[]
Sejak memasuki pelajaran terakhir, Alana tak henti-henti menatap jam dinding. Biasanya dia tak pernah terlalu sering menatap jam dinding, namun dia sudah tak sabar mendengar dongeng pengantar dirinya untuk mengetahui segala yang harus dia ketahui. Jadi, ini sudah ke delapan puluh kali Alana melihat jam dinding, dan jam itu masih menunjukkan pukul 2 lewat 45 menit. Masih ada sekitar lima belas menit Bu Sukma mengajarkan Pkn.
".. dan tolong jangan lupa bahwa minggu depan kalian harus mengumpulkan makalah kelompok kalian, paham?" Bu Sukma menatap seluruh murid dengan tatapan menuntut. Alana hanya mengangguk untuk mengiyakan pertanyaan bu Sukma. Karena sejujurnya, sejak awal pelajaran Pkn, Alana tak benar-benar mendengarkan. Sudah dibilang kan dia sejak tadi hanya memerhatikan jam dinding.
Ketika Bu Sukma telah meninggalkan kelas, Alana ikut bangkit dan diikuti Huta. Kedua gadis itu berjalan menuju gerbang, menemui kekasih Alana yang mungkin lima menit lagi akan datang. Saat ingin menuruni tangga, Alana bertemu Leon dan ketiga sahabatnya yang juga ingin menuruni tangga. Jalu dan Hilman sudah turun terlebih dahulu, menyisakan Rio dan Leon yang sekarang saling pandang.
"Kenapa lo nggak ikut turun?" tanya Leon pada Rio yang sudah berdiri di samping Alana.
Rio mengedikkan bahu. "Entah, mungkin karena gue disuruh Dirga buat jagain Alana. Jadi, Le, dari pada lo entar ribut sama Dirga, mending gue aja yang sama Alana buat nemuin Dir—"
"Gue ikut," potong Leon cepat seraya menuruni tangga.
Alana sama sekali nggak peduli, jadi dia ikut turun dengan Huta di sampingnya dan Rio berjalan di belakangnya. Selama di koridor, Alana hanya mengobrol dengan Huta tentang pelajaran Pkn yang sama sekali tidak diperhatikan Alana tadi. Untung saja Bu Sukma tak menyadari itu. Jika iya, mungkin tadi Alana sudah berada di luar kelas dengan salah satu kaki diangkat dan ditekuk beserta kedua tangan yang menarik telinga.
"Kelas lo juga disuruh bikin makalah?" tanya Rio saat Alana dan Huta menyinggung soal makalah kelompok.
Alana menoleh sekilas. "Hooh. Jangan bilang kelas lo juga?" tebak Alana, kemudian dibalas anggukan oleh Rio.
Leon yang berjalan di depan mereka pun tertawa. "Yaiyalah sama, toh gurunya juga sama," sahut cowok itu, melirik Rio tajam. "Nggak usah modus lo," cetusnya.
Rio tertawa, dia kadang lucu dengan sikap cemburu Leon. "Hahaha, bodo. Toh Alana cintanya sama Dirga kok," balas Rio sengit. Sudah dibilang kan, Rio sangat suka sikap cemburuan Leon, yang berarti Rio suka menjahili sahabatnya itu.
Leon berdecak, tak ingin balas ledekan Rio tersebut. Dia tau persis Rio tengah memancing amarahanya dan ya, dia berhasil. Tapi nggak berhasil sepenuhnya.
Sesampainya di gerbang sekolah, mereka menemukan Dirga yang sudah berdiri di samping motornya. Lelaki itu menatap Leon datar, kemudian menemukan kekasihnya tang tengah tersenyum, namun Dirga tau itu terlalu dipaksakan. Dirga menghampiri mereka dan bertanya pada Rio. "Alana dapat apa aja?"
Rio melirik Leon yang tengah memutar bola mata malas, kemudian menatap Dirga yang tampak tidak sabaran. "Dia dapet surat," ujar cowok itu sembari mengambil amplop hitam dari kantung seragamnya dan memberikannya pada Dirga. "Nih."
Dirga mengambilnya dan membaca surat itu. Setelahnya cowok itu meremas surat tersebut dan menginjaknya kuat-kuat. Dirga masih heran, bagaimana bisa orang itu tau kelas Alana beserta tempat duduknya. Cowok itu kini menatap Leon. "Le, gue harap lo cari mata-mata yang dicurigai sebagai bawahan orang itu," ucap Dirga disambut kekehan dari Leon.
"Gue udah tau lo bakal ngomong gitu," katanya sembari berjalan mendekati Dirga. "Dan gue harap, lo jagain Alana. Jangan sam—"
"Bawel," potong Dirga sebelum akhirnya menarik Alana untuk cepat-cepat pulang. Untuk saat ini, Dirga tidak ingin mengajak Alana ke tempat manapun selain rumah gadis itu. Cowok itu menatap Alana ketika mereka sudah berada di samping motornya. "Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Dirga sembari mengangkat wajah Alana yang sejak tadi tertunduk.
Alana memaksakan senyum lagi. "Dir ak—"
"Iya aku tau," Dirga tersenyum tipis. "Makanya kita harus cepat sampai rumah kamu, dan aku bakal cerita banyak di sana."
***
Selama mendengarkan cerita Dirga, Alana hanya bisa terdiam, menunduk, kemudian menatap Dirga kembali, menunduk, dan akhirnya dia menangis. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Dirga pada saat itu. Gadis itu membayangkan sosok Lani pada saat itu. Pasti sama syoknya saat tau bahwa dia yang akan dijadikan bentuk balas dendam orang itu terhadap Dirga juga Lintang, Abang dari Leon dan Lani.
"Jadi.. itu yang buat lo nggak percaya sama cinta?" tanya Alana pada akhirnya. Saat Dirga mengangguk, Alana tau seharusnya Alana tak pernah memulai permainan konyol ini. Dia tidak menyesal bertemu Dirga dan akhirnya berpacaran dengan cowok itu, namun dia takut Dirga akan merasakan hal yang sama untuk kedua kalinya, yang berarti Alana mati karena Dirga tak dapat menjaganya. Tapi Alana nggak ingin pergi secepat itu, Alana nggak mau meninggalkan kedua orangtuanya, kakaknya, Huta, dan cowok yang berada di hadapannya ini.
"Dirga," panggil Alana pelan. "Gue yakin, kali ini lo bisa hadapin semuanya, Ga," gadis itu mengambil tangan kiri Dirga, meremasnya lembut. "Lo pasti kali ini berhasil jagain gue," ucapnya.
Dirga hanya tersenyum. Dia ingin percaya kata-kata itu, tapi mengapa Dirga masih takut? Kali ini, dia bukan takut kehilangan satu sosok lagi dihidupnya. Tapi dia takut jika dia akan meninggalkan satu sosok yang sekarang tersenyum manis di depannya.[]
a.n
Halooo guysss! Pa kabar nehhh? Semoga baik yaa. Btw cerita ini udah mau tamat lohh. Aku bakal update selama 2 hari berturut-turut. Alias besok cerita ini bakal ENDING. Nanti malem aku update, jadi pantengin aja yaaa :))
KAMU SEDANG MEMBACA
Kompas (Arah, Tujuan, dan Kita)
JugendliteraturAlana adalah si mak comblang yang paling mantap! Tiap ada yang minta dicomblangin ke orang yang disuka, Alana adalah jagoannya. Sudah ada banyak pasangan dari SMA Bima Sakti yang jadi saksi dari aksi heroik Alana. Heroik dalam masalah cinta soalnya...