25 | Pernyataan Cinta

76 3 0
                                    

a.n

Maaf kemalaman lagii :(( dari pagi sampe sore ku sibuk. Apalagi siang sampai sore ku harus di lahan buat praktikum dbt sekaligus merawat tanaman bawang milikku dan kelompok ku :((. Maaf yaaa :)) Untuk hari Kamis bakal update 2 chapter! Ingetin, okay!

[]

Pukul dua siang, Alana masih sibuk dengan kelompok diskusi dalam pelajaran Sosiologi hari ini. Sesekali matanya melirik jam dinding di atas papan tulis, lalu mencatat poin-poin penting dalam diskusi kelompok hari ini. Sosiologi adalah mata pelajaran tentang ilmu sosial, kali ini Alana dan kelompok diskusinya membahas tentang kenakalan remaja.

"Tapi menurut gue ya, nakal bukan sekedar jailin guru sama bolos doang. Mereka juga melakukan hal-hal negatif di luar, selain tawuran pastinya," Eko menoleh ke arah Alana, tersenyum. "Ya, kan, Al. Leon itu termasuk jenis nakal versi biasa, atau nakal versi luar biasa?" nada pertanyaan Eko seperti meledek Alana yang notabenenya sedang mencatat poin-poin penting dalam diskusi mereka.

Alana menekan ujung pensil mekaniknya kuat-kuat di atas buku tulis hingga pensil itu patah. Dia mendengus. "Nakal versi sangat amat luar biasa. Selain bolos, jailin guru, usilin temen," saat mengucapkan kata 'temen', mata gadis itu melirik tajam ke arah Eko. "Dia juga tawuran, ngerokok, main di club malam, pokoknya nakal banget bangetan deh. Dan sekarang gue bingung, kenapa kalian masih nanya soal nakal versi 1, 2, dan 3? Kenapa gak langsung ke penyebab kenapa anak itu nakal?" gadis itu bersandar pada kursinya, menunggu ketiga temannya yang lain menjawab.

Sania mengajukan tangan kanannya, ingin mengutarakan pendapat terlebih dahulu. "Kalo menurut gue yah, faktor pertama ya karena lingkungan. Anak itu nakal, pasti karena dia bergaul sama lingkungannya yang penuh anak nakal. Jadi, dia itu gampang terpengaruh dan akhirnya jad—"

"Intinya adalah, karena anak itu mudah terpengaruh, kan?" Alana memotong. "Anak itu bisa nakal awalnya itu karena dia mudah terpengaruh orang lain. Dia bisa ngikutin ke mana aja, tanpa tau risiko dari apa yang dilakukannya. Permasalahannya, gimana cara agar anak itu nggak terpengaruh? Itu yang bikin kita harus mikir. Di sini bukan karena lingkungan doang, karena kalo anaknya gak mudah terpengaruh, lingkungan berisi anak nakal pun si anak ini gak bakal ikut-ikutan—"

"Dan dia udah tau mana yang benar, mana yang salah. Itu peran orang tua. Jadi masalah utama dari kasus kenakalan remaja adalah orang tua itu sendiri," Lutfi memotong kalimat Alana. "Orang tua yang baik adalah orang tua yang ngajarin anaknya, kasih tau mana yang salah dan mana yang benar. Dari sini, kita nggak usah bahas orang tua yang sibuk, karena sesungguhnya hari Minggu adalah waktu luang. Orang tua harusnya bisa kasih pengajaran lebih detail di hari libur tersebut."

"Sekarang kita mau bahas soal anak yatim-piatu, siapa yang ngajarin dia kalau orang tua pun gak ada? Oh, mungkin ibu panti kalo emang anak ini tinggal di panti asuhan. Nah, kalo dia tinggal di jalanan? Jalanan keras, bos. Kita gak bisa tau apa semua anak jalanan itu anak baik atau anak nakal. Kita gak tau semua anak jalanan punya orang tua, atau gak punya sama sekali," Eko memberi jeda, menghela napas. "Jadi, gue bingung apa masalah paling utama dari kenakalan remaja ini," ucapnya lalu terkekeh.

Alana melempar potongan penghapus miliknya ke arah Eko, kemudian melirik jam lagi. Sudah pukul dua lewat tiga puluh menit. Lima belas menit lagi bel pulang akan berdering, dia mulai merapihkan alat tulisnya membuat Sania mengernyit.

"Eh, eh, ini belum selesai. Kenapa lo udah rapihin alat tulis, Al?" tanya gadis berkaca mata tersebut.

Alana menoleh, tersenyum. "Kenapa sih? Jaga-jaga aja, San. Toh, tinggal lima belas menit lagi kita pulang," jawab Alana lalu duduk tegap kembali. "Jadi, kita mau bahas ke mana lagi? Gue mulai pusing sama Sosiologi. Dikira gue mau jadi psikolog kali, ya."

Kompas (Arah, Tujuan, dan Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang