4 | Kemarahan Leon

140 4 3
                                    

[]

Lima belas menit selama perjalanan, akhirnya cowok itu bisa sampai di tempat yang telah dijanjikan oleh pereman kampung yang akan ia lawan. Ia melepas helmnya, lalu mengusap peluh keringat akibat panasnya sebuah ruangan tak terpakai dengan berbagai tong minyak kosong yang telah berkarat juga tumpukan kayu-kayu bekas yang banyak berceceran menghalangi jalannya.

Tidak hanya itu, banyak sarang laba-laba menempel di setiap sudut dinding juga langit-langit ruangan yang agak gelap. Sinar matahari hanya menyapu sedikit melalui celah -celah dinding bekas fentilasi.

Baru saja ia ingin mengengok ke belakang, sebuah pukulan datang mengenai rahangnya telak. Cowok itu bangkit dan memberi serangan balik pada musuhnya yang memakai pakaian serba hitam. Ia membalasnya dengan pukulan di wajah dan perut, tidak lupa kakinya yang tidak tinggal diam untuk menendang lawannya yang lain hingga mengenai daerah sensitifnya membuat Leon tertawa dalam hati.

"Gila ya, lo. Bocah SMA kayak lo gini, ternyata jago juga berkelahi," kata salah satu pereman berkepala pelontos dengan tato ular di lengan kirinya yang kekar akibat lemak berlebih. "Gua gak nyangka kalo gua bisa dikalahin sama bocah ingusan kayak lo," ucapnya sebelum menyerang kembali Leon dengan sebuah pukulan, namun Leon sudah lebih dulu menghindar.

"Lo kayaknya butuh dirukiah deh, Bang. Kasian anak isteri lo dikasih duit haram tiap hari," kata Leon sebelum memberi pukulan pada kepala si laki-laki yang diketahui adalah ketua preman kampung tersebut. "Kalian cuman buang-buang waktu gua, tau nggak!" teriak Leon ke penjuru ruangan yang mendadak senyap karena mereka sudah telak kalah.

Baru saja Leon ingin berbalik, sebuah balok kayu mengenai punggungnya dengan keras membuat dua temannya yang sejak tadi mengintip melalui celah jendela segera bertindak.

Jalu dan Hilman mulai menghajar para pereman yang tadi ingin mencelakai ketua mereka. Sedangkan Rio yang baru datang segera menarik Leon menjauh. Sahabatnya itu meringis kesakitan karena bahunya tiba-tiba kaku dan nyeri menjalar di tiap urat nadinya. Kepalanya bahkan pening. Laki-laki itu meminum air mineral yang diberikan Rio sebelum pandangannya kembali jelas.

"Bangsat!" umpatnya karena merasa dipermalukan oleh para pereman bajingan kelas kakap. Leon kembali masuk ke dalam dan memberi pukulan habis-habisan hingga salah satu preman yang tadi sempat memukul punggung Leon terkena cedera pada lehernya.

Leon memukul dengan keras leher pereman tersebut dengan tangan kosong, membuat tubuh laki-laki itu mendadak kaku lalu berteriak kencang akibat merasa bahwa tulang lehernya ada yang bergeser.

Leon sendiri sekarang asik dengan ketua dari komplotan tersebut, memukul rahangnya hingga ia tersungkur dan jatuh terlentang di bawah Leon. Cowok itu asik memukul wajah preman itu sambil mengumpat dengan kata-kata kasar, memberitahukan bahwa mulai saat ini tidak ada yang boleh mengganggu para siswa dari SMA Bima Sakti.

"Anjing, bangsat! Awas lo ya kalo berani malak siswa dari sekolah gua lagi! Bukan cuman siswa dari sekolah gua, tapi dari sekolah lain juga!" teriaknya di hadapan laki-laki paruh baya yang sudah terkulai lemas dan matanya yang telah terpejam dengan lebam yang terlihat jelas dan hidungnya agak bengkok.

Leon bangkit karena tarikan Rio yang tidak ingin melihat Leon menghabisi salah satu preman hingga nyawanya hilang. Bagaimanapun, pria yang disambar Leon adalah seorang Bapak yang punya anak satu, dan anaknya masih kelas 1 SD. Rio sempat bertemu pria itu ketika mengantar adiknya ke sekolah kemarin.

"Gila lo, Le. Mantap jiwa dah ketua geng kita," kata Hilman sembari merangkul Leon yang malah tersenyum kecut.

Cowok itu menampar wajah Hilman karena laki-laki itu sempat menepuk punggungnya yang tadi terkena pukulan balok kayu. "Anjing lo! Udah tau punggung gue laki sakit, nyet," Leon mengumpat dengan tangannya berusaha mengelus punggungnya.

Jalu tertawa pelan. "Gimana kalo kita ke rumah gue? Bokap sama Nyokap lagi ke luar negeri, jadi rumah sepi. Sekalian ngobatin punggung lo, Le," ucap Jalu. Disambut dengan anggukan Leon.

Sedangkan Hilman masih meringis karena pipinya serasa kebas akibat tamparan Leon yang gilanya bukan main. Untung saja Leon adalah sahabatnya sejak SMP, mungkin jka bukan, Hilman sudah tergeletak mengenaskan di ruang rawat rumah sakit hanya karena pukulan Leon di berbagai sudut tubuhnya yang rawan.

Benar-benar menakutkan.

^*^*^*^

Leon berbaring tengkurap dengan Mbok Nani asik mengoleskan minyak urut ke bahu Leon yang membiru. Sebelum itu, tadi Leon sempat dikompres namun Mbok Nani memaksa untuk mengoleskan minyak urut agar bengkak akibat tamparan kayu di bahu Leon itu mereda.

Cowok itu bangkit sembara berterima kasih pada Mbok Nani, pembantu di rumah Jalu, sebelum wanita lanjut usia itu kembali ke dapur untuk melanjutkan kegiatan memasaknya.

"Ngomong-ngomong, si para pereman bajingan tadi udah dikasih pertolongan, Yo?" tanya Leon setelah memakai kaus abu-abunya kembali. Cowok itu duduk di atas kasur Jalu dengan kedua kaki diselonjorkan.

Rio menoleh sekilas. "Udeh. Tadi pas kita balik, ambulans dari rumah sakit punya Nyokap lagi diperjalanan," balasnya cuek. "Eh tapi, lu yang bayar kan, Le?" Rio menatap Leon penuh rasa panik. Dia tidak mau uang jajannya terkuras lagi hanya untuk membayar uang pengobatan untuk korban-korban Leon sebelumnya.

Leon terkekeh. "Liat aja tuh duit kas geng Elang, udah nyampe dua juta kan? Yaudin pakek elah," balasnya cuek lalu menyalakan rokoknya.

Jalu segera membuka jendela agar asap rokok Leon bisa keluar ke sana, dan tidak mengendap di kamarnya.

"Ngerokok di luar bos," tegur Hilman sembari berjalan keluar untuk menghirup batang tembakau mematikan tersebut.

Leon bangkit dan mengikuti Hilman, ikut berdiri di samping cowok itu. Ia meghela napas, membuat asap dari batang tembakau yang baru saja ia hirup itu keluar bersamaan. Bercampur dengan karbon dioksida bebas di alam. "Sori ya, buat yang tadi," kata Leon nyaris berbisik. Mata elangnya menyapu sekitaran rumah Jalu dengan liar, seakan waspada jika maling ingin masuk ke dalam rumah yang bahkan lebih luas dari milik Ayahnya di daerah Kuningan.

Himan terkekeh pelan. "Lo kayak abis mukulin anak orang aja, Le. Santai. Gue mah udah biasa sama pukulan lo, bro," balasnya.

Leon tertawa. "Bener juga. Lo kan udah jadi pengikut gue sejak SMP, ye kan?"

"Anjing."

Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Membiarkan sapuan angin menghapus jejak asap rokok mereka yang baru saja dikeluarkan sedetik sebelum kedua sahabatnya yang lain ikut bergabung.

"Gue bingung, kenapa Hilman mau aja sahabatan sama cowok tempramen yang hobinya mukulin orang kayak lo, Le," kata Rio tiba-tiba, asik mengunyah permen karet.

Jalu mengangguk setuju. "Nah, gue aja yang sahabatnya Leon dari orok, sampai sekarang kagak ngerti sama jalan pikiran Leon yang mau aja temenan sama cowok konyol macam Hilman," sambungnya, ikut menyuarakan ketidak mengertiannya soal bagaiamana Hilman yant dulu benci setengah mati dengan Leon, kini malah menjadi salah satu tangan kanannya.

Leon terkekeh. "Soalnya cuman Hilman yang bisa gua ajakin nakal ngelewatin batas, mas," akunya polos.

Hilman tertawa. "Bangsat. Dosa gue makin banyak semenjak deket sama lo, Le," kata Hilman sambil mendorong bahu Leon. Namun namanya juga Leon, ditusukpun dia tidak akan nangis.

"Setidaknya gue gak pernah ngajakin lo buat making out sama cewek di sana, kan? Gue juga masih polos, jing," senggahnya.

Benar memang, meski mereka berdua suka minum dan mabok sampai teler, membuat Rio dan Jalu kewalahan, keduanya tidak sampai bejat untuk menyentuh perempuan. Bagi mereka, itu sama aja kayak nyakitin Ibu sendiri.

"Iya dah, Bang. Aku padamu," Hilman mengedipkan mata ke arah Leon yang mulai merasa mual.

"Najis."[]

Kompas (Arah, Tujuan, dan Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang