33 | Teruntuk Kamu

78 2 3
                                    

[]

Teruntuk kamu,

Seseorang yang tidak akan sama lagi.

Aneh rasanya saat tau kalo kamu udah pergi, Ga. Padahal hari ini kamu berulang tahun. Sayang loh donat yang aku beli. Ini donatnya siapa yang makan? Masa aku sama Huta yang habisin? Tadi Jalu minta, aku kasih satu. Terus Rio sama Firman minta juga. Terus Huta yang laper juga minta. Terus Bagas sama Hilman minta. Sisanya aku kasih kedua orangtua kamu. Mereka baik yah, Ga. Ayah kamu juga ganteng. Sama kayak anaknya.

Dirgaa, di manapun kamu, sedang apa pun kamu, aku cuman pengin kamu tau kalau aku sayangg banget sama kamu. Asal kamu tau, waktu aku deketin kamu, itu cuman salah satu trik aku biar Rafi bisa jadian sama Clara. Tapi aku malah terjebak di dalam labirin kehidupan kamu, dan aku jatuh, aku suka kamu. Sayang banget yah, aku jujurnya lewat surat gini. Nggak asik, ah. Kamu sihhhh pake ninggalin segala. Nangis nih. Aku capek nangis mulu tapi air matanya bandel, keluar terusss. Maaf yaa karena sempat nipu kamu. Tapi serius sekarang dan selamanya aku bakal tetap sayang sama kamu. Kamu tunggu aku ya, di sana. Jangan genit. Jangan bandel.

Teruntuk kamu,

Seseorang yang kini sudah bersama Tuhan.

Tolong jangan pernah bosan melihat aku dari sana ya. Aku tau kamu bakal kangen berat sama aku. Sekangen aku yang sekarang nggak tau harus ngapain lagi. Aku lelah Dirga. Nunggu kamu bangun sama aja aku gila. Ini udah lima jam setelah kamu dinyatakan meninggal. Aku nggak nyangka aja kalo kamu udah nggak ada. Makanya aku nulis surat ini. Kali aja kamu baca surat ini terus bangun lagi dan meluk aku dan minta jatah donat.

Dirga, aku sayang kamu. Udah itu aja. Aku nggak mau nulis lagi dan aku nggak marah karena kamu ninggalin aku. Setidaknya kamu ninggalin aku karena dipanggil Tuhan, bukan mantan. Eh, serius, aku nggak bercanda. Ini kertas sampai basah karena kena air mata aku.

Udah ya,

Tidur yang nyenyak, Dirga.

Gadis itu melipat suratnya sebelum sebuah tangan menahan pergerakannya. Alana mendongak dengan mata yang membengkak saat menemukan Leon dan pandangan khawatirnya membuat darahnya berdesir lembut. Ibu jari Leon bergerak menghapus air mata Alana yang masih saja mengalir. Lelaki itu duduk di pinggiran ranjang di mana Alana tadi terbaring pingsan selama tiga jam. Leon mendesah, mendekatkan wajahnya hingga kening mereka bersentuhan.

"Gue nggak suka lo nangis," bisik laki-laki itu.

Alana dengan pandangan sayu membalas. "Dirga juga nggak bakal suka. Makanya dari tadi gue bingung ca—"

"Alana," potong Leon cepat. Lelaki itu sudah menjauhkan wajahnya. Dia menangkup wajah Alana yang masih saja basah oleh keringat dan air mata. "Gue sayang sama lo, se-sayang Dirga ke elo. Kalo lo sadar bahwa Dirga nggak suka lo nangis, yaudah jangan nangis lagi. Gue di sini Alana, gue masih ada buat lo," kata-kata Leon seakan menyuruh Alana untuk segera melupakan Dirga dan berpaling padanya. Namun semua tidak semudah itu.

Alana berdecak, tangisnya belum berhenti menyebabkan suara Alana masih bergetar. "Cinta bukan lelucon, Le! Lo nggak bisa buat gue suka sama lo segampang lo nyium gue waktu itu!" bentak Alana, mendorong Leon menjauh. "Keluar!" mata gadis itu menatap Leon tajam.

Leon menggeleng. "Nggak. Gue bakal terus di sini."

"Leonal."

"Alana."

Mata mereka saling beradu. Alana berpaling, jantungnya kembali aneh. Dia tidak suka dengan hal itu. "Oke, terserah," kemudian dia berbaring dan menarik selimut rumah sakit sebelum akhirnya memilih untuk memejamkan matanya. Mengistirahatkan matanya, juga pikirannya. Namun tangan Leon yang tiba-tiba menyentuh pipinya membuat Alana segera membuka mata. Ketika Alana menoleh, dia menemukan wajah Leon yang terlalu dekat. Dengan cepat Alana mendorong wajah itu dan kembali bangkit untuk duduk. "Lo kenapa sih?!"

"Gue cuman mau ngapus air mata lo doang," bela Leon yang masih berusaha untuk menyentuh wajah Alana. Namun lagi-lagi ditepis oleh gadis itu. "Al—"

"Leon, keluar," titah Alana. Gadis itu sudah jengkel dengan kelakukan Leon kali ini.

Leon mendesah lalu bangkit dan keluar dari ruangan tersebut. Namun sebelum benar-benar keluar, Leon berucap dan cukup membuat wajah Alana menghangat.

"Gue cinta sama lo. Gue harap lo nggak nangis lagi, Al."

***

Saat Leon keluar dari kamar Alana, ketiga sahabatnya menghampiri laki-laki itu. Rio dan Hilman merangkul Leon, sedangkan Jalu tertawa kecil meski tidak bisa menyembunyikan bahwa sekarang dia tengah berduka. "Leon, gue tau lo suka sama Alana. Tapi cara lo buat dia lupain Dirga itu terlalu cepat. Jangan dipaksa banget, Le. Cewek juga punya batas," Jalu mulai bijak, membuat Leon tertawa kecil.

"Ini paling lo nyuri kata-kata Rio," balas Leon kemudian duduk di kursi tunggu. "Emang gue keliatan banget, ya, maksanya?" tanya cowok itu lebih pada diri sendiri.

Rio tertawa. "Menurut lo?"

Leon tak dapat menyembunyikan senyum. "Oke. Berarti gue harus main lembut, dong?" cowok itu menatap ketiga sahabatnya, dibalas anggukan setuju.

Ketika mereka baru saja ingin bangkit, Leon bertemu dengan Lintang yang masih terlihat kacau. "Dirga dimakamin besok. Sekarang dia udah mau dibawa pulang, Le," abangnya melirik pintu ruanagn di mana ada seorang gadis yang diketahui sebagai kekasih Dirga. "Itu ceweknya gimana? Udah baikan?" tanya Lintang sembari menatap Leon penuh curiga. "Lo suka ya, sama ceweknya Dirga?"

"Berisik lo, tai," sungut Leon jengkel.

Lintang tertawa. "Wajar kali. Ceweknya juga manis, dan.."

"Sedikit mirip Lani," sambung Leon. "Tapi Dirga suka Alana bukan karena mirip Lani, ya. Dia jujur ke gue kok."

"Ya sape juga yang bilang kayak gitu, begoo," Lintang tertawa dengan mata yang masih sedikit bengkak. "Udah tuh lu ajak pulang ceweknya Dirga. Itu temennya yang cewek satu lagi juga ajak pulang. Tadi gue liat dia baru keluar dari kamar mandi," ucap Lintang untuk terakhir kalinya sebelum berlalu ke arah kamar mayat.

***

Alana menatap jendela di sampingnya dengan pandangan kosong. Gadis itu mengingat seluruh kejadian di mana dia pertama kali bertemu Dirga, pertama kali dia jatuh cinta, pertama kali mereka berpacaran, dan pertama kali mereka berciuman. Gadis itu mendesah, melirik Rio yang masih fokus menyetir setelah tadi habis mengantar Huta.

"Maaf ya, Yo. Gue jadi ngerepotin elo," ujar Alana ketika mereka hampir sampai ke rumah gadis itu.

Rio tersenyum kecil. "Yaelah santai, Al. Lo kan temen gue, dan lo habis, eum, kehilangan. Gue nggak mungkin ngebiarin lo pulang sendiri."

Alana hanya mengangguk. Dia masih tidak mood untuk mengobrol lebih banyak lagi. Sesampainya di rumah, Alana hanya melempar tas kemudian ambruk di kasurnya. Gadis itu terlelap dengan seragam yang masih menempel dan mata yang bengkak.[]

a.n

:(((( aku nulisnya ngena gak sih? :(((( Maaf ya Alana, Dirga lebih suka sama aku /gubrak/

Sampai bertemu hari Minggu!

Pokoknya kalau cerita ini tamat jangan pernah hapus dari library yaa, karena aku bakal update teenlit baru yang inshaAllah lebih seruuu. Ehehehe.

Kompas (Arah, Tujuan, dan Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang