[]
Pagi ini Leon mendapatkan peran harus menjemput Clara di rumahnya. Kata gadis itu melalui telepon, Ayahnya tengah keluar kota bersama Ibunya untuk keperluan bisnis, meninggalkan dirinya di rumah dengan dua orang pembantu dan satu orang satpam. Clara tetap saja takut. Takut pada orang-orang suruhan Dirga, juga para musuh Papanya. Entah perang dingin antara bisnis keluarga Papa dengan musuhnya itu berakhir kapan, Clara belum tahu.
Leon berdiri di depan rumah besar dengan dua tiang menjulang ke atas. Halamannya luas dipenuhi pohonan hias yang dipotong rapih. Terlihat di samping pohon yang dipangkas berbentuk bulat itu, terdapat sangkar burung kakak tua berwarna putih. Cowok itu tersenyum kecil, rumah ini cukup asri namun terlalu kegedean. Leon lebih suka rumah sederhana milik Papanya.
"Kak Leon udah dateng?" Clara tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya. Gadis yang kini membiarkan rambutnya dikuncir buntut kuda itu, tersenyum. "Jalan sekarang yuk, Kak. Takut telat," ucap gadis itu, memasuki mobilnya dan membiarkan Leon mengikuti mobil milik Ayahnya tersebut.
Leon sebenarnya benci misi ini, seakan cowok ini benar-benar seorang pengawal puteri. Padahal mimpi Leon jadi pengawal presiden, seperti secret service. Tapi, mendapatkan pekerjaan awalnya seperti ini membuat Leon merasa aneh namun tertantang. Sesuatu dalam dirinya seperti merangkak keluar, napas liarnya menyatu dengan polusi ibukota di pagi hari.
Berhenti di lampu merah, Leon merasakan sekelempok motor hitam mengelilingi mobil yang membawa Clara. Cowok itu melihat salah satu kaki dari pengendara motor itu bergerak, seperti ingin mengempiskan ban mobil tersebut sebelum Leon bangkit dan menendang pengendara tersebut hingga terjatuh. Petarungan pun tak dapat dihindari saat sebuah kepalan ingin mengenai wajah Leon yang terlapisi kaca helm. Cowok itu menendang, memukul, dan menghindar. Berusaha untuk mengalahkan kelima pengendara dan membiarkan mobil yang dibawa supir pribadi milik keluarga Clara melaju cepat dengan kecepatan di atas rata-rata.
Selesai dengan musuhnya, Leon menyusul di belakang. Berusaha untuk menjatuhkan beberapa pengendara yang masih mengikuti mobil Clara dengan kaki panjangnya. Tepat saat di depan gerbang sekolah yang hampir tertutup, Leon dan mobil yang membawa Clara berhasil masuk ke dalam sekolah. Beberapa pengendara motor dengan setelan seba hitam itu segera menjauhi area sekolah, membuat Leon menghela napas lega.
Cowok itu melihat bagaimana wajah cemas Clara saat turun dari mobil. Tanpa menoleh ke arah Leon, Clara berlari menuju kelasnya. Leon hanya mengedikkah bahu, tak terlalu peduli. Lelaki itu melepas helmnya sebelum merasakan sakit pada telinganya, diputar dengan perlahan dan kencang. "Adaw! I-ibu, s-sakit.." cowok itu meringis, melepaskan jeweran bu Loli pada telinganya yang memerah.
Bu Loli berdecak. Wanita itu berkacak pinggang di hadapan Leon dengan pandangan menilai. "Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan pernah telat lagi, Leon," peringatan Bu Loli membuat Leon mendengus.
"Tadi ada kecelakaan kecil Bu, masa iya saya lewatin," balas cowok itu lugas.
Bu Loli melotot kemudian mencubit pinggang cowok itu. "Yaiyalah kamu lewatin to ndok! Astaghfirullah, capek saya punya murid badung kayak kamu. Untung kamu pintar terus pernah nolongin saya pas di stasiun Juanda," ucap wanita yang masih terlihat muda itu.
Seperti yang dikatakan Bu Loli, Leon pernah menyelamatkan wanita berusia 42 tahun itu saat hendak masuk ke stasiun Juanda. Bu Loli hampir kehilangan ATM berharganya karena melupakan kartu tersebut masih menggantung di mesin ATM. Beruntung Leon yang memasuki mesin tersebut setelah Bu Loli pergi. Jika bukan, mungkin duit berkisar 20 jutaan raib diambil orang.
Leon menyengir. "Bu, kalau begitu larinya dikurangin ya, Bu," Leon bernego sembari memasang wajah memohon, tampangnya sangat nggak banget. Lagian masa iya cuman telat sedetik Leon harus keliling lapangan sebanyak 10 kali? Kan nggak logis.
Bu Loli menggeleng. "Nggak ada kurang-kurangin, atau nilai Fisika kamu mau saya kurangin?" ancam wanita tersebut sebelum memulai hitungan lari keliling lapangannya membuat Leon, tanpa melepas tas, segera berlari menuju lapangan futsal.
Sehabis berlari sepuluh putaran, Leon segera berjalan menaiki tangga untuk menuju kelasnya. Sampai di pertigaan, cowok itu bertemu pandang dengan Alana dan luka di siku gadis itu. Mata Leon menyipit, refleks cowok itu menahan tangan Alana saat gadis itu hendak naik ke lantai tiga.
"Lo abis dari mana, Al? Ini siku ampe luka," tanya cowok itu heran.
Alana menepis tangan Leon, menatap cowok itu sebal. "Bukan urusan lo, kunyuk."
"Oh iya, lupa," Leon tersenyum tipis, kemudian meninggalkan Alana sembari bersenandung kecil menuju kelasnya. Sampai di kelas, Leon segera masuk karena guru Prakarya mereka sepertinya berhalangan hadir. Atau memang setiap pelajaran Prakarya, guru itu nggak pernah hadir kecuali memberi tugas kelompok dan mengumpulkannya Minggu depan. Sungguh guru yang baik.
"Man," Leon menepuk bahu Hilman agar cowok itu bangun dari tidurnya. "Lo tau nggak, kenapa siku Alana luka?" tanya Leon pada akhirnya. Entah kenapa Leon sedikit penasaran akibat tatapan sebal Alana padanya. Seperti Alana berkata, kalau siku ini luka gara-gara Leon. Tapi, kenapa harus dirinya yang disalahkan?
Hilman berusaha duduk tegak, cowok itu menoleh pada temannya yang baru mendudukkan bokongnya di atas kursi kayu di sampingnya tersebut. "Oh, itu gara-gara si Dirga kalo kata Rio mah," jawab Hilman santai, masih ada nada mengantuk di suaranya. "Kenapa emang?"
Leon menggeleng. "Nggak, gue merasa aneh aja. Kemarin kan dia keliatan nggak kenapa-kenapa," senggah Leon. "Oh iya, Dirga siapa?" tanya Leon pada Hilman yang baru bersiap untuk tidur.
Hilman menoleh, tatapannya terbuka sepenuhnya namun mulutnya menguap sekilas. "Itu cowok yang jadi ancaman Alana buat deketin si Clara sama Rafi, Le. Lo belum tau namanya?"
"Belum."
Hilman mengangguk, kemudian ingin tidur kembali sebelum suara tanya Leon kembali terdengar.
"Berarti Dirga kasar juga, ya?" pertanyaan Leon terdengar heran, sedikit nggak percaya.
Namun Hilman hanya mengangguk sekilas, nggak mau membantah dan nggak mau melanjutkan. Dia masih ingin melanjutkan tidurnya yang terpotong. Tapi, lagi-lagi Leon bertanya.
"Si Pak Males ngasih tugas kelompok apaan lagi, Man?"
Pak Males yang dimaksud Leon adalah Pak Budiman, guru Prakarya mereka yang jarang masuk kelas, tapi ngasih tugas kelompok tiap hari. Leon kadang suka heran gitu sama Pak Budiman, itu tugas mereka dikasih nilai apaan kok di rapor nilai Prakarya Leon 80 mulu? Udah sering ngasih tugas, pelit nilai lagi.
Hilman mendengus. "Liat di papan tulis napa, gue ngantuk!" cowok itu sekarang benar-benar tidur, dan Leon hanya mengedikkan bahu dan melihat papan tulis. Di sana tertulis bahwa tugas mereka kali ini adalah membuat masakan yang terbuat dari ubi, dan Leon sekelompok dengan Hilman untuk tugas kali ini. "Lah, Man, kita sekelompok? Kelompok kit—"
"Le," Hilman memotong, memandang Leon penuh harap karena dia sudah benar-benar mengantuk.
Leon tertawa pelan. "Sori, gue sengaja."
"Yah, anjing."[]
a.n
ALHAMDULILLAH BISA UPDATEEE /sujudsyukur/. Tadinya udah panik bangett dari pagi wattpad eror dan gak bisa update :((( ku pikir cerita ini bakal diupdate besok. Huhuhu. Semoga kalian suka, ya! Seneng banget wattpadku gak eror lagi ekekekeke.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kompas (Arah, Tujuan, dan Kita)
Teen FictionAlana adalah si mak comblang yang paling mantap! Tiap ada yang minta dicomblangin ke orang yang disuka, Alana adalah jagoannya. Sudah ada banyak pasangan dari SMA Bima Sakti yang jadi saksi dari aksi heroik Alana. Heroik dalam masalah cinta soalnya...