Sinar mentari yang menerobos masuk lewat celah jendela pagi itu membuat Retta berulang kali mengerjapkan matanya karena silau. Retta membalikkan badan kala matanya tak jua mampu beradaptasi dengan cahaya matahari.
"Morning sunshine." Sapa Nic ketika Retta bersitatap muka dengan Nic. Retta sempat mbalas sapaan Nic dengan senyuman. Namun itu hanya bertahan beberapa saat sebelum akhirnya terdengar suara pekik kesakitan dari Nic. Retta menarik hidung Nic sekuat tenaga.
"Semalam kita baru saja bermesraan lho... terus sekarang kenapa kumat lagi garangnya?" Kata Nic sembari mengusap hidungnya yang memerah.
"Apa kau selalu menyapa seperti itu pada semua wanita yang kau ajak tidur?"
"Tentu saja tidak! Kau yang pertama kulakukan seromantis itu. Aku biasa meninggalkan mereka begitu saja usai bercinta."
Plak!
Retta menabok pipi Nic. Meski tak terlalu keras tapi cukup membuat Nic berdecak kesal. Retta kembali memunggungi Nic. Ia tak mau menunjukkan rona merah pada pipinya. Ia malu pada Nic setelah peristiwa semalam. Terlebih pengakuan Nic. Apa benar yang dikatakan oleh pria itu? Tapi untuk pengakuan meniduri banyak wanita Retta tau itu pasti beneran. Fakta. Catatan buruk seorang Nicolas.
Nic menarik tubuh Retta untuk merapat pada tubuhnya. Sentuhan kulit mereka yang terjadi secara langsung membuat bulu kuduk Retta meremang. Pipinya semakin terasa panas ketika membayangkan peristiwa semalam mungkin saja akan terulang pagi ini.
"Jangan memalingkan wajahmu sayang, aku tau saat ini kau sedang menyembunyikan rona wajahmu karena malu 'kan?" Bisik Nic tepat dibelakang daun telinga Retta. Membuat detak jantung Retta berpacu puluhan kali lebih cepat dari biasanya.
"Siapa bilang aku sedang merona karena malu?" Tantang Retta.
Nic terkekeh. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh telanjang Retta. "Tatap aku kalau begitu."
"Tidak mau!"
"Berarti benar bukan dugaanku? Ohya apa semalam aku menyakitimu?"
"Tentu saja kau menyakitiku Nic! Kau menusukku berulang kali kalau kau lupa! Kau membuatku kelelahan!"
"Mm... apa seperti itu ekspresi orang yang kesakitan?" Nic menjeda sejenak kalimatnya sembari mengingat bagaimana ekspresi Retta saat itu. "Sepertinya semalam kau terlalu menikmati sampai meminta lagi dan lagi. Kalau seperti itu apakah itu salahku? Kan aku menuruti apa maumu sayang." Nic tersenyum menggoda.
Retta kembali membalikkan badan. Menatap Nic dengan pandangan yang tak mampu dideskripsikan. Rona merah jelas terlihat diwajah cantik Retta. Nic yang menyadari itu langsung tertawa terbahak. Dia menang.
Plak!
Kali ini Retta memukul lengan telanjang milik Nic sekuat tenaga. Membuat tawa Nic berhenti dan terganti oleh pekik kesakitan. Tak cukup dilengan Retta juga mendaratkan tangan mungilnya didada bidang milik Nic. Ia melampiaskan kekesalannya karena dipermalukan oleh Nic.
Nic menangkap kedua tangan Retta ketika pukulan wanita itu semakin melemah. Retta semakin menundukkan kepalanya, menyembunyikan genangan air mata dipelupuk matanya. Lalu sebuah tangan merengkuhnya. Membawanya kedalam dekapan hangat. Retta langsung menenggelamkan wajahnya didada bidang milik Nic. Menumpahkan air mata yang sedari tadi ditahan olehnya.
"Maaf." Lirih Retta disela isak tangisnya.
"Kenapa minta maaf?" Tanya Nic yang masih memeluk Retta. Ia mengusap rambut panjang Retta untuk menenangkan.
"Aku sudah memukulmu."
"Pukul? Aku tidak merasa tersakiti kalau kau ingin tau. Pukulanmu itu seperti pijatan dibadanku." Nic terkekeh mencoba menghibur Retta.
"Bohong!" Tuduh Retta. Ia sudah menghentikan tangisnya.
"Beneran."
"Jangan seperti itu lagi!"
"Seperti apa maksudmu?"
"Menggodaku. Aku tidak suka!"
"Tapi aku suka."
"Kau berani menantangku?"
"Tidak."
"Kalau gitu turuti apa mauku." Renggek Retta masih dalam dekapan Nic.
"Akan ku usahakan."
"Jam berapa sekarang?"
"Jam setengah sepuluh mungkin." Tebak Nic asal.
Retta langsung mendorong dada Nic. Melepaskan posisi paling nyaman favoritenya. Retta menatap nyalang pada Nic.
"Apalagi sekarang?"
"Bukankah hari ini kau ada kuliah pagi?"
"Iya. Lalu?"
"Kenapa kau tidak berangkat kuliah?" Retta mendudukan dirinya. Sebelumnya ia telah menarik selimut tinggi-tinggi untuk menutupi tubuh polosnya. Marah dengan posisi berbaring rasanya kurang nyaman. "Nicolas! Kuliah itu mahal! Harusnya kau tidak menyia-nyiakan itu! Mau jadi apa kau nantinya huh? Apa kau tak malu kalau nanti anakmu bertanya bagaimana pendidikan ayahnya? Astaga...." Retta mengambil napas sejenak kemudian melanjutkan omelannya, "telingamu itu sebenarnya terbuat dari apa sih? Perasaan hampir setiap hari aku mengomel tentang kuliah dan tugas-tugasmu. Masih saja kau melupakan itu! Apa perlu aku membelikanmu alat bantu dengar?"
Nic menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak terasa gatal. Lebih baik dia diam saja dari pada kena omelan lebih panjang lagi.
"Nicolas! Aku ngomong lho sama kamu!" Geram Retta ketika melihat Nicolas masih bertahan diposisinya dalam diam.
"Aku harus bagaimana?" Kalau aku kasih alasan nanti kau akan mengomel terus. Aku diampun masih salah. Memang hanya wanita yang selalu benar. Ucap Nic dalam hati.
"Kau masih tanya?" Retta geleng kepala dengan frustasi. "CEPAT MANDI! PERGI KE KAMPUS! teriakan melengking dari Retta membuat Nic langsung bangkit dari baringnya.
"NICOLAS!" Nic menghentikan langkahnya tepat didepan pintu kamar mandi ketika Retta memanggil namanya lagi. "Kenapa sayang?"
Retta menutup wajahnya dengan selimut yang ia gunakan untuk menutupi tubuhnya. "Kalau lari celananya dipakai dulu SAYANG!"
Menyadari kepolosan tubuhnya membuat Nic buru-buru menyembunyikan tubuhnya dibalik pintu kamar mandi. Beberapa saat kemudian tawa menggelegar dibalik pintu kamar mandi bersamaan dengan suara air dari shower.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever We [SELESAI]
Romance(Beberapa part diprivate untuk followers) Hanya karena kesalahan satu malam, Claretta harus menanggung beban seumur hidupnya. Ia hamil. Diluar nikah. Dinegara orang. Tanpa pasangan. Lalu bagaimana dengan kuliah yang sedang ditempuh oleh Retta? Bagai...