4. Hilang

33K 1.6K 42
                                    

Ketika Nicolas telah lelap dalam tidurnya Retta memindahkan posisi kepala Nic dari pangkuannya. Pelan, ia menggantikan pahanya dengan bantal sofa. Ia tak ingin mengusik tidur lelaki tersebut. Dalam diam ia mengamati setiap lekuk wajah Nic. Bisa dikatakan Nic itu tampan. Tapi itu tak cukup bagi Retta untuk menerima Nic sebagai ayah dari anaknya. Terlebih melihat latar belakang pergaulan Nic selama ini, ia harus memikirkan semua ini dengan logika, bukan lagi dengan hati. Karena sesungguhnya sebagian hatinya telah menerima keberadaan Nic, mungkin lebih dari itu.

Retta bergegas kembali ke dalam kamarnya. Membaringkan tubuhnya yang terasa lelah. Padahal ia tak melakukan banyak aktifitas. Menatap langit-langit kamar, pikirnya tertuju pada Nic. Apakah dia lelaki yang tepat untuknya? Apakah ini jalan yang benar yang telah ia ambil? Masih banyak lagi tanya dalam benaknya. Ketakutannya pada masa depan yang belum dijalani membuatnya lelah, hingga kantuk menjemput dirinya untuk kembali ke alam mimpi.

"Nic ... bangun! Sudah siang. Apa kau tak ada kegiatan yang ingin kau lakukan?" Pukul sepuluh pagi Retta mengguncangkan bahu Nic. Memaksa lelaki itu untuk membuka kedua bola matanya yang memerah karena kantuk.

"Sepuluh menit lagi." Kilah Nic kembali memejamkan matanya. Ia bahkan menarik tinggi selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya. Ia merasa kedinginan.

"Tak ada sepuluh menit lagi Nic! Bangun sekarang atau kusiram dengan air dingin?!" Ancam Retta. Seperti biasa ia melipat kedua tangannya di depan dada, menantang lelaki tersebut. Tapi sepertinya Nic tak takut. Ia masih terlelap dalam tidurnya. Kesal, Retta mengambil semua selimut yang menutupi tubuh Nic, melipatnya rapi.

Retta tersenyum tipis ketika melihat sweter miliknya yang dikenakan Nic. Sweter itu tampak membungkus Nic dengan rapat. Tubuh Nic yang besar membuat sweter Retta yang berukuran jumbo nampak kekecilan di tubuh Nic.

"NICOLAS!!!" Teriak Retta tepat di telinga Nic. Membuat si empunya telinga langsung mendudukkan dirinya, kaget. Ia mengelus dadanya naik turun untuk menenangkan detak jatungnya yang berpacu berlebihan. Kemudian ia memeluk lututnya, menenggelamkan wajahnya kedalam lipatan kaki. Ia tak minat untuk berdebat dengan Retta pagi ini.

"Ayo kita makan. Anakmu ini sudah kelaparan menunggu ayahnya." Nic langsung menegakkan kepalanya. Tersenyum manis kepada Retta. Pagi ini Retta telah membangkitkan semangatnya hanya karena kata 'anakmu'. Retta telah mengakuinya sebagai ayah sang jabang bayi. Ternyata usahanya selama dua bulan penuh ini tak sia-sia. Retta mulai luluh padanya.

"Ayo! Aku tak bisa membiarkan anakku kelaparan." Nic langsung bangkit berjalan menuju dapur. Meninggalkan Retta di belakangnya yang geleng-geleng kepala melihat tingkah Nic.

***

Berangkatnya semangat tapi ketika sampai dimeja makan Nic hanya memandang makanan itu. Perutnya terasa penuh dan juga mual.

Retta meletakkan kembali sendok dan garpunya, melihat Nic yang tak menyentuh sedikitpun makanannya. "Masakannya nggak enak ya?"

Nic menegakkan kepalanya, menatap Retta. "Enak. Cuma kenyang aja rasanya."

Retta menatap wajah Nic yang terlihat pucat. Ingin hati ia menanyakan keadaan Nic tapi ia terlalu gengsi untuk memulai. "Habiskan! Kalau tidak dihabiskan tidak usah main ke sini lagi." Hanya itu yang bisa dilakukan Retta untuk menunjukkan rasa pedulinya.

"Maunya disuapin." Rengek Nic. Ia memasang wajah puppy eyes, berharap Retta luluh dengan rayuannya. Bukannya mendapat apa yang diinginkan, Nic malah mendapatkan pelototan dari Retta.

"Habiskan makanmu! Setelah itu pulang!" Kata Retta setelah menghabiskan sarapannya.

"Pulang kemana? Aku diusir dari apartemen karena tidak bisa bayar uang sewa. Dan sekarang uangku sudah habis untuk membiayai rumah sakitmu, juga membeli sogokan agar kau menerimaku. Tidak bisakah kau berbaik hati mengijinkanku tinggal di sini?" Nic memasang wajah semenyedihkan mungkin agar Retta percaya pada aktingnya.

Forever We [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang