12

113 30 24
                                    

"Sebuah pertemuan yang terencanakan dan telah tertulis di lauhil mahfudz jauh-jauh hari sebelum dunia bernafas."

_♥♥♥_

"Antum duduk di baris kelima dari depan, dekat jendela. Nanti teman sebaris antum Hulya dan Zeva. And then di kursinya udah tertempel nama masing-masing kok. Jadi gampang nyari nya." Kak Avi memberiku arahan mengenai denah letak tempat duduk di bus.

Alhamdulillah hari ini adalah hari keberangkatan menuju kota hujan untuk menjalani babak final OMSI. Jarak antara kota angin dan kota hujan amatlah jauh. Maka kami melakukan perjalanan dengan mengendarai bus.

Aku berjalan menyusuri lorong sempit bus. Dan mencoba mencari tempat dudukku.

"Satu... dua... tiga... empat... lima... dekat jendela."

Aku telah menemukan kursi yang di maksud oleh kak Avi. Baris kelima dekat jendela. Kufokuskan penglihatan untuk menge-check apakah benar ini adalah tempat dudukku.

"Loh kenapa nama yang tertulis di kursi ini bukan namaku?."

Keherananku terjawab kala seseorang berbisik padaku.

"Sstt na. Antum ngapain disitu? Tempat antum disini, samping ana. Cepet kesini gih. Banyak ikhwan di belakang antum mau duduk."

"Madza (apa)?."

Aku memutar kepala seratus delapan puluh derajat. Sungguh kaget bukan kelapang (eh kepalang) saat aku menoleh dan mendapati beberapa pasang mata memandangku dengan tatapan bingung.

Apalagi sesorang yang terdepan dan paling dekat dengan posisiku. Ia memiliki sepasang manik mata yang amat indah dengan warna coklat hazelnut. Sempat menyihirku beberapa saat.

Sepersekian detik setelahnya aku langsung pergi menuju tempat duduk asliku. Di samping Hulya.

"Ya Allah hulya. Ana malu bangetttt."

Hulya menutup mulutnya dengan telapak tangan. Berusaha menyembunyikan tawanya. Tapi tetap saja terlihat.

"Kenapa bisa gitu sih na?." Hulya masih melanjutkan tawanya.

"Ish tadi kak Avi bilang kalau tempat dudukku baris kelima. Eh ternyata salah. Harusnya keenam." Sesalku menanggung malu.

"Haha maklum aja deh kak Avi sering salah ngitung kalo lagi bingung."

Aku hanya berdecak pelan.

_♥♥♥_

Salah satu jurus yang paling ampuh untuk melelehkan rasa sebalku adalah dengan membaca buku. Ya dan kini aku sedang mencobanya. Kulihat matahari di balik kaca jendela mulai tergelincir menandakan saat yang tepat untuk tidur siang. Suasana bus nampak sepi. Sepertinya mayoritas penghuni nya sudah terlelap.

Tapi tidak denganku. Aku masih tenggelam dalam segarnya lautan kata.

"Brugh!."

Buku ku tiba-tiba terjatuh ke bawah. Tertelungkup di dasar bus. Aku segera mengambilnya dan mencari sumber penyebabnya.

Oh rupanya dia. Sang penghuni kursi depanku. Kebetulan kursiku adalah perbatasan antara kursi akhwat dan ikhwan. Jadi sudah pasti kursi di depanku di duduki oleh ikhwan. Dan aku tahu siapa dia.

"Dasar nyebelin! Awas aja ya nanti." Gerutuku pelan tetapi berhasil membangunkan Hulya yang hampir terlelap.

"Ada apa lagi sih na?."

"Ini nih penghuni depan yang seenaknya sendiri nurunin sandaran kursinya ke belakang. Mana tempat ana jadi lebih sempit, terus buku ana terjatuh pula gara-gara dia." Aku mengomel sendiri.

LENTERA RINDU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang