"Jika tuan aladin sungguh ada, maka hanya satu pintaku. Hilangkan secuil kenangan itu dari hidupku."
_♥♥♥_
"Pssst...."
"Wkwk coba lihat deh."
"Ada yang nyasar."
"Hahaha."
"Ssttt!."
Tiba-tiba saja kupingku mendengarkan bisikan-bisikan misterius itu. Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa pemilik bisikan itu berada tak jauh dari tempat ini.
"Mey, kamu denger sesuatu gak?." Tanyaku pada Mey yang masing bengong memperhatikan sekitar.
"Ha? Denger apaan?" Jawab Mey yang membuat keningku berkerut kusut. Heran. Apa hanya aku saja yang mendengar suara bisikan itu?
Suasana masih lengang. Padahal sudah sebelas menit lagi menjelang adzan. Dan kami tak segera balik ke asrama. Keanehan ini terasa janggal.
Pintu kayu berdecit pelan. Sontak membuatku dan Mey menoleh kearah sumber suara. Kaget.
Mucul lah sesosok wanita paruh baya menenteng karung plastik yang bahkan ukurannya lebih besar daripada tubuhnya. Aku dan Mey was-was. Berjaga-jaga dari kemungkinan terburuknya. Apakah ini manusia sungguhan?
"Loh mbak berdua ngapain disini?." Kalimat pertama terlontar dari wanita paruh baya itu setelah ia meletakkan kantung platik yang besar di sudut ruangan. Sebuah kalimat pertanyaan yang justru membuat kami bertanya-tanya.
"Mbak? Bisa dengar saya?." Wanita itu menaikkan nada suaranya. Mey masih tenggelam dalam ketakutannya. Pandanganku langsung beralih pada kaki wanita itu. Ya. Kakinya menjejak di tanah. Ia tidak melayang bahkan se-senti pun. Ia manusia sungguhan.
"Kami kemari hendak membeli es bu." Kataku sopan. Tampak disampingku wajah Mey yang absurd. Nggak jelas antara ekspresi heran campur kaget.
"Kok beli disini mbak?."
"Eh?." Jawabku dengan mimik wajah heran setengah mati.
Loh? Kok tanya gitu? Ini kan warung, emang enggak boleh ya beli disini?
"Si ibu ini aneh banget sih!." Gerutu Mey pelan tetapi mendarat jelas di telingaku.
"Biar ibu tebak, kalian santri baru ya disini?." Tanya nya curiga. Kami pun membalas dengan mengangguk patah-patah.
Lalu wanita itu pun tertawa.
Dan kami bingung sejadi-jadinya.
"Jadi sebenarnya warung ini adalah warung khusus santri ikhwan. Sewaktu kalian tadi datang kesini saya masih ambil barang dagangan di pasar sehingga sepi dan tak ada yang kesini. Saya maklumi karena kalian adalah santri baru yang belum mengenal betul daerah pondok. Tapi lain kali jangan seperti ini lagi ya. Warung khusus akhwat ada di kompleks asrama akhwat, disebelah kantor organtri akhwat. Jika kalian hendak membeli sesuatu disana saja."
Speechless.
"Dan ini sudah delapan menit menjelang adzan. Sebaiknya kalian segera kembali ke dalam. Sepertinya di luar warung sudah banyak santri ikhwan yang kemari hendak membeli makanan dan minuman buka puasa tapi terhalang karena kalian ada disini."
Mey menepuk jidat dan mengaduh. Aku hanya meringis mengigit bibir. Bagaimana mungkin kami bisa terjebak di area santri ikhwan begini? Sungguh amatlah memalukan.
Tanpa banyak kata kami pun langsung keluar meninggalkan warung bertenda biru itu. Tak peduli lagi batalnya rencana Mey yang tadinya mau membeli es gabus. Selangkah dua langkah kami meninggalkan warung itu tampaklah pemandangan mencengangkan. Tepat sekali dugaan wanita paruh baya itu.
Kami berada di tengah kerumunan santri ikhwan!
Hanya terbesit satu kata. Malu. Pandanganku terus menyapu tanah. Tak berani menoleh bahkan semili-meter pun. Tak kuhiraukan keadaan sekitar. Yang terpenting adalah bagaimana aku segera sampai di kompleks akhwat dan meninggalkan suasana yang amat mendebarkan ini. Mey berjalan di depanku terlalu cepat meninggalkan beberapa jarak diantara kami. Beberapa detik kami lewati dengan menahan malu dan hembusan nafas tegang. Saat berada satu meter di depan gerbang kompleks asrama akhwat.
Gedebruk!
Mey jatuh tersungkur di depanku. Mungkin karena tersandung batu atau apalah itu. Aku membantu Mey bangkit. Puluhan pasang mata itu masih menatap kami.
"Ayo Mey cepet berdiri. Malu eh banyak yang ngeliat." Aku berseru.
Setelah Mey sempurna bangkit kami pun langsung lari masuk ke dalam kompleks asrama akhwat. Menyisakan tawa di balik gerbang.
_♥♥♥_
Sesampainya di asrama kami langsung masuk ke dalam kamar. Padahal seharusnya kami menuju ke aula akhwat untuk buka puasa bersama. Sudahlah kami tak pedulikan itu. Ketika kami tengah berada di kamar dan hendak duduk adzan maghrib pun terdengar. Hanya tersisa kami berdua di dalam kamar. Yang lainnya jelas sedang berbuka puasa bersama. Kami pun meneguk beberapa air. Membatalkan puasa.
"Arrghh! Gara-gara kamu sih Mey pake acara mampir segala. Malu kan jadinya." Kataku dengan nada penyesalan.
"Ya maaf. Kan nggak tau. Lagian ngapain juga kamu mau nurutin keinginanku!." Sergah Mey dengan memajukan bibirnya.
"Hash ni anak! Disalahin malah balik nyalahin!."
"Udahlah lupakan! Aku gak mau nginget-nginget kejadian tadi. Pokoknya ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua loh ya. Jangan sampai ada yang tahu lagi selain kita!." Kata Mey mengancam.
"Ish! Yaiyalah siapa juga yang mau aib kayak gini diketahui orang lain." Jawabku masih kesal.
Usai perang mulut itu teman-teman pun datang ke kamar. Buka puasa bersama telah selesai. Mereka hanya menatap bingung kami yang tidak ikut gabung dalam acara buka puasa bersama dan terduduk layu di lantai kamar bercucuran keringat dingin.
"Kok kalian?." Tanya salah satu teman kami.
"Kalian kenapa?." Tanya teman kami yang lainnya.
"Itu kenapa jilbab Mey robek? Kalian sebenarnya habis ngapain sih?." Tanya teman kami satunya lagi.
Aku dan Mey tak punya usaha tuk menjelaskannya. Kami hanya menyengir pelan. Dan ingin secepatnya bisa melupakan kejadian beberapa menit lalu menjelang adzan. Kami berharap terkena amnesia. Agar bisa melupakan kenangan itu. Tapi apa daya tak bisa. Kenangan itu masih menempel rekat di ingatan kami. Tersenyum mengejek.
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA RINDU
SpiritualSebuah kisah tentang pijar rindu dalam lentera kenangan. Bermula dari setetes kesederhanaan yang terpilin menjadi sebuah keajaiban. Memancarkan cahaya indah yang melekat diantara ruang kalbu. Merengkuh jiwa, membimbing raga menuju asa. Gemerlap tera...