2 | Adi Leonal Pramaswara

161 6 0
                                    

Mukul orang itu udah kayak makanan gue tiap hari, bro. Jadi, mukul orang ampe sekarat juga udah biasa.

-Leon.

^*^*^*


Leon terbangun saat merasakan tamparan di pipi kirinya yang semalam memar akibat pukulan salah satu korbannya. Cowok itu bangun dan menemukan Bunda tebgah menatapnya garang.

"Jadi semalam kamu berantem lagi?!" Nada tanya Bunda meninggi. Tanduk iblis seperti muncul di kedua sisi kepanya. Wanita itu menarik telinga Leon, memilinnya kencang lalu melepasnya ketika telinga itu memerah. "Mau kamu apa, Leon?!" Bunda bertanya dengan nada kencang.

Leon merengut manja. "Aku kan cuman main berantem-beranteman doang, Bun," adunya. "Lagian Bun, cowok gak bisa berantem itu aneh," tambah cowok itu lalu nyengir lebar kala Bundanya makin melotot.

"Yaudah, mandi sana!" suruh Bunda.

Leon hanya mengangguk dan berjalan gontai menuju kamar mandi.

Setelah mandi yang tidak memakan waktu lebih dari 5 menit itu, Leon segera memakai seragam sekolahnya. Cowok itu menatap wajahnya dengan memar yang amat ketara. Ia menyunggingkan senyum miring, merasa bahwa luka segini belum ada apa-apanya.

Leon keluar dari kamar setelah membawa sepatu beserta menyampirkan tasnya ke bahu. Cowok itu duduk anteng di kursi makan, memulai sarapan tanpa banyak bicara karena sudut bibir kirinya terasa perih.

Bunda datang dari arah dapur. Membawa kotak P3K. Sambil mengobati luka Leon, Bunda tidak lupa untuk mencubit lengan cowok itu. Ayah hanya terkekeh melihat anaknya tengah diomeli oleh isterinya. Laki-laki paruh baya itu tidak memusingkan kelakukan anaknya, setidaknya Leon tidak melakukan hal yang lebih parah dari sekadar berantem melawan kebenaran.

"Kamu kalo mau jadi TNI, gak sering berantem juga dong, Le," tegur Ayah ketika Leon ingin pamit padanya.

Leon tercengir. "Hehe, Ayah kayak gak tau aja," balas Leon.

Bunda mendelik. "Mending kamu jadi dokter, deh," usul Bunda. Mulai muak dengan kedua laki-laki yang malah menertawakannya.

"Yodah, Leon berangkat dulu! Assalamualaikum!"

Leon berjalan keluar menuju motornya yang sudah disiapkan Pak Atur. Cowok itu tersenyum kecil pada supir Ayahnya, lalu mengendarai motornya keluar dari pekarangan rumah.

Jalanan nampak ramai dipenuhi pengendara motor juga mobil. Leon membelokkan setang ketika melewati pertigaan, lalu lurus terus hingga masuk ke dalam sebuah jalanan besar menuju sekolahnya.

SMA Bima Sakti adalah sekolah paling terkenal dengan berbagai prestasi yang beragam. Dari prestasi akademi sampai non-akademi sudah sekolah itu dapatkan. Bahkan prestasi yang non-resmi dari sekolah pun ada. Misal, prestasi Leon yang sudah pernah mematahkan kaki pencuri motor, membuat seorang pemuda SMA lain koma karena dia hampir membunuh salah satu temannya saat tawuran, dan masih banyak hal mengerikan yang pernah Leon lakukan.

Tubuhnya yang tegap dan pemegang sabuk hitam dari seluruh ajang bela diri, membuat Leon menjadi sosok yang paling disegani. Jika di rumah dia menjadi sosok penuh ekspresi dan sopan. Lain halnya di sekolah. Dia bisa jadi sosok dingin dan pemarah juga penuh rasa dendam.

Leon bukannya pemarah. Namun jika orang itu sudah menyebalkan pada saat berhadapan dengan Leon, cowok itu harus apa lagi selain marah dan memukuli orang itu hingga tak berdaya.

Namun hanya sekali dia membuat seseorang koma. Karena hal itu sempat mengancamnya dikeluarkan dari sekolah. Untunglah kepala sekolah Leon masih berbaik hati karena jika tidak ada Leon, mungkin mobil kepala sekolah sudah raib dibawa pergi maling.

Jadi, meski berandal dan tangan Leon amat ringan dalam arti sebuah perumpamaan. Cowok itu punya maksud lain di balik semua pukulan yang ia layangkan untuk orang-orang itu.

Yaitu, melindungi orang lain.

^*^*^*

Bunyi bel istirahat membangunkan Leon yang tertidur pulas di UKS. Cowok itu turun dari kasur yang tadi membawanya dalam lanjutan mimpi semalam. Dia melirik ke arah meja Pak Alif, dokter UKS-nya, yang kosong dan ditinggali oleh buku jurnal yang berisikan nama anak-anak yang sakit.

Sebenarnya, Leon tidak habis sakit. Dia hanya malas bertemu Bu Gia karena dia belum mengerjakan tugas Sosiologi. Wali kelasnya itu termasuk guru paling killer seantero sekolah. Apalagi Bu Gia memiliki suara yang keras. Jadi, kalau mik lagi rusak, Bu Gia pantas menggantikan pemimpin upacara.

"Oi, bro," sapa seorang cowok berambut jabrik dan mata yang sipit. Cowok itu merangkul Leon akrab. "Enak banget lo, tai. Bisa bebas dari terkaman Bu Gia," keluh cowok itu, mendorong bahu Leon pelan.

Leon balas tertawa sembari melepaskan diri dari rangkulan sahabatnya. "Lo lagian tumben banget alim, Jal," ucapnya, kemudian terkekeh.

Cowok yang dipanggil Jal itu hanya misuh-misuh. "Gue males kalo Nyokap ke sekolah lagi. Si Pak Uban bawel banget. Apa-apa panggil orangtua," keluhnya.

Leon hanya tertawa mendengar tanggapan Jalu, temannya, si keponakan kepala sekolah. Laki-laki yang pernah Leon tolong saat dia hampir dikeroyok itu, termasuk anak yang sering dimanjakan. Selain Jalu, masih ada beberapa temannya lagi yang tergabung dari geng Elang. Geng yang mengatasnamakan tim perlindungan sekolah itu, memang cukup terkenal dalam lingkup sekolah bahkan luar.

Selain suka tawuran hanya karena masalah yang kata orang sepele, mereka juga sering nangkep maling atau bantuin tukang becak saat lagi dihardik oleh orang lain. Kata orang, anak geng itu bandel. Suka merokok, narkoba dan minum alkohol.

Namun bagi Leon dan ketiga sahabatnya, juga anggota lain yang tergabung dari geng yang ia buat, cukup mukulin orang sampai koma aja kenakalan mereka. Selebihnya bagi mereka itu cuman godaan yang hanya menambah dosa. Gini-gini Leon masih takut dapet dosa walau salatnya sering tidak tepat waktu. Tapi, kadang Leon juga merokok dan minum-minum sih. Kalo untuk alkohol, kata Leon sih. "Gue masih mau jadi orang sukses, bro. Lu aja sono mati duluan, jangan ngajak-ngajak."

"Eh, Le. Kemarin si Dimas kena pukul sama tukang palak dekat pasar Senen. Kita samperin gak nih?" sembur Hilman, salah satu sahabatnya selain Jalu, ketika Leon baru saja menjatuhkan bokongnya di atas kursi kantin.

Leon menoleh. "Si ketua rohis itu? Dia kena palak lagi? Bukannya waktu itu pernah gue bikin patah ya, lengan si ketuanya," Leon heran karena seharusnya geng dekat pasar Senen yang seharusnya sudah musnah karena ketuanya telah Leon patahkan tangannya. Tapi, kenapa mereka masih saja berkeliaran dan malahan menetap? Lagian juga, kenapa Dimas tidak ceramah aja sih di sana? Sekalian bikin pereman tobat kan dapat pahala.

"Nah itu dia masalahnya, Le. Anak buahnya nyari lo buat balas dendam. Karena kebetulan Dimas selalu lewat sana buat pulang, ya dia kena lagi lah," Hilman bercerita. "Sekarang Dimas masih di rumah sakit, kepalanya bocor gara-gara kena pukul."

"Demi?!" Rio, cowok heboh yang selalu bisa bikin perut terasa terkocok karena leluconnya. "Kalo gitu, kita harus samperin mereka secepat mungkin, Le!" kata Rio penuh semangat.

Leon menggeleng, senyum tipis terpampang jelas di wajahnya yang masih ada sedikit lebam akibat pertarungan tadi malam. "Jangan bawa anak-anak yang lain, terlalu keliatan dan nanti gue takut ada polisi," dia menenggak air mineral yang tadi ia beli. "Kita berempat aja," sambungnya.

Ketiga sahabatnya mengangguk paham. Selain jago berantem, Leon juga pandai mengatur jalannya pertarungan. Dia sudah memikirkan dampak negatif dan positifnya ketika akan memulai kegiatan berantemnya. Bukan karena dia takut, tapi dia tidak ingin Ibunya semakin cemas. Dia juga tidak ingin para temannya harus mendekam di penjara meski kadang hanya semalaman.

Asal kalian tau, makanan di penjara itu gak enak! Makanya Leon gak mau yang namanya bermalam di penjara. Kapok sama makanannya![]

Kompas (Arah, Tujuan, dan Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang