33. Jogjakarta

21.8K 1K 107
                                    

Sudah delapan jam Nic tertidur. Rasanya sangat cukup untuk memulihkan kembali tenaganya yang terkuras habis setelah menempuh perjalanan jauh London - Jogja. Tapi nyatanya istirahat yang cukup itu tak mampu menenangkan mentalnya. Jantungnya terus saja berdetak kencang. Gelisah. Ketakutan pada apa yang tak seharusnya ia takuti.

"Kita mau sampai kapan dihotel terus? Aku sudah kangen dengan kasurku, ayah, ibu serta Lintang, Nic." Keluh Retta untuk kesekian kalinya. Bayangkan saja mereka sudah tiba dijogja dua hari yang lalu, Retta selalu mengajaknya untuk pulang kerumahnya. Tapi Nic selalu menolak dengan berbagai alasan. Dari yang logis seperti alasan kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh hingga alasan paling tidak masuk akal menurut Retta; Nic takut mereka nyasar di sana! Hell! Alasan seperti apa itu???

Oke, Retta memang tinggal di London sudah cukup lama. Tapi bukan berarti dia melupakan tanah kelahirannya, kan? Hampir delapan belas tahun hidupnya Retta tinggal di Jogja jadi mana mungkin ia bakal nyasar? Lagipula jaman sudah maju saat ini. Ada GPS yang akan membantu mereka menunjukkan jalan jika memang mereka lupa jalan pulang. Mereka juga punya mulut yang bisa dipakai untuk meminta tolong pada warga agar mau mengantarkan mereka.

Sebenarnya Retta tau apa yang menjadi alasan Nic terus mengulur waktunya untuk bertemu dengan keluarga adalah masalah kesiapan mental. Nic belum siap bertemu dengan orang tuanya. Ia malu bertemu dengan mereka. Ia juga bingung bagaimana caranya menjelaskan hubungan mereka selama ini. Ia takut orangtua Retta akan menolak Nic. Meminta Retta untuk menjauh dari Nic bahkan meninggalkan pria itu. Padahal itu semua hanya ketakutan Nic semata. Dia terlalu parno hingga membiarkan ketakutannya merajai isi otaknya. Membiarkan otaknya berimajinasi liar tentang segala kemungkinan buruk tentang nasibnya juga nasib Retta dan Netta, putri semata wayangnya.

"Pokoknya hari ini aku ingin menemui keluargaku. Setuju atau tidak aku akan membawa Netta bersamaku. Aku akan memperkenalkan cucu pertama mereka." Lagi-lagi Retta berbicara dengan kesungguhannya. Ia bahkan sudah mengepak barang-barang yang ia bawa kedalam koper. Ia ingin check out siang ini juga. Terserah Nic mau ikut apa tidak. Dia tidak peduli.

"Tapi Retta... Bagaimana jika mereka mengusirku?"

"Mereka sudah mengenalmu Nic. Bukankah kau sering melakukan video call dengan mereka? Apa lagi yang perlu ditakutkan?!"

"Eem...."

"Ikut denganku atau pisah selamanya?" Sudah. Semua keraguan, kecemasan, kebimbangan Nic langsung sirna di tiup angin ketika ancaman sudah keluar dari mulut Retta. Tak ada yang bisa ia lakukan lagi selain menuruti apa kata ratunya itu.

"Doakan daddy sayang." Gumam Nic seraya menciumi pipi gembil Netta. Anaknya itu baru saja terlelap usai menyantap makan siangnya, ASI.

****

"Kulonuwun." Kata Retta sembari mengetuk pintu jati rumahnya. Waktu menunjukkan pukul dua siang ketika mereka akhirnya menginjakkan kaki dipelataran rumah Retta. Biasanya dijam seperti itu kedua orangtua Retta masih sibuk bekerja ditoko, sedangkan Lintang masih sibuk disekolahnya. Makanya dari tadi pintu itu tak kunjung terbuka.

Setelah bernegosiasi yang cukup alot akhirnya mereka memutuskan untuk menitipkan Netta terlebih dulu pada mommy dan daddy nya Nic_ yang kebetulan ikut mereka pulang kampung. Mereka tak ingin membuat anggota keluarga Retta terkena serangan jantung masal ketika melihat 'oleh-oleh' yang dibawakan Retta untuk mereka. Jika saja Netta ikut bocah lucu itu pasti akan rewel lantaran tak tahan dengan hawa panas yang siang itu terasa sangat menyengat di Jogja.

Ditengah keputusasaan menunggu pintu terbuka akhirnya terdengar sahutan dari dalam rumah. Suara seorang perempuan yang Retta yakini adalah ibunya. "Sekedap nggih... Nembe mlampah niki."

Forever We [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang