15 | Pertemuan Kedua

95 3 3
                                    

[]

Kantin saat pulang sekolah selalu diramaikan oleh anggota geng Elang. Kali ini Leon tengah beradu panco dengan Jalu. Kedua cowok itu terlihat sama-sama menahan beban dan wajahnya memerah. Semenit sebelum akhirnya tangan Jalu tumbang, Leon melihat Alana memasuki kantin bersama sahabatnya. Huta.

Kedua gadis itu nampak mengobrol sambil tertawa kecil, namun Alana kadang memasang wajah cemberut membuat Leon mengingat misi Alana di hari Sabtu. Cowok itu bangkit saat Jalu sedang menahan nyeri di lengannya akibat dorongan kuat Leon. Leon berdiri di hadapan Alana, menutupi akses jalan gadis boncel itu.

"Gimana hari Sabtu?" tanya cowok itu, tanpa basa-basi.

Alana berdecak, dia menggerakkan bibirnya menirukan kalimat Leon dengan nada mengejek. "Gimana hari sabtu?" gadis itu menatap Leon. "Cih, buruk!" umpatnya.

Leon hanya bisa tertawa, tidak tau entah kenapa Alana nampak lucu dan menggemaskan tapi juga terlihat bodoh. "Emang lo apain itu cowok? Lo peluk, cium, at—"

"Gue gak segila itu, ya!" bantah gadis itu. "Gue cuman terus deketin dia, sampe dengan begonya gue bilang dia menarik! Tapi emang dia ganteng, keren, tapi masa iya gue sebagai cewek asing bilang dia menarik?" gadis itu menggeleng tidak mengerti jika mengingat tingkah bodohnya waktu itu. "Terus gue udah dapet id Linenya, tapi itu id palsu! Itu id Line temennya Rafi, temen dia juga. Sumpah itu cowok bener-bener ribet."

Leon sejak tadi hanya tertawa, terus tertawa dan itu membuat anggota gengnya menatap Leon aneh. Masalahnya jika di sekolah, Leon lebih sering memasang wajah datar, dingin, sebal, malas, dan jarang tertawa selebar itu. Bahkan ketiga sahabatnya pun merasa bahwa Leon mulai nampak beda.

"What?" Alana menatap Leon tidak percaya. "Lo-lo cuman ngetawain gitu? Hel to the lo, hello, Leon, lo asli ya, nyebelin!" gerutu gadis itu sembari berjalan keluar kantin bersama Huta yang sejak tadi hanya bisa tersenyum kecil melihat interaksi keduanya.

Leon tersenyum. "Maaf deh, boncel!"

"Dasar kunyuk biadab!"

***

Setelah menjauhi kantin, Alana menghentakkan kakinya dengan keras dan dia menatap Huta yang mendadak berhenti mengejarnya. Gadis itu tersenyum kecil. "Gue balik duluan, ya!" seru gadis itu sebelum berbalik.

Namun Huta masih merasa aneh, jadi dia menahan langkah Alana. "Mau ke mana?"

"Ke SMA Adiyaksa!" balas gadis itu, melepaskan cengkraman Huta dengan cepat sebelum berlari meninggalkan koridor sekolah yang mulai sepi.

Alana memberhentikan bajaj yang melewati sekolahnya, kemudian gadis itu menaiki kendaraan berwarna biru tua itu dengan perasaan menggebu. Alana tersenyum kecil, dia memikirkan reaksi Dirga saat Alana datang ke sekolahnya nanti. Gadis itu sudah memberitahukan Rafi untuk tidak menegurnya saat dia sampai di sekolah cowok itu, tapi Rafi sepertinya merasa aneh saat Alana mengatakan kalau dia datang ke sekolah Rafi hari ini.

From : Rafi

Lo lagi nggak gila kan, al?

Alana tersenyum, amat lebar dan matanya menunjukkan harapan. Harapan baru. Mungkin Dirga menolaknya, tapi dalam kamus Alana, gadis itu nggak pernah menerima penolakan.

To : Rafi

Gila? Nggak lah! Udah lo tenang aja, semua gue yang urus.

Kemudian gadis itu memasukkan ponselnya ke dalam saku seragam, dia melihat ke samping di mana dinding-dinding bercat abu-abu terlihat. SMA Adiyaksa sudah di depan mata!

Gadis itu berdiri di depan gerbang yang diramaikan oleh tumpahan siswa-siswi SMA Adiyaksa yang baru saja keluar. Ia memanjangkan lehernya, matanya bergerak tak sabaran mencari sosok cowok tinggi berdagu lancip. Menemukan cowok itu dengan motor hitam yang ia tumpangi, Alana segera berjalan ke sana dan berdiri di samping cowok itu.

"Hai!" Alana menyapa Dirga, penuh dengan senyum lebar dan mata ceria.

Dirga tersentak. Matanya menyipit dan genggamannya pada setang menguat. "Ngapain lo di sekolah gue?" tanya cowok itu.

Masih dengan senyum yang lebar, Alana menjawab. "Nemuin lo, lah!" gadis itu berkata lantang, membuat banyak pasang mata menatap gadis itu penuh penasaran. Beberapa siswi ada yang berbisik-bisik, merasa aneh karena kedatangan seorang gadis dan gadis itu menghampiri Dirga!

Bukan gosip lagi kalau Dirga itu paling anti sama cewek. Bahkan ada satu perempuan yang selalu mengejar-ngejar Dirga, namun cowok itu selalu mengabaikannya dan pernah mendorong gadis yang amat memujanya hingga terjatuh ke kolam ikan di taman sekolah. Gadis itu tidak marah, dia malah tersenyum dan berteriak kalau dia akan mendapatkan hati Dirga. Namun saynag, Dirga tidak semudah itu untuk didapatkan.

Ada satu ruang yang sulit untuk ditembus, didobrak, bahkan di hancurkan.

Dirga menghela napas panjang, seharusnya kemarin dia tidak memberitahukan di mana dia bersekolah.

"Gue nebeng lo, ya!" tanpa menunggu persetujuan, Alana sudah duduk di jok belakang sambil mendorong bahu Dirga kencang. "Jalan, kapten!" teriak gadis itu masih sama tidak malunya. Bahkan Alana nggak peduli pada cibiran yang mengatakan cewek itu aneh bahkan ganjen. Sempat Alana bertatap mata dengan Rafi, dan Alana malah mengedipkan salah satu matanya sebelum melakukan tindakan bodoh seperti ini.

Dirga masih mencengkram setang kuat-kuat. Cowok itu menggeram, membuat kerumunan yang mengelilinginya perlahan bubar dan dia berteriak keras, penuh emosi. "Turun gue bilang!"

Alana diam, tapi gadis itu masih mencengkram pinggiran jok, dalam hati merapalkan banyak doa agar ketakutannya tidak ketara. "Kita kan... teman, kan?" gadis itu malah bertanya, padahal sebenarnya kaki Alana sudah bergetar hebat. Dia sangat takut dan ingin menangis.

Dirga nampak kesal, mata kucingnya menatap Alana tajam melalui kaca motornya. "Gue bilang turun, ya turun!" cowok itu kembali membentak, kerumunan sudah benar-benar pergi.

Alana menghela napas, dia tidak menyerah. "Gue cuman mau berteman sama lo, kok!" kata gadis itu, suaranya terdengar bergetar menahan tangis. "Gue minta id Line lo yang asli, baru gue turun," ucap Alana pada akhirnya.

Dirga kini sudah menyerah, dia cuman mau gadis itu pergi jadi cowok itu turun dan merebut ponsel gadis itu. Dirga mengetikkan id Line miliknya di sana, sebelum akhirnya cowok itu menarik Alana turun hingga sikunya tergores aspal.

Dirga pergi, meninggalkan Alana yang meringis menahan perih di sikunya. Rafi datang semenit setelah kepergian Dirga. Cowok itu menatap Alana penuh rasa menyesal dan juga marah, Alana seharusnya tau kalau Dirga adalah tipe cowok kasar. Tidak pandang gender bila ingin menyakiti sesuatu.

"Lo nggak apa-apa, kan?" tanya Rafi sembari membantu Alana untuk berdiri.

Jalu dan Rio datang terlambat, keduanya menatap memar di siku Alana dengan ngeri. Rio bergumam, "Itu cowok gila juga ya."

"Udah, ini risiko gue karena deketin dia," balas Alana. "Tapi, dia lumayan menarik," tambahnya sembari terkekeh.

Jalu menatap Alana tidak mengerti. "Lo suka sama cowok itu?" Jalu menatap Alana nggak percaya dan nggak banget. Masalahnya tatapan Jalu kayak ngelihat Alana kalau Alana baru saja bilang bahwa dia suka pelajaran Fisika. Padahal dia kan anak IPS, bukan IPA.

Alana menggeleng, pandangannya berubah kesal. "Dia menarik buat gue hajar ampe mati."

Ketiga cowok yang mengelilinginya terdiam, merasa takut. Alana bisa terlihat menjadi monster jika sesuatu mengancam misinya untuk gagal. Karena dalam kamus Alana, nggak ada kata gagal.[]

a.n

Ini hari pertama ku kuliah semester dua. Semoga cerita ini tetap berjalan sampai tamat yaa :))

Kompas (Arah, Tujuan, dan Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang