Epilog

31.4K 1K 86
                                    

A Y A H

Tolak.

Harusnya kata itu yang aku ucapkan untuk memberi jawaban atas permintaan pak Rahman, ketua RT yang dipilih oleh keluarga calon mantuku sebagai pembicara.

Harusnya.

Namun sayangnya aku tak mampu berucap seperti itu.

Hening cukup lama terjadi setelah Pak Rahman mengutarakan niatnya. Satu persatu tamu yang hadir aku pandangi dengan tatapan datar. Mereka sudah jauh-jauh datang kesini masa' iya aku mau mengusir dan menolak lamaran calon mantuku? Apa mereka tidak akan kecewa? Sudah banyak uang yang mereka habiskan untuk sampai ditempat ini. Sudah ada cucuku pula diantara mereka. Apa jadinya jika aku tak menolak lamaran itu?

Lalu pandanganku jatuh pada putri semata wayangku, Claretta. Putri yang selama ini aku banggakan. Meski pada akhirnya dia juga yang membuatku kecewa. Aku tak percaya dia bisa berbuat seperti itu. Apa kurang didikan yang telah aku berikan selama ini? Apa kurang perhatian yang aku berikan selama ini? Kurang apa aku sebagai orangtuanya hingga ia tega mencoreng nama baik keluarga dengan hamil diluar nikah?! Dia bukan hanya menghancurkan mimpinya sendiri akan cita-citanya tapi juga menghancurkan kepercayaanku kepadanya. Aku marah. Aku kecewa. Anak yang setiap malam namanya aku sebut dalam setiap doaku telah menghancurkan hati ayahnya. Sanggupkah aku memaafkannya?

Kemudian pandanganku jatuh pada sosoknya. Lelaki bertubuh tegap, gagah dan tampan yang duduk diseberangku. Lelaki brengsek yang telah merusak masa depan putriku. Menghancurkan bukan hanya impian Retta tapi juga impianku. Ingin rasanya aku memaki dia. Menghancurkan wajahnya yang terlihat tanpa dosa itu.

Dia harus mendapatkan pelajaran!

Tak semuanya mudah ia dapatkan. Terlebih untuk restu dari orangtua yang telah dihancur hatinya.

***

IBU

Aku menatap ayah yang tengah memandangi putri semata wayangnya itu. Aku tau beliau kecewa dengan kenyataan yang diberikan. Tapi mau bagaimana lagi, nasi telah menjadi bubur. Tak mungkinkan dia menolak lamaran ini?

Lalu pandanganku jatuh pada putri mungil anakku. Siapa tadi namanya aku lupa. Maklum, faktor umur tak mampu membohongi. Lagi pula semua yang serba dadakan ini mengagetkanku. Mana sempat aku memperhatikan cucu pertamaku ini.

"Boleh aku menggendongnya?" Pintaku pada orangtua Nic. Aku yakin mereka tak paham dengan apa yang aku ucapkan, tapi begitu aku mengulurkan tangan kepada cucuku itu ia langsung meraih tanganku. Langsung saja aku bawa dia kedalam pangkuanku. Aku ajak ia bercanda dan dia tertawa. Sungguh bahagia rasanya melihat ia tertawa.

"Namanya siapa, nok?"

"Zanetta Arthawidya Janson. Ibu bisa memanggil dia Netta." Retta yang duduk disebelah ibunya memberi tahu.

"Nama yang cantik untuk cucu uti yang paling cantik." Pujiku lalu memberikan banyak kecupan di pipinya yang gembul itu. Bocah itu kembali tertawa. Mungkin karena geli.

Sembari menanggapi ocehan Netta aku kembali fokus pada pembicaraan yang dilakukan oleh ayah dan pak Rahman. Mereka tampak serius. Membuatku was-was dengan apa yang akan diputuskan oleh ayah.

"Sudah terima saja lamarannya. Udah terlanjur juga kan? Lagi pula kalau nggak diterima sayang lho Yah ... mantu Ayah itu sudah gandeng, mapan dan bule lagi. Bisa kita pamerkan ke tetangga nanti. Kalau ibu sih yes Yah... Kalau Ayah apa?" Bisikku mempengaruhi keputusan yang akan diambil Ayah. Semoga saja berhasil.

"Ibu ini ... anaknya berbuat salah kok malah bangga! Memangnya ibu nggak malu kalau nanti tetangga membicarakan Retta yang sudah punya anak diluar nikah?!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Forever We [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang