"Aku merasakannya. Atmosfer yang berbeda saat kali pertama kita berjumpa."
_♥♥♥_
"Masyaallah na bangun!!! Lihat udah jam berapa ini?!?!? Kalau sampai nanti dihukum baru tahu rasa!!!."
Gadis dengan suara bak toa itu membangunkanku. Tidak. Lebih tepatnya suara itu mencekikku. Aku heran bisa-bisanya aku punya teman macam dia.
Makhluk langka yang punya kelebihan suara.
Mungkin jika sekali saja ia berteriak maka akan terdengar hingga radius 500 meter. Mungkin saja, siapa tahu. Dan bayangkan saja bagaimana rasanya apabila suara itu menghantam telinga dalam jarak kurang dari satu meter. Untung saja gendang telinga ku masih kokoh menahannya.
Hari ini aku bangun kesiangan. Lagi. Memang benar akibat insomnia. Tadi malam, setiap aku ingin memejamkan mata, kenangan itu terus berputar layaknya jarum jam yang tak pernah lelah berdetak. Sungguh ingin kubuang jauh-jauh kenangan sore itu. Bahkan kalau perlu hingga ke black hole sekalipun. Ah! Sudahlah jangan membahas itu lagi. Bisa merusak pagiku yang sudah cukup berantakan ini.
_♥♥♥_
Pagi berlalu begitu cepat. Beruntung tadi aku tidak telat. Walau hanya selisih dua menit sebelum bel berbunyi. Siang berlalu dengan cepatnya, sore pun tak mau kalah. Hingga malam menyapa.
Malam ini ada pengumuman mengenai pembagian kelompok tahsin qur'an atau disebut juga dengan kelompok membaca al-qur'an. Pembagiannya berdasarkan kualitas bacaan santri yang telah dilihat dalam tes penerimaan santri baru beberapa bulan lalu.
Aku menyusuri papan pengumuman, mencari namaku dan nama Mey. Yass! Aku bersyukur akhirnya aku masuk di kelompok tingkat 5. Itu artinya tinggal selangkah lagi aku bisa masuk ke tingkat tertinggi/tahap akhir dan mendapatkan sertifikat tashih yang menyatakan sempurnanya kualitas bacaan dalam membaca al-qur'an.
Akan tetapi..
Mey tak sekelompok denganku. Ia masuk dalam kelompok tingkat 3. Tidak terlalu buruk. Baiklah mungkin kali ini aku berpisah dengan Mey dan harus berkenalan dengan beberapa kawan baru lagi. Aku memasuki ruangan yang menjadi tempat berkumpulnya kelompok tingkat 5.
Tidak banyak santri di dalamnya. Aku pun duduk di sembarang tempat. Tiba-tiba seorang santri mendekat dan duduk di bangku sebelahku. Tak menyapa. Hanya senyum manis yang diukirnya. Aku merasakannya, suatu atmosfer yang berbeda.
Lima menit berlalu. Dan kegiatan pembelajaran baca qur'an malam ini belum dimulai. Mungkin karena menunggu beberapa santri yang belum datang. Gadis di sampingku tetap diam. Tak mengeluarkan suara barang satu kata pun. Aku tak kuat dengan kecanggungan ini!
"Heum, sepertinya wajahmu tak asing bagiku. Apa kita sekelas?." Sapaku mengawali.
"Eh, iya iya kita sekelas kok." Jawabnya dengan suara yang teramat pelan.
"Boleh kenalan nggak?."
"Iya boleh, kenalkan namaku Aisya Fairuza. Panggil aja Ais." Katanya ramah dengan berbalut senyuman.
Setelah ngobrol-ngobrol singkat, akhirnya pembelajaran pun dimulai. Seorang guru atau ustadzah yang akan membimbing kami telah berdiri di bagian terdepan dari kelas itu. Heran. Ustadzah itu sepertinya.... Aku mengenalnya.
Dia Hulya!
Teman sekelas sekaligus teman sekamarku! Tapi bagaimana bisa dia akan menjadi ustadzah kami? Padahal di dalam kelompok ini juga terdapat kakak kelas.
Pertanyaanku pun terjawab dengan masuknya seorang ustadz pimpinan dalam bidang pengajaran al-qur'an.
"Assalamualaikum anak-anak. Jadi ini adalah kali pertama kalian dalam memulai pembelajaran al-qur'an pada tingkat 5. Dan perkenalkan di depan kalian adalah ustadzah Hulya yang akan membantu dalam proses pembelajaran. Mungkin di benak kalian akan berfikir, loh ini kan adik kelasku? Teman sekelasku? Kok bisa jadi ustadzahku? Segera tampis jauh-jauh fikiran itu.
Ingat! Dalam menuntut ilmu tidak perlu memandang siapa yang mengajarkannya. Entah dia lebih tua dari kita, atau bahkan lebih muda! Semua guru itu sama. Mereka telah diberi Allah kelebihan maka wajib bagi kita untuk hormat dan patuh padanya. Sehingga ustadz berharap kalian bisa maksimal dalam belajar al-qur'an. Dan perlu kalian ketahui bahwa sosok di depan kalian ini adalah seorang hafidzah yang insyaallah telah hafal 30 juz."
Terdengar decakan kagum merayap dalam ruangan bercat oranye ini.
Pun begitu juga aku. Kagum sekaligus nggak nyangka. Ini akan menjadi sebuah pelajaran baru bagiku dan yang lainnya. Bahwa kita harus tetap hormat dan rendah hati kepada guru kita walau ia lebih muda sekalipun.
_♥♥♥_
Setelah selesai pembelajaran al-qur'an malam ini aku langsung kembali ke kamar. Ketika langkah kakiku hendak memasuki kamar, seseorang bersahut
"Hai teman sebelah kamar! Hehe."
Oh rupanya dia. Senyumnya mengembang. Masih sama seperti beberapa menit lalu. Ternyata dia tetangga sebelah.
"Hai juga!."
"Mau coklat?."
Ha? Apa? Aku nggak salah denger? Dia menawarkan coklat padaku? Sunnguh kejadian langka! Dia adalah orang pertama yang menawariku sebatang coklat di pondok ini.
"Udah nggak usah banyak mikir, aku tau kok kamu suka coklat. Nih ambil aja."
Seolah ia mengerti jalan pikiranku.
"Ehehe tau aja. Makasih loh yaaa." Segera kuraih batangan itu. Rejeki nomplok! Karena sebelnya kemarin pas nyiapin bekal buat ke pondok, aku udah beli sekardus batangan dan permen coklat. Tapi nasib tak berpihak.
Coklat itu tertinggal di rumah atau sepertinya memang sengaja dibuat tertinggal. "udah gapapa na, itung-itung biar di pondok gak tambah gendut" hanya itu komentar dari ummi saat mengetahui coklatku tertinggal.
"Iya sama-sama. Anggap aja itu tanda pertemanan kita. Aku yakin kita akan saling mewarnai satu sama lain dalam sejarah perjalanan di pesantren ini."
"Iya. Aku juga sudah punya firasat akan hal itu Ai."
Kataku sembari tersenyum lebar.
_♥♥♥_
"Pagi ca!." Sapaku pada Oca yang masih terlihat murung.
"Pagi." Jawabnya datar.
"Ih flat banget sih! Senyum dikit napa!." Gerutuku sebal. Abis aku udah nyapa dengan riang eh responnya gitu.
Iya si Oca emang gitu. Tiap hari bawaannya galau mulu. Padahal nih kalo dihitung-hitung udah hampir seminggu mondok (ya walau kurang dua hari lagi sih, hehe).
Dan parahnya tiap tengah malam dia masih melakukan ritual yang sama. Menangis kayak kuntilanak yang kehilangan anak. Eh? Emangnya neng kunti punya anak? Tau ah!
Intinya dia masih berkutat pada kabut kesedihan. Oshh...
"Ayo gaes berangkat!." Suara bak toa itu kembali muncul. Itu sudah menjadi hal yang wajar tiap pagi. Ibarat bumbu tambahan penyedap sarapan. Ya, siapa lagi kalau bukan si ikan Patin ber-toa. Eh salah! Maksudku si Fathin. Wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA RINDU
SpirituálníSebuah kisah tentang pijar rindu dalam lentera kenangan. Bermula dari setetes kesederhanaan yang terpilin menjadi sebuah keajaiban. Memancarkan cahaya indah yang melekat diantara ruang kalbu. Merengkuh jiwa, membimbing raga menuju asa. Gemerlap tera...