18 | Gedung Tua

74 3 0
                                    

[]

Alana memperhatikan bagaimana para pohon berlari menjauh. Gadis itu meremas kedua bahu Dirga ketika cowok itu menjalankan motornya membelah jalan raya yang kosong, sepi, tak berpenghuni. Alana sesekali melirik ke belakang, berharap menemukan Rio dan Hilman, atau siapapun yang mungkin menjaganya dari jauh.

Dirga benar-benar gila.

"Ini di mana?" gadis itu turun dari motor besar tersebut, kemudian menatap Dirga yang masih nampak diam. Mata elangnya menelisik setiap inci di gedung besar yang tua dengan dinding-dinding yang catnya mulai terkelupas.

Masih diam dan tidak menjawab, cowok itu malah memasuki gedung tersebut, membuat Alana bingung sendiri. Namun Alana nggak boleh menyerah, dia harus mendapatkan jawaban dari Dirga. Jadi Alana mengikuti cowok itu dari belakang, berusaha mengejar langkah lebar cowok itu.

Keduanya menaiki tangga semen yang tak memiliki pegangan, Alana hanya bisa berpegangan pada dinding yang kusam dengan batu bata yang terlihat jelas. Gadis itu melihat bagaimana angkuhnya Dirga saat menaiki tangga, kedua tangan cowok itu terkepal dan aura di sini sedikit dingin akibat angin yang membisikkan hujan. Sampai di atap gedung hanya ada bambu-bambu yang tersusun di sisi kiri, juga kursi tua dengan per yang mencuat bediri di sisi kanan. Bersampingan dengan pinggiran atap, batas antara ruang kosong dan gedung tua yang masih berdiri kokoh meski penampakannya sudah benar-benar kusam dan tak terawat.

"Kita ngapain, ya?" Alana bertanya kembali, sedikit hati-hati.

Namun Dirga tetap diam. Cowok itu hanya duduk di kursi busa yang sudah berantakan dengan per dan busanya mencuat, bertebaran. Dirga melirik Alana, menepuk sisi kosong di sebelahnya dengan wajah teramat datar.

Alana yang paham maksud Dirga pun duduk di sana, sedikit memberi jarak. Takut jika Dirga mengeluarkan pisau lalu menusuk lengan Alana dengan benda tajam itu.

"Ini tempat favorit gue," Dirga memulai pembicaraan, nadanya masih datar. Mata cowok itu seperti mengeluarkan suatu teka-teki rumit, semacam rumus trigono yang entah bagaimana membuat Alana pusing. "Ini juga, tempat gue bersama cinta gue," sambungnya, menjawab sedikit pertanyaan lalu-lalang yang menepi di otaknya.

Gadis itu diam, tak ingin menyahut. Mungkin Dirga tak akan melanjutkan ceritanya jika Alana malah memberi saran atau bahkan menyahut dengan kalimat yang membuat cowok itu tersinggung.

"Di sini juga," cowok itu menghela napas panjang, tangannya mengepal kuat. "Tempat di mana cinta gue mati," putusnya.

Alana diam, matanya terbuka lebar dan menoleh ke arah cowok yang masih ingin mengucapkan sepatah kalimat yang mungkin, membuat Alana berlari menjauh. Pergi dan berhenti.

"Gue ngebunuh dia, gue ngebunuh cinta gue," ucap Dirga sedikit terdesak, tatapannya berubah nyalang dan wajahnya dipenuhi emosi. Mata cowok itu menoleh ke arah Alana yang mulai bergerak mundur, Dirga mencengkram tangan gadis itu, menarik Alana mendekat. "Gue ngebunuh dia!" teriak cowok itu dengan lantang, membuat air mata Alana meleleh dan menyebar tak karuan.

"Lo masih mau jatuh cinta sama gue?" tanya Dirga, tatapannya semakin dingin dan nada bicaranya seakan memberikan jawaban bahwa. "Jangan dekatin gue lagi, gue orang jahat."

Namun Alana nggak bisa menerima itu, dia tau dari balik mata hitam penuh kebencian, ada sinar lembut tertahan. Ada cinta yang masih berusaha keluar dari ruang gelap yang dipenuhi asap-asap tebal. Ada hati yang masih ingin terbuka, namun terhalang oleh akar-akar liar yang menyelimutinya dengan duri-duri yang menancap dalam.

Jadi, yang Alana lakukan adalah menarik Dirga mendekat. Memeluknya dengan lembut dan hati-hati. Membisikkan sesuatu yang membuat ruangan kecil di hati cowok itu bergetar kembali, sedikit memberi celah.

"Gue tetap dengan pendirian gue, Dirga."

Dan Alana, ingin mengetahui lebih banyak tentang cowok ini.

***

Mungkin Alana adalah salah satu gadis yang sangat tidak beruntung karena baru mengetahui seperti apa rasanya cinta di umur hampir 17 tahun. Atau sebenarnya fase normal manusia adalah, merasakan cinta di umur 17 tahun. Karena menurut orang banyak, di umur 17 tahun kita akan menemukan banyak hal yang terduga. Salah satunya adalah cinta.

Alana sebenarnya benci mengatakan bahwa dia telah jatuh hati pada cowok asing yang tadinya hanya ingin Alana sakiti saja. Namun bagaimana dia melihat wajah putus asa cowok itu, bagaimana Alana berusaha membaca kedua bola mata hitam Dirga, Alana tau bahwa rasa itu sedikit mulai muncul.

Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha mengenyahkan pikiran tentang Dirga yang kini memenuhi otaknya.

Kemarin setelah adegan pelukan yang sangat nggak banget, Alana jadi sedikit canggung. Tapi, gadis itu tetap berusaha ceria dan mengajak Dirga untuk mengobrol tentang hal lain. Namun cowok itu malah menarik Alana dengan kasar dan membawanya pulang.

Malamnya Alana berusaha mengirimkan pesan ke Dirga, tapi yang ia dapatkan hanya balasan singkat. Gadis itu sedikit sebal dan hampir menyerah, tapi sekali lagi dia ingat misi awalnya. Sesuatu yang membuatnya lupa cara menyerah itu seperti apa.

"Hayolohhh!" teriak seseorang mengagetkannya sambil mendorong tubuh gadis itu sedikit ke depan.

Alana yang baru saja sampai di sekolah, dan ingin memasuki koridor pun menoleh cepat dan menemukan Leon yang memasang wajah tengilnya. Kadang Alana berpikir bagaimana bisa cowok seperti Leon memiliki banyak wajah.

"Kenapa? Pagi-pagi udah bikin emosi," gerutu Alana sembari menarik tali tasnya, berjalan menjauhi Leon yang berusaha untuk menyamakan langkah dengannya.

Leon mengedikkan bahu acuh. "Nggak tau, suka aja gitu ngisengin lo," balas cowok itu lalu menahan Alana dengan menaikkan kakinya ke dinding. Menghalangi jalan gadis itu. "Gimana kemarin? Sukses?" tanya Leon.

Alana menatap Leon sebal, bersidekap. "Menurut lo?"

"Gagal."

"Ish!" ucap gadis itu sembari menggertak Leon dengan mengarahkan telapak tangannya yang terkepal ke arah cowok itu. "Lo sebenarnya emang iseng, ya? Aneh banget. Biasanya juga lo datar gitu, sok-sok dingin padahal aslinya tengil," ujar Alana lalu menekan kaki Leon agar terlepas dari dinding dan berjalan cepat ke arah kelasnya di lantai dua.

Leon masih mengikutinya, berkata. "Nggak tau. Entah kenapa, kalo lagi sama lo gue penginnya ngisengin lo mulu," jelas Leon.

Alana mengangguk-anggukan kepalanya dengan tampang sok mikir. "Oh, gitu ya?" gadis itu menghentikan langkah, menoleh ke arah cowok di sampingnya. "Jadi lo selalu pengin ngisengin gue?" tanya gadis itu sambil tersenyum kecil.

Leon ikut tersenyum. "Iya."

Bibir Alana mencebik dan kembali menggertak Leon dengan kepalan tangan hampir mengenai wajah cowok itu dan berujar. "Sialan!"

Sesampainya di kelas, Alana melihat Huta yang asik menyalin tugas. Gadis itu jadi berpikir keras dan berjalan cepat untuk melihat apa yang tengah sahabatnya itu kerjakan.

"Itu.. tugas apaan?" tanya Alana sembari meletakkan tasnya di atas meja. Gadis itu melirik buku tulis Huta yang dipenuhi soal-soal panjang.

Huta menoleh sekilas. "Bahasa Indo," jawab gadis itu singkat.

Mata Alana melebar. Dia ingat tugas itu!

"Astaga, gue lupa banget, asli," gadis itu mengeluarkan buku tulis Bahasa Indonesia dan menarik buku latihan Agus untuk diconteki bersama. "Liat bareng-bareng dong," sungut Alana pada Huta yang hanya mendengus sebal.

Baru saja gadis itu mau memulai aksi menyonteknya, bel masuk terdengar. Alana jadi ingat kejadian menyebalkan yang membuat dia telat masuk kelas, dan telat menyalin tugas.

"Leon sialan!"[]

Kompas (Arah, Tujuan, dan Kita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang