15

121 23 13
                                    

"So be patient with gracious patience."

_♥♥♥_

"Cie Zeva ciee." Setengah aku berbisik sambil menyenggol pelan lengan Zeva saat kami telah sampai kembali ke pondok.

"Ih kenapa sih? Pasti kalian ngomongin sesuatu pas ana tadi ke kamar kecil." Raut wajah Hulya pun berubah.

"Enggak, nggak ada apa-apa kok Hul. Hehe. Ya kan na?." Zeva meremas telapak tanganku agak kasar. Matanya melotot, mengisyaratkan sesuatu padaku.

"He-he. Iya Hul. Gak ada apa-apa kok." Lagi-lagi aku berbohong.

Hulya tak menjawab, hanya menganggukkan kepala dua kali lalu bibirnya ditarik membentuk garis lurus.

_♥♥♥_

Tak terasa, kami telah memasuki pekan Penilaian Akhir Semester. Yap, tanpa kusadari aku telah berhasil bertahan selama satu semester di pondok ini. Memang waktu punya taktik sendiri untuk membius kita, membuat hari-hari berlalu dengan cepat. Tapi syukurlah, itu berarti sebentar lagi kami akan berlibur. Kembali ke rumah, melepas rindu yang sudah membengkak.

"Bismillah, nilaiku harus lebih baik dari ujian tengah semester lalu. Allahumma laa sahla illa maa ja'altahu sahlaa, wa anta taj'alul hazna idza syi'ta sahlaa. Laa hawla wa laa quwwata illa billah."

Untaian doa tak henti kuucapkan selama pekan ini. Berharap kepadaNya agar diberikan kemudahan dan hasil yang terbaik.

Sehari,dua hari, tiga hari, hingga dua belas hari kemudian. Tuntaslah sudah serangkaian ujianku. Tinggal menunggu hasilnya. Menyerahkan segala urusan kepadaNya.

"Antum rencana mau liburan kemana qila?." Aku membuka percakapan dengan gadis berwajah bening yang tengah berada di sampingku. Kami tadi tak sengaja berpapasan di koridor setelah keluar dari ruang ujian. Kebetulan tujuan kami sama, hingga akhirnya kami memutuskan berjalan bersama menuju kantin.

"Belum tahu. Ya mungkin menghabiskan liburan dengan tidur dan main game. Kalau Eonni?." Ia balik bertanya kepadaku dengan panggilan yang masih sama. Pasalnya sejak kejadian aku tertimpuk sandal sore itu, ia jadi memanggilku dengan sebutan eonni.

"Ya biarin. Sekalian aja. Kan awalnya ana kira antum kakak kelas. Dan karena ana pingin banget punya kakak kandung tapi gak kesampaian, lalu ketemu antum yang merupakan tipe kakak idaman ana. Jadilah ana manggil antum Eonni. Pokoknya gaboleh nolak. Sudah diketok palu."

Aku selalu tertawa mengingat perkataannya tempo hari. Sudah menjadi hobinya memutuskan kehendak tanpa persetujuan pihak lain yang bersangkutan.

"Eonni? Kok ketawa-ketawa sendiri? Ana jadi takut ih." Syaqila kemudian menatapku dengan heran dan menjauh dariku beberapa senti.

"Haha apaan sih qila. Ana tadi itu tiba-tiba keinget sesuatu yang lucu. Ya ketawa deh."

"Ohh gitu. Ana udah terlanjur khawatir, takutnya eonni sakit jiwa karena stress habis ujian." Ia meledekku dengan menjulurkan lidah di akhir kalimatnya, lalu berlari meninggalkanku yang berusaha mengejarnya.

_♥♥♥_

Aku berjalan gontai menuju kamar, ingin rasanya menghilang dari bumi. Dan terbang ke angkasa lalu meminjam cincin saturnus untuk bermain hula hoop. Kejadian beberapa menit lalu merusak mood ku hari ini.

Saat aku dan Syaqila bermain kejar-kejaran, tak sengaja aku menyenggol bahu Rere yang sedang membawa segelas teh pico. Kalian pasti bisa menebak adegan selanjutnya.

Karena kecerobohanku teh yang dipegang Rere tumpah. Bukan mengenai bajunya. Tapi berhasil membuat sepatu kainnya basah kuyup. Sudah terlihat seperti spons yang kelebihan air.

Dan yang lebih parahnya lagi, ia sedang bersama Mey. Oh Allah, kenapa harus ada kejadian ala-ala sinetron muncul di dunia nyata. Duniaku pula.

"Astaghfirullahaladzim, afwan banget ya Re. Ana bener-bener nggak sengaja. Afwan pol. Nanti biar ana aja yang cuci sepatu antum. Nih ambil uang ana buat ganti rugi tehnya."

Aku benar-benar dalam kondisi yang buruk.

"Heum. Iya nggak papa kok na. Makasih udah mau tanggung jawab." Hanya satu kalimat itu yang keluar dari mulut Rere. Aku bisa merasakannya, ada aura ketidak ikhlasan.

Tapi bukan itu yang menyakiti hatiku, melainkan satu kalimat ini yang meluncur mulus dari mulut sahabat kecilku.

"Gimana sih jadi orang! Udah tahu kantin ramai, malah main kejar-kejaran. Bikin masalah aja sukanya!."

Cibiran itu berhasil telak mengiris luka baru disamping luka lama yang belum terobati.

_♥♥♥_

Lupakan sejenak masalah sepatu Rere yang basah, atau perkataan pedas Mey. Setelah curhat sebentar dengan Ais, aku merasa mood lebih baik. Ia telah datang padaku, dan dengan sukarela membesarkan hatiku.

Aku tahu, dibalik setetes air mata, akan ada ratusan senyum yang siap menggantikan. Seperti malam ini. Dengan senyum mengembang aku duduk diantara Oca dan Fathin menimati keseruan acara pentas seni pondok yang diadakan rutin menjelang liburan semester. Tanya Ais dimana? Ia sedang bersama salah satu kakak kelas. Ada urusan katanya.

Suasana mendadak menjadi riuh sorakan dan tepuk tangan saat grup banjari ikhwan maju ke atas panggung.

"Eh lihat deh ada personil baru."

"Iya, vokalisnya nambah."

"Kayaknya itu bukan angkatan kita."

"Apa adek kelas ya?."

Itulah percakapan yang kudengar dari segerombol kakak kelas yang duduk di sebelah kami.

Karena penasaran, aku sedikit menaikkan kepala, berusaha melihat ke atas panggung.

Hmm, kalau menurut pendapatku sih vokalis baru itu memang agak tampan. Agak sih. Tapi bukan tipeku. Hanya saja aku sedikit tercengang ketika mendengar suaranya saat bernyanyi. Eh maksudnya bersholawat.

Syahdu dan menggetarkan hati.

"Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Begitulah vokalis baru itu menutup performance grupnya. Dan langsung disambut dengan jawaban salam yang... ugh! Sedikit berlebihan.

"Bakalan ada new most wanted nih di angkatan kita." Celetuk Fathin tiba-tiba.

Apa yang dikatakan Fathin ada benarnya juga, selama perjalanan pulang dari pentas seni, aku tak sengaja mendengar beberapa perkataan dari orang-orang.

"Masyallah udah ganteng, suaranya merdu pula."

"Siapa tadi namanya?."

"Afiq."

_♥♥♥_

Shubuh ini, terlihat ratusan senyum yang terukir di bibir para santri. Sebab hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu selama enam bulan terakhir. Dimana kami diperbolehkan untuk berlibur, pulang ke rumah masing-masing.

Begitu pula yang terjadi pada diriku. Dari bangun tidur hingga sekarang, senyumku tak pernah pudar. Setelah sholat shubuh berjama'ah, aku kembali ke kamar dan melanjutkan mengemasi barang-barang.

Saat aku sedang packing, ternyata anak kamar malah nge-gosip. Padahal masih ada beberapa barang yang belum mereka bereskan.

"Kalau aku sih lebih tertarik sama mas-mas yang baca al-qur'an daripada vokalis banjari itu." Suara Fathin terdengar mendominasi.

Oca, Rajwa dan Hulya mengangguk bersama.

"Mas itu kemarin juga menang pas OMSI loh." Hulya menambahkan.

"Uwaww!" Rajwa berdecak kagum.

Oh sepertinya aku sudah dapat menebak alur pembicaraan mereka.

"Namanya itu kalau gak salah... ad-ad siapa?."

"Mas adskhan." Satu detik berikutnya semua kepala itu menoleh padaku, sebagai sumber suara.

"Kok-kok antum tahu?." 

LENTERA RINDU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang