"The voice that can divert my world."
_♥♥♥_
Liburan telah usai, dan kini aku telah kembali ke penjara suci. Hari ini pondok terlihat ramai sekali, bahkan lapangan parkir pun tidak dapat menampung ratusan kendaraan para santri. Udara yang panas menambah lengkapnya kesumpekan suasana pondok siang ini.
Berhubung orang tuaku tidak bisa mengantarku kembali ke pondok karena harus menghadiri suatu acara, maka aku berangkatnya bareng mas Adskhan. Ohya aku belum sempat menjelaskan ya tentang hal yang satu ini.
Abizard Adskhan. Sosok sepupu dengan paras di atas rata-rata. Pantas saja aku tak heran apabila ia memiliki banyak penggemar. Termasuk salah satunya adalah Zeva. Tak hanya top soal penampilan, tapi dalam hal lain ia juga berbakat. Ada beberapa orang yang bilang bahwa saat kami sedang tersenyum maka akan nampak seperti anak kembar, banyak juga yang mengira bahwa kami adalah adik kakak.
Padahal hanyalah sebatas sepupu.
_♥♥♥_
Aku menutup buku diaryku perlahan, dan mengusap bagian sampulnya. Aku telah menulis beberapa target yang harus kucapai untuk semester kedua-ku. Pokoknya aku harus jadi lebih baik lagi di semester ini, entah dalam hal apapun itu.
Sedikit cerita, alhamdulillah akhirnya saat rapotan akhir semester kemarin aku berhasil menduduki peringkat ke 6 di kelas. Ya Allah rasanya tuh warbyazah banget. Kalimat syukur tak henti kupanjatkan kepada-Nya.
Setelah dirasa cukup menuliskan beberapa kata dalam buku diary biru milikku, kini aku beranjak turun dari kasur dan berjalan menuju halaman belakang untuk mengambil wudhu.
Betul kata orang, dini hari adalah waktu yang paling nikmat. Udaranya masih bersih tak terkontaminasi oleh gas-gas pencemar, sejuknya merasuk hingga ke dalam sumsum tulang, dan mengalir perlahan menjernihkan pikiran. Saat-saat ini adalah waktu favoritku. Dimana lebih dari setengah penduduk bumi sedang terlelap, dan hanya sunyi yang hadir menemani.
Inilah waktu dimana Allah mencurahkan perhatian yang lebih kepada hamba-hamba yang sedang bersimpuh kepada-Nya. Mendengarkan semua keluh kesah hamba-Nya, lalu memberikan jalan keluar. Merangkul erat hamba-Nya, dan mengabulkan semua pintanya. Kalau dipikir-pikir, kurang apa sih sebenarnya kita?
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tak henti-henti nya melimpahkan kasih sayang walau terkadang kita lalai untuk berterimakasih kepada-Nya. Ia tak segan-segan membuka luas pintu taubat walau terkadang kita sering mengabaikannya. Dia yang selalu memberikan kita kebahagiaan setelah kesedihan yang bahkan mungkin jarang bagi kita untuk menyadari bahwa semua terjadi atas skenario terhebat yang pernah ada.
_♥♥♥_
Aku menyelipkan jepitan sandal di sela jari kakiku, dan membawanya ke tempat wudhu di halaman belakang kamar. Setelah melaksanakan sholat malam dan menulis buku diary, aku berniat untuk memperbaharui wudhuku.
"Ambil wudhu sekarang aja deh. Beberapa menit lagi udah adzan shubuh."
Saat tangan kananku memutar keran air, dan saat tetesan pertama jatuh mengenai paving halaman belakang, adzan shubuh berkumandang.
"Allahu Akbar Allahu Akbar."
Aku mulai membasuh kedua telapak tangan.
"Allahu Akbar Allahu Akbar."
Gerakan tanganku mendadak terhenti di luar kesadaran. Refleks.
"Asyhadu Allaa Ilaaha Illallaah."
Bak anak panah yang menancap pada sasaran, sekujur tubuhku mematung. Tak kuhiraukan lagi tetes-tetes air yang menghantam paving secara cuma-cuma
"Asyhadu Allaa Ilaaha Illallaah."
Otakku bekerja keras mencari sekeping memori yang tersembunyi.
"Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah."
Su-suara ini..
"Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah."
Aku pernah mendengar sebelumnya.
"Hayya 'Alash Shalaah."
Suara ini mengingatkanku pada suatu malam yang dingin, namun terasa hangat bagiku.
"Hayya 'Alash Shalaah."
Ya aku yakin sekali suara ini adalah suara yang sama dengan suara malam itu.
"Hayya 'Alal Falaah."
Sebuah suara yang dapat menggetarkan hatiku saat pertama kali mendengarnya. Yang mungkin akan selalu membuat hati ini bergetar untuk kedua kali dan seterusnya.
"Hayya 'Alal Falaah."
Seluruh tubuhku masih kaku, layaknya petir yang menyambar sesuatu dan mengalirkan listrik, sengatannya terasa hingga sendi-sendi tubuhku.
"Ash-shalaatu khairum minan-nauum."
Detik ini aku hanya terfokus oleh satu hal.
"Ash-shalaatu khairum minan-nauum."
Kemudian terbayang dalam memoriku akan sosok wajah berbiji mata coklat hazelnut.
"Allahu Akbar Allahu Akbar."
Adzan shubuh ini dan ayat ke-23 surat Al-Waqiah dilantunkan merdu oleh sesorang yang pernah menjatuhkan buku bacaanku hingga tertelungkup di dasar bus. Entah kenapa rasanya bahagia sekali mendengarnya.
"Laa Ilaaha Illallaah."
Tepat berakhirnya kalimat terakhir dari adzan shubuh ini, aku pun tersadar dari lamunanku oleh teriakan Rajwa.
"Astaghfirullahaladzim na, antum ngapain diem kayak patung disitu? Mana dari tadi air keran ngalir terus. Mubadzir kan jadinya." Ia hanya bisa menggelengkan kepala, terheran-heran.
_♥♥♥_
Ini adalah hari pertama sekolah di semester genap, dan suatu hal yang benar-benar kusesali adalah mendengar adzan shubuh pagi ini. Pada jam-jam berikutnya, lantunan adzan itu selalu hadir dalam benakku, menggema terus, dan memecahkan konsentrasiku. Ya Allah aku ini sebenarnya kenapa sih?
Tadi pagi kami sarapan dengan nasi dan semangkuk sop serta ayam, dengan percaya diri aku menyendok kuah sop. Oh ralat. Bukan menyendok tetapi menggarpu. Aku yang seharusnya mengambil sendok malah mengambil garpu. Dan aku baru menyadarinya saat ocehan Fathin menampar telingaku.
"Wah wah wah. Liat deh guys, ada yang lagi makan sop pake garpu nih. Haha. Patut dicoba."
Jadilah aku bahan tertawaan anak sekamar. Ah! Sebegitukah dahsyat efek dari adzan shubuh itu? Aku tak habis pikir.
Ada satu kejadian lagi pagi ini yang membuat mood ku menjadi buruk. Ceritanya waktu itu sedang berlangsung pembelajaran fisika, nah kebetulan aku duduk tepat di belakang kursi Mey. Saat mencatat rumus tiba-tiba Mey bilang
"Eh rek ada yang punya stipo kertas gak? Ana pinjem dong."
Karena aku punya stipo kertas, maka terulurlah tanganku pada Mey. Dan apakah kalian tahu reaksi apa yang ia tunjukkan? Aku tahu sebenarnya ia hanya pura-pura tidak melihatku tapi aku diam saja. Dan ia malah mengambil stipo kertas milik Puput. Padahal jarak antara mejanya dan meja Puput terbilang tidak dekat.
Satu pertanyaan besar muncul di kepalaku. Seperti itu kah sikap yang harus dilakukan pada mantan sahabat? Atau jangan-jangan diriku di mata Mey bukan lagi sebagai mantan sahabat tetapi sebagai musuh?
Astaghfirullah, maafkan hamba yang sudah su'udzon kepada teman seiman hamba sendiri. Semoga kelak Allah membeberkan semuanya dan kami dapat kembali seperti sedia kala.
"Sabar ya na, jangan diambil hati. Berbaik sangka aja, mungkin dia tadi nggak lihat antum." Ais menarik kembali tanganku yang masih menyodorkan stipo kertas pada Mey.
Terlalu perih untuk berkata, hingga menyunggingkan senyum saja beratnya minta ampun.
Mau sampai kapan kita akan terus seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA RINDU
SpiritualSebuah kisah tentang pijar rindu dalam lentera kenangan. Bermula dari setetes kesederhanaan yang terpilin menjadi sebuah keajaiban. Memancarkan cahaya indah yang melekat diantara ruang kalbu. Merengkuh jiwa, membimbing raga menuju asa. Gemerlap tera...