untuk membangunkannya. Jika tidak? Tamatlah riwayat Leon.
Bunda menatap anak semata wayangnya yang sudah memasuki kamar mandi. Wanita itu mendesah panjang. Dia seharusnya tidak menyinggung masalah itu. Leon nggak boleh depresi lagi.
Selepas mandi dan berpakaian, cowok itu turun dengan menenteng tas hitamnya di pundak. Ia melihat Ayahnya yang tengah meminum kopi sedangkan Bundanya tengah menyiapkan roti selai kacang untung dirinya, juga secangkir susu cokelat yang sebenarnya amat malas Leon untuk minum cariran kental itu.
"Leon! Diminum susunya!" teriak Bunda ketika Leon hanya mencomot roti selai.
Laki-laki itu menoleh, kemudian meminum susunya sedikit dan pamit meninggalkan teriakan Bundanya dan tawa renyah Ayahnya.
Lima menit lagi bel masuk akan terdengar, tapi Leon nggak peduli. Dia punya tempat rahasia untuk bisa sampai di kelasnya tanpa ketahuan Bu Tika. Lelaki itu mengetuk pintu belakang, menunggu Rio dan Hilman yang akan membukakan pintu yang terbuat dari besi itu sebelum suara perempuan mengagetkannya.
"Lo Leon, kan?" perempuan itu berjalan mendekat sembari bersidekap. Tatapannya menyelidik, penuh penasaran. "Atau, gue salah orang?"
"Lo siapa?" Leon balas bertanya. Dia tidak kenal perempuan ini. Bahkan saat melihat name tag di atas saku bajunya, Leon tau kalau dia adalah siswa kelas 10. Di SMA Bima Sakti, para siswa kelas 10 diwajibkan untuk memakai name tag agar mudah dikenali oleh orang lain. Terutama mengenali teman seangkatannya sendiri dan tidak salah panggil jika mereka malah menegur senior tanpa embel-embel Kakak. Senior SMA Bima Sakti itu baperan banget. Yah, sama sajalah kayak senior di sekolah lain. Itulah sebabnya Pak Direktur sekolah ini menyuruh para murid kelas 10 untuk memakai name tag agar tidak ada pembullyan hanya karena masalah sepele.
Perempuan itu tertawa kecil. "Aku Clara. Siswa kelas 10 IPS 3 yang sering telat. Bukan sering sih, tapi tiap hari," jawab perempuan itu dengan santainya.
Leon menganga, rahang Leon terbuka lebar hampir mengenai jalanan beraspal tersebut. "Se—"
"Hahaha, bercanda Kak Leon," perempuan bernama Clara itu tertawa. Dia melihat wajah Leon yang lega, kemudian tersenyum kecil. "Aku sengaja telat dan dateng ke sini karena aku tau Kakak bakal telat dan ke sini," ucapnya.
Leon diam, menatap cowok itu penuh keingintahuan sebelum suara pintu terbuka dan Hilman yang menarik tasnya.
"Kebiasaan lo, anjing."
***
Sekarang Leon tengah berjalan di koridor kelas 10, di mana Clara akan sampai di kelasnya. Namun sebelum Leon menaiki tangga untuk mencapai koridor kelas 11, suara Clara membuatnya menoleh.
"Ke taman belakang?" Leon menatap gadis itu bingung.
Clara mengangguk kecil. "Iya, ada yang mau aku omongin sama Kakak," jawab gadis itu sebelum pergi meninggalkan Leon yang terdiam, sedangkan kedua sahabatnya malah meledek cowok itu.
"Dia mau nembak lo, tuh," sungut Rio sambil mendorong bahu Leon pelan.
Hilman mengangguk. "Gue setuju sama Rio, Le."
"Alah tai. Kuy lah ke kelas," ucap Leon sembari meninggalkan Hilman dan Rio yang tengah menertawakannya.
***
Kelas 11 IPS 4 selalu ramai seperti biasanya. Bahkan saat guru Sosiologi mereka tengah menerangkan di depan, kelas ini tetap saja berisik. Alana menghela napas, gadis itu mulai lelah. Bahkan saat bertemu sosok perempuan aneh yang tiba-tiba meminta dirinya untuk bertemu dengan perempuan itu di taman belakang.
Perempuan itu nggak mungkin mau nembak dia, kan?
"Hei, Al, lemes banget lo," komentar Huta pada Alana yang sekarang menjatuhkan kepalanya di atas lengan tangan kanannya. Gadis itu menatap Alana heran. "Lo masih mikirin itu bocah, Al?" tanya Huta.
Alana menatap Huta malas. "Menurut lo?" balas gadis itu sedikit sewot. Alana bangkit sembari bersandar pada punggung bangku, memperhatikan Pak Arip yang kini tengah menulis rangkuman materi di papan tulis. "Itu cewek aneh nggak, sih?" tanya Alana, tatapannya tertuju pada tulisan di depannya.
Huta mengedikkan bahu acuh. "Nggak tuh. Mungkin aja dia mau minta bantuan lo buat nembak gebetannya?" Huta memberi masukan meski dia masih sedikit bingung.
"Ini pertama kalinya ada cewek yang minta dideketin cowok ke gue, Hut," senggah Alana.
Huta mengangguk mengiyakan. Biasanya memang hanya laki-laki yang meminta bantuan Alana untuk menjadi mak comblang antara dirinya dan gadis kesukaannya. Tapi kalau cewek yang minta bantuan? Nggak pernah. Karena hakikatnya, perempuan itu menunggu dan laki-laki mewujudkan impian perempuan yang menunggu itu. Jika malah sebaliknya, Alana malah merasa geli. Dia membayangkan gadis sekecil Clara nembak cowok yang badannya dua kali lebih tinggi dari gadis itu di lapangan. Gadis itu bisa membayangkan bagaimana malunya Clara saat cowok impiannya nolak perasaan Clara. Pasti sangat malu.
"Udah lah, yang penting sekarang kita belajar aja dulu," Huta berujar sambil menunjuk buku cetaknya yang terbuka di halaman penuh soal latihan. Masalahnya, tadi sebelum pelajaran dimulai, Pak Arip sudah memberi lima soal latihan. Essai.
Lalu sekarang?
Alana menatap Pak Arip heran. "Soal lagi?!"[]
a.n
Btw, thanks buat yang udah mau baca dan vote cerita ini. Semoga dibaca sampai tamat yaaa :))
KAMU SEDANG MEMBACA
Kompas (Arah, Tujuan, dan Kita)
Teen FictionAlana adalah si mak comblang yang paling mantap! Tiap ada yang minta dicomblangin ke orang yang disuka, Alana adalah jagoannya. Sudah ada banyak pasangan dari SMA Bima Sakti yang jadi saksi dari aksi heroik Alana. Heroik dalam masalah cinta soalnya...