32 | Jangan Pergi

81 1 6
                                    

[]

Selepas dari sekolah Alana, Dirga menelepon kedua sahabatnya untuk ikut dalam penyerangan markas Reynald. Dalang dari semua ancaman basi ini. Seseorang yang dulu berhasil merebut nyawa gadisnya. Musuhnya sejak dulu.

Panas matahari mulai terik sekitar jam 10-an, saat Dirga berhasil sampai di markas besar yang lebih mirip bangunan rumah sakit tak terpakai dengan dinding putih yang sudah berlumut dan mengelupas. Dari luar, bangunan ini terlihat lebih menyeramkan dibandingkan wajah Madam Lasri, guru BK-nya di sekolah.

"Ga, lo serius mau lawan mereka dengan bantuan dua orang?" Bagas bertanya dengan pisau lipat yang sudah tersimpan di kantung celananya.

Dirga melepas seragam sekolahnya, membiarkan kaus hitam polos yang ia kenakan terlihat. Tadi dia memakai seragam agar tidak terlalu ketahuan Ibu soal dirinya yang akan bolos lagi. Laki-laki itu meregangkan ototnya, berjalan lebih dulu disusul Bagas dan Firman yang berjaga di belakang. "Gue udah manggil Lintang sama temen-temen gengnya buat bantuin kita di sini. Paling entar juga nyampe," ucap Dirga membuat Firman menelan ludahnya lamat-lamat.

"Yaudah kita tung—"

"Eh, eh, siapa nih yang dateng?" sosok laki-laki tinggi dengan rambut gondrong yang berantakan datang menghampiri ketiganya. Tidak hanya sosok itu, melainkan beberapa orang lagi, kira-kira ada tiga puluh ditambah sosok itu, kini mengepung Dirga dan dua sahabatnya.

Dirga berdecak, dia tau Reynald tidak mungkin memainkan permainan yang sama. "Kalo lo mau bales dendam, mending langsung bunuh gue sekalian. Nggak usah pake ngancem cewek gue," ucap Dirga semaki maju selangkah dan menatap Reynald penuh kebencian. "Lo banci tau nggak?!"

"Bangsat!"

Kemudian pertandingan tak dapat dihiraukan lagi. Dirga segera memukul rahang bawah Reynald sehingga laki-laki itu tersungkur. Kedua laki-laki yang saling mengeluarkan amarahnya kini sudah saling baku hantam, bahkan lebih terlihat menarik dibandingkan pertandingan Firman dan Bagas melawan tiga puluh orang yang tidak ada tandingannya. Lintang dan dua puluh orang anggota gengnya datang ketika Dirga tengah menyerang Reynald dengan pisau lipat yang dia pegang. Dirga berhasil menggores wajah Reynald, menyisipkan sayatan dari rahang bawah hingga sedikit mengenai kantung mata Reynald. Lelaki itu mengaduh, lalu kemudian tersenyum saat salah satu dari bawahannya berhasil menusukkan pisau lipat ke rusuk dua belas jari Dirga, tepat mengenai letak hati laki-laki tersebut.

Dirga mengerang, sedangkan Reynald dan seluruh anggotanya mundur teratur. Sebelum Reynald benar-benar pergi, cowok itu berbisik pelan kepada Dirga yang menahan matanya agar tidak terpejam.

"Selamat ulang tahun teman. Nikmatin hadiah lo, ya."

Dirga diam, senyum miringnya melengkung sampai Lintang membawa laki-laki itu ke dalam mobilnya. Berharap Dirga tetap baik-baik saja.

***

Langkah kaki Alana semakin cepat saat sampai di lorong koridor menuju ruang gawat darurat di mana Dirga tengah dioperasi. Gadis itu menemukan Bagas dan Firman yang terlihat tidak baik-baik saja di mana keduanya mengalami luka lebam di wajah dan lengannya. Alana melirik seorang wanita dan pria paruh baya yang ia percayai sebagai kedua orangtua Dirga. Langkah Alana bergerak menuju Firman dan Bagas yang langsung menyadari kehadiran gadis itu. Dia tau, selama ini seharusnya bukan dia yang dikhawatirkan, namun laki-laki yang kini tengah berjuang untuk keselamatannya.

"Fir—"

"Al," Bagas memotong. Cowok itu tersenyum sangat tipis hingga Alana tau Bagas tengah berbohong. "Sabar, ya," seakan dia tau bahwa tak akan pernah ada harapan untuk mereka, pada saat itulah tangis Alana untuk pertama kalinya di hari yang ia pikir sangat spesial itu, meluluh lantahkan sepanjang koridor rumah sakit. Gadis itu terisak hingga Huta datang dan memeluk Alana, menenangkan gadis itu.

Semuanya terasa sulit saat kita berharap sesuatu yang ujungnya telah diketahui lebih dulu. Sejak dulu, Alana tidak pernah suka dengan rumah sakit. Selain karena hawanya yang menyeramkan, rumah sakit selalu menjadi tempat terakhir untuknya bertemu seseorang yang ia sayangi. Pertama pada saat Alana berumur sepuluh tahun. Kakeknya pada saat itu tengah mengalami struk dan segera dibawa ke rumah sakit. Alana menunggu dengan sangat lama, berharap Kakek kesayangannya itu akan tetap bisa bermain dengannya. Namun Alana kecil pada saat itu tidak pernah tau, bahwa saat dia berdoa, Kakek telah pergi dengan cepat. Meninggalkan Alana yang langsung histeris.

Sekarang, apa kejadian itu akan terulang kembali? Apa Dirga akan ikut pergi menyusul Kakeknya?

"Al, sabar. Jangan pesimis gitu, dongg. Gue takut kalo lo udah nangis kejer gini," ujar Huta sembari menepuk bahu Alana agar gadis itu bisa sedikit lebi tenang. Huta melirik donat huruf yang sejak tadi ia bawa karena Alana langsung meninggalkan donatnya dan pergi bersama Rafi menuju rumah sakit ini. Huta menyusul Alana dengan menaiki mobil Rio bersama Clara, dan untuk pertama kalinya gadis itu melihat sahabatnya yang mulai terpuruk. Bagaimana tidak, Dirga termasuk cinta pertama Alana dan kini Alana akan kehilangan cintanya? Itu hal konyol yang pernah Huta dengar.

Huta melirik ke arah di mana Leon tengah memerhatikan Alana yang masih menangis. Lelaki itu tidak terlihat sedih, namun juga tidak terlihat senang. Leon terlihat sangat khawatir dibalik wajah datarnya. Cowok itu menghela napas, kemudian duduk dan menjambak rambutnya sendiri. Huta tidak mengerti, bagaimana bisa Leon menyukai Alana? Bukannya Huta cemburu, tapi lucu saja melihat Leon yang dulu sering menjahili Alana kini malah menjadi sangat peduli dengan sahabatnya itu. Dunia kadang selucu itu.

Lampu ruang operasi pun mati, menandakan operasi sudah berakhir dan semua yang berada di depan pintu ruang operasi hanya bisa menahan napas. Alana meremas lengan Huta, takut akan kedatangan Dokter dan kabar buruknya.

"Keluarga Dir—"

"Saya Dok," seorang laki-laki paruh baya dengan kerutan samar di dahinya langsung mengangkat tangannya dan menghampiri dokter tersebut. "Gimana keadaan anak saya Dok?" wajahnya penuh dengan harapan, meski kadang harapan itu tak dapat diraih alias hanya harapan semu.

Dokter itu tersenyum samar, kemudian menggeleng pelan. Itu petanda buruk, dan Alana tidak tau harus mengatakan apalagi selain air matanya yang semakin deras. "Anak itu butuh banyak darah, namun selain itu bagian hatinya terluka cukup dalam. Mungkin kita tadi sempat menyelamatkannya, Pak, tapi maaf sekali lagi kami mohon maaf. Tuhan telah berkehendak dan saya sebagai dokter tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain merasa gagal, Pak. Tuhan lebih berkuasa, saya hanya seorang manusia yang nggak akan bisa melawan takdir Yang Maha Kuasa. Sekali lagi, saya mohon maaf, Pak," dokter tersebut menepuk bahu Ayah Dirga. "Saya permisi. Bapak boleh masuk ke dalam," kemudian dokter itu pamit dengan jas yang banyak dengan noda darah.

Alana sama sekali tidak sanggup untuk bangkit. Dia hanya diam dengan air mata yang terus mengalir sebelum akhirnya kesadarannya menghilang.[]

a.n

Hmm, gimana ya, aku bingung mau nulis apa. Hmm, maaf yaa Dirganya pergi duluan. Dia ada job sama BTS /Woi, Suganya kan cuman casting/ duhh lagi berkabung malah bercanda. Oke, aku update dua chapter kok! Jadi, hemmm, /kaborrrr/

Kompas (Arah, Tujuan, dan Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang