34 | Hari-Hari Tanpa Dirga

62 2 2
                                    

[]

"ALANAAAA! BANGUN LOOOO!"

Teriakan Alif dari luar membuat Alana beringsut dari balik selimutnya dan memandang keluar. Ini sudah sebulan setelah meninggalnya Dirga pada hari itu. Gadis itu, Alana, sudah mulai membiasakan diri dan kembali menjadi cupid seperti biasanya. Saat hari setelah kematian Dirga, Alana mendapatkan salah satu pasien cintanya. Namun gadis itu menolak karena dia mau istirahat dulu. Untunglah pasien tersebut dapat mengerti dan akhirnya, dua minggu setelah hal itu, Alana menerima tawaran tersebut. Dia kembali menjadi cupid.

"IYE IYE BANG! BAWEL AMAT LU!" Alana balas berteriak sembari berjalan ke arah kamar mandi. Semalam dia habis begadang karena memikirkan strategi mendekati Hilman pada Huta. Iya si Hilman suka sama Huta! Dan orang yang minta dideketin ke cewek sehari setelah meninggalnya Dirga itu adalah si Hilman!

Selesai dengan seragam dan rambutnya yang telah terkuncir rapih, Alana melirik ponselnya. "Seriusan udah mau jam setengah tujuh?" tanya gadis itu lebih pada diri sendiri. Dengan cepat, Alana memakai sepatu dan menyampirkan tali tasnya ke bahu lalu keluar kamar dan berlari ke ruang makan di mana kedua orangtua beserta abangnya tengah mengobrol. "Abangggg ayo anterin Alanaaa," rajuk gadis itu sembari menarik kaus polo abu-abu yang dikenakan abangnya pagi ini.

Alif menoleh, tampangnya sedikit jengkel. "Lagian dari tadi dibangunin susah banget sih, lo," sungut Alif.

Ayah menambahkan. "Kamu ini kembali deh kebiasaan telatnya. Biasanya pas masih pacaran sama Dir—"

"Ayah!" Mama menatap suaminya penuh kesal, kemudian melihat Alana yang masih cemberut. "Abang kamu mau balik hari ini, Al. Kasian nanti capek dia pas ke bandara."

"Tuh dengerin."

"Tapi kan Abang masih liburan panjanggg. Jangan coba bohongin Alana, dehhh."

"Iya-iya, bercanda. Yuk ah," Alif langsung mengapit Alana diketiaknya kemudian keduanya pamit untuk segera pergi ke sekolah. Alana naik ke atas jok motornya dengan Alif yang sudah siap berkendara melebihi kecepatan Valentino Rossi. "Siap-siap, ya!"

"Oke!"

Sampainya di sekolah dengan gerbang yang hampir tertutup, Alana mengecup pipi Alif sekilas sebelum berlari dengan cepat mengikuti rombongan murid yang hampir telat sama dengannya. Alif tertawa melihat kelakuan adiknya itu, kemudian melaju kembali menuju rumah setelah melihat Alana sudah mulai kembali terlihat lebih ceria.

"Al, gimana-gimana?" Hilman tiba-tiba saja berada di hadapannya. Membuat Alana kaget sekaligus tersenyum.

Gadis itu mendorong Hilman sedikit. "Nggak gimana-gimana," jawabnya bercanda membuat Hilman jengkel. Hampir saja memukul kepala Alana sebelum melihat Leon dari lantai dua di mana kelas mereka berada. Hilman jadi takut.

"Seriusss."

"Iya, iya," Alana mengeluarkan buku catatannya, kemudian memberikannya pada Hilman. "Itu, Huta suka banget sama Hivi. Kebetulan SMA 2 Bekasi bakalan ngundang Hivi lusa. Lo coba ajak dia ke situ aja kalo mau nembak," Alana menjelaskan sembari memberikan brosur yang dia dapatkan dari Rafi kemarin.

Hilman menerimanya dengan girang. Cowok itu melihat harga tiketnya, tak terlalu mahal. Jadi dia setuju dan berterima kasih pada Alana sebelum berlari menuju kelasnya. Alana sendiri hanya tertawa melihat temannya itu. Gadis itu berbelok, menuju kelasnya yang pintunya masih terbuka, menandakan Pak Galih belum datang untuk mengajarkan bahasa Prancis.

Ketika Alana duduk, gadis itu melirik Huta yang tampat tersenyum-senyum. Membuat Alana tau apa penyebab sahabatnya itu seperti orang gila di pagi hari.

"Ciee yang lagi seneng," ledek Alana. Ia menatap Huta gemas kemudian mencuil pipi Huta yang kembung. "Pasti Hilman ngajak lo nonton, yaa?" walaupun Huta pasti tau ajakan menonton tersebut atas usulan Alana, tetap saja Huta senang. Hilman benar-benar serius padanya!

"Ish, Al! Udah dongg, gue maluuu tauuu," gadis itu cemberut, namun berkas merah di kedua belah pipinya menandakan bahwa dia sedang salting. "Oke, oke. Gue tau ini atas rencana lo, tapi serius dia kayaknya beneran suka deh sama gue," Huta berbicara seakan dia masih tidak percaya bahwa selama ini, selama dua minggu Hilman mendekatinya, Hilman menyukainya. "Duhh Al, gue pake baju apa ya? Gue nggak punya baju bagus. Cuman ada kemeja sama jeans doang, Alll."

"Hutaa, please dehh. Jangan alay. Lo itu cantik dengan jadi diri lo, bukan orang lain. Hilman suka sama lo karena lo kayak gini, bukan karena lo kayak Dina yang cantik dan seksi, bukan juga karena si Puput yang manis dan pinter, tapi karena lo Huta yang selalu jadi diri lo sendiri. Oke, nggak usah alay. Pake aja kemeja lo," celoteh Alana membuat Huta tertawa kemudian memeluk gadis itu dengan erat.

"Thanks, ya," bisik Huta.

Alana mengangguk. "Iyaa."

***

Kali ini Alana benar-benar pulang sendirian. Alif tidak dapat menjemput karena abangnya itu sedang kumpul bareng kawanannya. Gadis itu menendang botol mineral kosong yang menghalangi jalannya hingga botol itu tertahan oleh sebuah kaki. Alana mendongak, dia tau siapa orang yang menahan botol itu. Siapa lagi jika bukan Leon.

"Nggak sama abang lo?" Leon bertanya, sembari menyamakan langkah dengan Alana yang mulai berjalan cepat.

Alana menggeleng. "Nggak."

"Tadi, gue liat lo nyium pipi Bang Alif," ucap Leon, memulai obrolan. "Mau kali dicium, hehehe," mungkin bagi Leon, itu terdengar garing. Tapi bagi Alana, itu sangat amat menjengkelkan.

Gadis itu berdecak tanpa menoleh. Dia melihat ponselnya, kemudian berlari kecil karena abang Gojek sudah menunggunya di depan gerbang. Ia melirik Leon yang masih mengikutinya. Malas berdebat, gadis itu langsung menerima helm dan mengenakannya kemudian menaiki motor abang Gojek pesanannya tersebut. Alana melihat Leon yang masih menatap Bapak pengemudi, seakan Bapak tua ini orang jahat.

"Pak," Leon memulai. "Tolong jagain pacar saya, ya. Pastiin selamet sampai tujuan," ucapan Leon membuat Alana melotot. Sedangkan bapak pengemudi tersebut malah tertawa kecil membuat Alan sama jengkelnya.

"Siap, mas. Lagian ini kalian lagi berantem, ya? Kok nggak pulang bareng a—"

"Iya, Pak lagi berantem. Tanda-tanda mau putus. Doain aja ya Pak semoga cepet putus," potong Alana dengan cepat, Leon melotot. "Udah yuk, Pak. Jalan aja," Alana memeletkan lidahnya, membuat Leon tertawa kecil lalu menarik hidung gadis itu.

"Hati-hati," ucap Leon pada Alana.

Gadis itu tersenyum miring, kemudian motor pun melaju meninggalkan gerbang sekolah yang masih diramaikan para murid SMA Bima Sakti. Ketika sudah jauh dari sekolah, bapak pengemudi tersebut bertanya pada Alana. "Neng, kok malah minta didoain putus dari pacarnya? Udah ketemu cowok baru ya, Neng?"

"Aduh, Pak. Itu sebenarnya cuman temen saya. Dia emang suka gitu bercandanya, nggak tau malu," Alana tersenyum. "Udah si Bapak nggak usah dipikirin, dia emang rada aneh orangnya."

"Oalah," bapak itu tertawa. "Tapi temen Eneng ganteng, ya. Terjebak prenzon ya, Neng?"

"Hah?" Alana tertawa. "Friendzone kali Pak, maksudnya. Hahahahaha, nggak lah, emang temen beneran kok. Dia emang suka godain banyak cewek, termasuk sahabatnya sendiri, Pak," ucap Alana, dibalas tawa kecil dari Bapak pengemudi Gojek. Kemudian setelah itu obrolan mereka digantikan soal kegiatan sekolah dan lain-lain. Alana bersykur kali ini dapat pengemudi Gojek yang ramah juga receh.

Sesampainya di rumah, gadis itu langsung masuk kamar dan membuka surat yang dulu pernah ia buat untuk Dirga. Entah sudah berapa kali Alana membacanya, gadis itu masih selalu tersenyum jika membaca surat tersebut. Hingga akhirnya Alana tertidur di meja belajar dengan surat yang masih terbuka.[]

Kompas (Arah, Tujuan, dan Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang