2. Siapa kau?

46.6K 1.8K 11
                                    

Retta mengemas beberapa pakaian yang ia kenakan selama di rumah sakit ke dalam tas jinjing. Hari ini ia diperbolehkan pulang setelah lima hari mendapatkan perawatan.

"Sudah siap?" Suara lelaki itu memecah keheningan yang tercipta. Retta menoleh ke belakang, di sana ada Nic yang bersandar pada daun pintu. Retta kembali fokus pada baju yang ia masukkan ke dalam tas. Mengabaikan Nic yang berjalan menghampirinya. "Sini aku bawakan." Nic mengambil alih tas yang digenggam Retta.

Retta menyerahkan tas itu pada Nic. Masih dalam diam ia berlalu meninggalkan Nic begitu saja. Ia tak mau semudah itu luluh. Selama lima hari ini Nic membuktikan ucapannya. Dia selalu menunggui Retta di rumah sakit. Membawakan baju ganti, membelikan makanan yang ia inginkan hingga membantu Retta mengatasi morning sick yang mengganggu itu. Nic tak pernah jijik ataupun mengeluh tiap tau Retta dilanda mual yang menyiksa. Malah dengan telatennya pria itu mengurut tengkuk Retta, merapikan rambut Retta agar tak kena muntahan hingga menggotongnya untuk kembali ke ranjang jika ia sudah tak bertenaga lagi untuk jalan. Manis bukan tindakan Nic? Sayang, semua itu tak cukup untuk Retta. Ia masih bersikeras untuk menjauh dari Nic.

Empat puluh menit perjalanan yang ditempuh Nic dan Retta untuk kembali ke apartemen Retta. Sepanjang perjalanan hanya hening yang mengisi diantara keduanya. Retta yang masih dalam masa pemulihan memilih untuk tidur. Sedangkan Nic fokus pada ponselnya, bermain game. Sesekali ekor matanya memperhatikan Retta. Kepala gadis itu kadang terkantuk pada jendela ketika taksi yang mereka tumpangi melewati jalanan bergelombang. Ingin rasanya Nic menarik kepala Retta, menyandarkan pada bahu bidang miliknya. Tapi ia takut. Takut kalau Retta semakin buruk menilai dirinya yang memanfaatkan situasi.

Retta membuka mata ketika taksi yang ditumpanginya berhenti di depan gedung tempat tinggalnya. Segera ia keluar dari mobil. Ia tak membawa sepersen pun uang. Jadi biarkan Nic saja yang membayar ongkos taksinya. Ia mencatat itu dalam memori otaknya sebagai hutang yang harus dibayar kepada Nic.

"Kenapa berdiri di depan pintu? Kau menghalangi jalanku!" Kesal Nic ketika Retta berdiri tepat di tengah jalan pintu masuk apartemen. Tak mendapat respon dari Retta, Nic mendorong pelan tubuh Retta untuk menjauh dari pintu masuk. Kemudian meletakkan tas jinjing milik Retta di meja depan televisi.

Retta masih termenung diposisinya saat ini. Matanya menyapu setiap sudut tempat tinggalnya. Apartemennya terlihat bersih terawat. Padahal ia telah meninggalkan rumahnya cukup lama.

Kemudian Retta beranjak menuju kamarnya. Lagi, ia termenung mengamati kamarnya yang rapi dan juga bersih. Bahkan sprei dan sarung bantalnya sudah diganti. Siapa yang melakukan ini semua? Tanya Retta dalam hatinya.

Tanpa perlu berpikir lama Retta sudah tau jawaban dari pertanyaannya. Siapa lagi kalau bukan Nicolas? Lelaki itu ... hanya lelaki itu yang mengetahui kode apartemennya. Segera ia menghampiri Nic yang tadi duduk di sofa depan televisi. Ia ingin memarahi lelaki yang telah lancang mengusik area pribadinya.

Niatan Retta menguap begitu saja ketika melihat Nic yang tertidur di sofanya. Ia terlihat begitu lelah dan juga pulas dalam tidurnya. Rasa bersalah justru singgah menggantikan amarah dalam hati Retta. Lelaki itu adalah pria yang merelakan waktunya untuk bersenang-senang hanya untuk menemani Retta yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Merelakan tenaganya untuk merawat Retta. Lebih dari itu Nicolas mau membersihkan kediaman Retta, merelakan uangnya habis untuk membayar biaya perawatan Retta selama di rumah sakit. Bagaimana bisa Retta mengabaikan kebaikan lelaki tersebut?

Retta membalik arah, masuk kembali ke dalam kamarnya. Ketika ia keluar lagi dari dalam kamar ia sudah membawakan selimut untuk Nicolas. Ia tak mungkin membiarkan lelaki itu  tidur tanpa selimut di tengah udara dingin yang menusuk tulang.

***

Tidur seorang Nicolas terganggu ketika hidungnya menangkap aroma wangi masakan. Perutnya menggerutu minta untuk diisi. Perlahan ia membuka matanya, mendudukan diri. Mengumpulkan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul. Nic menyandarkan punggungnya pada bahu sofa. Ketika matanya sudah terbuka sempurna, Nic baru menyadari adanya selimut yang menutupi tubuhnya. Senyum mengembang di bibirnya. Ia senang Retta mulai memperhatikannya.

Forever We [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang