14. Alasan

24.6K 1.2K 17
                                    

Retta lebih dulu mempersilahkan duduk ibu Nic. Ketika ia ingin menawarkan makanan apa yang ingin mereka pesan ibu Nic langsung mecegahnya, "sebutkan saja apa alasan kalian meminta kita bertemu disini!"

Retta melempar pandangan pada Nic yang terlihat acuh dengan kehadiran orangtuanya. Kalau sudah seperti ini Retta tak bisa lagi meminta pertolongan. Ia harus menghadapi sendiri mertuanya.

"Kami tak punya banyak waktu untuk urusan yang tidak penting!" Ketus ibu Nic.

Retta menarik napas sejenal sebelum memulai berbicara. Kemudian ia tersenyum seramah mungkin. "Saya dan Nic sudah menikah beberapa bulan lalu. Saya juga sedang hamil buah cinta kami. Rasanya akan kurang sopan kalau kami tidak memberitahukan itu pada orangtua kami. Kami disini ingin meminta restu kalian. Meskipun sudah sangat terlambat tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali bukan?"

"Berapa bulan kehamilanmu nak?" Tanya ayah Nic dengan ramah.

"Jalan enam bulan ayah."

"Apa kau yakin dengan Nic? Setahu saya selama ini Nic tak pernah serius dalam menjalin hubungan dengan wanita. Dia lebih sering melakukan ONS dari pada harus terikat dengan wanita. Wanita yang berada didekatnya pun tak pernah ada yang benar-benar tulus menginginkannya. Jadi sebutkan saja apa yang kau mau dari Nic! Kau tak perlu memanfaatkan kehamilanmu itu untuk membohongi Nic. Bisa sajakan kau hamil dengan pria lain lalu meminta Nic untuk bertanggung jawab?!"

Retta membeku ditempat. Dia kehilangan kemampuannya untuk membela diri. Bahkan untuk sekedar bernapas pun rasanya begitu sulit. Dadanya terasa terhimpit batuan besar yang menyesakkan. Air mata perlahan berlinang dari pelupuk matanya.

"Kita pulang sekarang!" Kata Nic memerintah. Ia langsung menarik tangan Retta agar mengikuti dirinya bangkit dari kursi. Retta menepis genggaman Nic.

"Kau tak perlu meminta restu dari mereka. Kita yang menjalani ini jadi biarkan ini jadi urusan kita. Tak akan jadi masalah kalau mereka tak memberikan restu." Ucap Nic dengan pandangan yang terfokus pada wajah ibunya. Amarah jelas terpancar dari sorot mata Nic.

"Tenangkan emosimu Nic! Mereka orangtuamu! Harusnya kau menghormati mereka!" Retta menarik tangan Nic agar mau kembali duduk ditempatnya.

Melihat wajah Retta yang basah karena air mata membuat hatinya luluh. Ia mengikuti apa yang diminta Retta. "Air matamu tak pantas untuk menangisi mereka. Berhenti menangis ya?" Kata Nic seraya mengusap pipi Retta yang basah dengan ibu jarinya. Retta refleks memejamkan mata ketika Nic mendekatkan wajahnya lalu mengecup kedua bola mata Retta.

"Ehm!" Deheman ibu Nic membuat Retta jadi salah tingkah. Ia mendorong tubuh Nic untuk menjauh darinya. Retta menundukkan kepala karena malu.

"Apa kau yakin dengan keputusanmu Nic?" Tanya ayah Nic.

"Tentu saja. Aku tak pernah seyakin ini dengan seorang wanita." Nic lalu menghujamkan tatapan menghunusnya pada sang ibu. "Asal anda tau bayi yang ada dikandungan Retta adalah bayi saya! Karena saya yang pertama kali menyentuhnya! Jangan samakan istri saya dengan anda nyonya!"

"Jaga ucapanmu Nicolas!" Tegur sang ayah. "Seperti apapun dia, dia yang telah ayah pilih untuk menjadi pasangan hidup. Dia ibumu dan sudah seharusnya kau menghormati dia. Menghormati pilihan ayah!"

Nic terkekeh. Merasa lucu dengan situasi yang terjadi saat ini. "Kalau ayah saja bisa begitu yakin dengan pilihan ayah kenapa aku tidak? Kalau ayah meminta aku menghormatu apa yang telah ayah pilih kenapa aku tidak bisa mendapatkan perlakuan yang sama? Mungkin ayah perlu lebih keras lagi mendidik dia! Agar dia berkaca sebelum berkata. Seenak hati menuduh orang, memangnya dia sudah benar? Apa dia sudah lupa dengan masalalunya?" Sinis Nic.

Forever We [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang