Menunggu paling lama yang pernah dirasakan Nic adalah saat ini. Ketika menunggu Retta tersadar dari efek obat bius. Menit berlalu begitu lama. Padahal baru juga satu jam dia disana. Nic terus menggenggam tangan Retta erat. Mengusap punggung tangan itu, menyalurkan hangat rasa sayangnya pada sang istri. Berlangsung sejam Retta belum juga mau membuka mata. Membuat Nic mau tak mau terus mendesahkan napas khawatirnya.
"Memangnya mimpimu lebih indah dari pada aku?" Betah banget tidurnya Ta."
"Kau tau tidak? Tadi aku pikir kau meninggalkanku. Dokter gila itu mengerjaiku tadi." Keluh Nic entah untuk keberapa kalinya.
"Andai saja kau tau bagaimana frustasinya aku, kau pasti akan luluh langsung cium aku lalu bilang cinta. Atau... Mungkin kau akan menghajar dokter gila itu." Nic terkekeh sendiri membayangkan betapa bodohnya dia tadi. "Untung aku belum berpikir buat nyari ibu baru untuk putri kita." Kekehan Nic terdengar semakin keras tapi tak jua membuat Retta bangun dari tidurnya.
"Putri kita cantik seperti ku Ta. Matanya indah seperti matamu. Hidungnya mancung seperti hidungku. Kulitnya merah, bibirnya mungil juga tangan dan kakinya. Aku takut kalau aku pegang nanti dia akan terluka. Cepet bangun Ta... Aku pengen ajak kau lihat putri kecil kita."
"Berisik banget sih Nic! Anakmu mau tidur jangan diganggu!" Bentakan dari Retta yang masih memejamkan matanya membuat Nic terlonjak karena kaget. Andai saja dia tidak memiliki refleks yang baik serta keseimbangan tubuh yang baik mungkin dirinya kini telah terjungkal bersama bangku yang ia duduki.
"Astaga..." Nic mengelus dadanya naik turun. Menetralkan degup jantungnya yang berpacu.
"Diam! Ibu hamil mau tidur!"
"Ibu hamil?"
"Apa kau lupa telah menghamili anak gadis? Jangan pura-pura lupa ingatan!" Geram Retta masih dengan mata terpejamnya.
"Sayang.. bukan seperti maksud aku. Sepertinya kau melupakan sesuatu." Nic mendudukkan dirinya diranjang, samping tempat Retta berbaring.
"Apa?" Kini Retta membuka matanya. Tak terbuka sempurna karena pupil matanya belum fokus menangkap cahaya yang menyapa indra penglihatannya.
"Tadi kau pendarahan---" Retta langsung memucat. Matanya terbuka sempurna. Tangannya menggenggam erat telapak tangan Nic. Terlalu erat hingga Nic merasa kesakitan.
"Dimana anakku? Kenapa aku tidak bisa merasakannya?" Lirih Retta.
"Dia---"
Retta menggelengkan kepalanya tak percaya ketika ingatan terakhirnya berputar dikepalanya bak film usang. Rasanya terlalu menyakitkan hingga Retta tak mampu bernapas dengan baik karena sesak merajai dadanya.
"Tenangkan dirimu." Nic mengusap rambut Retta. Mengusap keringat dingin yang membasahi pelipis wajah cantik istrinya itu.
"Bagaimana aku bisa tenang kalau nyawa anakku sekarang jadi taruhan? Katakan dimana dia?" Retta tak mampu lagi berkata pelan. Bentakan itu adalah bentuk lain emosi yang mengambil alih kontrol dirinya.
"Dia selamat. Putri kita terlahir dengan selamat." Kalimat itu, kalimat yang mampu menghapus semua rasa sakit yang Retta rasakan. Menghapus semua lelah selama delapan bulan ia mengandung. Dan pelukan Nic adalah tempat ternyaman untuknya berbagi rasa bahagia itu.
***
Dari balik kaca Retta menatap haru pada malaikat kecil yang baru saja turun kebumi. Putrinya terlihat begitu damai dan begitu cantik. Hanya saja ada rasa iba yang menusuk relung jantungnya. Keberadaan beberapa alat kesehatan yang menempel di tubuh mungil itu membuat air mata Retta tak henti turun memebasahai pipinya. Ia tak suka melihat putrinya kesakitan. Ia masih terlalu kecil untuk menanggung semua rasa sakit itu. Jika bisa ia ingin memindahkan semua sakit itu dibadannya. Ia ingin melihat putrinya sehat. Membuka matanya lalu memberikan senyuman untuk pertama kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever We [SELESAI]
Romance(Beberapa part diprivate untuk followers) Hanya karena kesalahan satu malam, Claretta harus menanggung beban seumur hidupnya. Ia hamil. Diluar nikah. Dinegara orang. Tanpa pasangan. Lalu bagaimana dengan kuliah yang sedang ditempuh oleh Retta? Bagai...