"Kini aku dapat menerima lebih banyak senyum kebahagiaan, yang dulu hanya dapat kau berikan."
_♥♥♥_
"Tuh liat deh." Azura menggoyangkan bahuku sedikit kasar. Memaksaku untuk menoleh kearah dua ikhwan tadi.
"Hish ana mah gak kenal sama mereka." Komentarku setelah melihat mereka untuk kedua kalinya.
"Yahh ana kira antum kenal. Kok pandangan mereka aneh sih. Yang satunya senyum-senyum gak jelas pula. Ana jadi curpen."
"Curpen?."
"Curiga penasaran hwehe."
Aku hanya bisa mengernyitkan dahi. Merasa aneh dengan sikap Azura. Kalau aku yang dilihatin kenapa dia yang heboh?
_♥♥♥_
Usai mendapat obat dan sedikit wejangan dari dokter kami pun segera kembali ke asrama.
"Eh eh jangan masuk dulu. Ana bosen kalau di dalam asrama. Pengap." Azura mencekal tanganku.
"Terus? Maunya gimana?."
"Ih antum gak peka deh. Ya kita duduk-duduk dulu kek di taman. Toh juga hari ini kita udah izin solob kan." Kata Azura dengan nada sok kesalnya.
"Solob? Apaan lagi tuh?."
"Ya ampyun na, antum yang kudet apa ana yang terlalu updet?." Kini aku melihat sisi lain dari diri Azura. Ternyata dia bisa alay juga. Kukira hanya seorang gadis pendiam.
"Solob itu bolos."
Aku ber-oh sebentar lalu tertawa.
"Mana ada bolos kok izin?." Celetukku kemudian.
"Tau ah! Ngomong sama antum mbuleti." Ia pun melangkahkan kakinya dengan setengah dihentak-hentakkan ke bumi. Biar rasa kesalnya terserap oleh tanah kali ya. Wkwk. Aku pun mengikuti langkahnya menuju taman pondok. Alhamdulillah rasa sakitku perlahan memudar.
"Masih marah ra?."
"Enggak. Siapa juga yang marah."
"Katanya gak marah tapi bibirnya maju gitu."
"Ihhh ana gak marah kok! Cuma sebel aja!"
"Iyadah terserah antum." Aku pun akhirnya mengalah dan duduk di tepi sungai. Gemiricik air dan desiran angin yang menembus dedaunan memainkan melodi kedamaian. Aku merasakan tubuhku menjadi rileks. Sungai di taman ini jernih airnya karena masih asri dan tidak tersentuh oleh sesuatu yang kotor. Tidak seperti di kota.
Dan di sungai inilah air mataku pernah larut di dalamnya bersama dengan semua kepedihan.
Mungkin suatu saat nanti aku akan merindukan sungai ini.
"Ekhem, ana boleh duduk disini?." Kulihat kini di sampingku telah berdiri seseorang dengan wajah absurd nya. Antara kikuk dan menahan malu.
"Duduk aja." Aku membalas dengan senyuman.
"Ana heran kenapa banyak yang bilang kalau kita itu mirip ya na? padahal menurut ana kita gak ada mirip-miripnya. Wajah kita aja beda apalagi sifat dan sikapnya." Azura membuka topik percakapan.
"Iya ana juga berfikir kayak gitu. Kenapa ya?."
"Hm, coba kita sebutin makanan favorit kita secara bersamaan."
"Satu...dua...tiga."
"Bakso."
"Bakso."
"Eh sama." Kataku terperangah.
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA RINDU
EspiritualSebuah kisah tentang pijar rindu dalam lentera kenangan. Bermula dari setetes kesederhanaan yang terpilin menjadi sebuah keajaiban. Memancarkan cahaya indah yang melekat diantara ruang kalbu. Merengkuh jiwa, membimbing raga menuju asa. Gemerlap tera...