"Allah makes everything happen for a reason."
_♥♥♥_
Jarum jam berlari begitu cepat. Tak terasa bulan pun berganti. Bulan ini kami tengah menjalankan ujian tengah semester. Yakni menjadi ujian pertamaku tanpa dampingan orang tua. Tentu saja aku belajar dengan sungguh-sungguh sama halnya dengan santri lainnya. Hanya saja ujian ini terasa amat berbeda.
Karena aku harus menjalankan ujian double dalam sehari.
Bukan dua mata pelajaran yang kumaksud. Melainkan dua ujian yang berlatarbelakang berbeda. Pada pagi harinya kami diuji dengan bermacam soal logika berbahasa Indonesia dan Inggris, lalu pada sore harinya kami diuji kembali dengan sejumlah soal agama berbahasa Arab.
Dapatkah kalian bayangkan bagaimana kondisi otak kami?
Ya lebih kurang seperti itu.
Dan apakah kalian tahu hasil nilai dari setumpuk ujianku? Tidak memuaskan. Bagaimana bisa aku menjadi rangking ke 12 dari 33 siswa pada pelajaran akademik dan menjadi rangking ke 13 dari 33 siswa dalam pelajaran pondok.
Padahal dalam sejarah pendidikanku selama ini aku tak pernah keluar dari 5 besar.
Aku takkan mampu menggambarkan perasaanku yang sudah terlampau batas ini kepada kalian.
_♥♥♥_
Sudah sekitar dua puluh menit aku menangis di tepi sungai samping pondok. Entah sudah berapa liter air yang tumpah. Tidak ada yang tahu karena para santri sedang sibuk menghabiskan bonus waktu pengambilan hp dan laptop. Mengapa aku tidak menggunakan bonus waktu itu?
Sebab aku tak sanggup untuk menceritakan hal pahit itu pada keluargaku.
Semakin lama aku berbincang dengan keluarga maka semakin dalam pula penyesalan ini.
Beberapa detik kemudian kudengar suara semak-semak yang bergoyang. Aku menduga akan ada seseorang yang datang menghampiriku. Dengan gesit aku menghapus jejak air mataku walau nampaknya itu sia-sia karena mata dan hidungku tak dapat berbohong.
"Antum ngapain dek disini? Bahaya loh gadis cantik sendirian di tepi sungai gini. Mana keadaannya sepi lagi."
Ah itu kak Avi! Lidahku kelu untuk menjawab pertanyaan itu. Hanya menggores segaris senyum
"Lagi ada masalah apa dek? Antum bisa cerita ke ana. Mungkin dengan begitu beban masalah yang ada di pundak antum dapat berkurang."
Kak Avi pun duduk di sampingku. Menatapku dengan senyum khasnya. Senyum terindah pertama yang kulihat di pondok ini.
Ia tetap tak bergeming di tempatnya. Seperti menungguku untuk mengeluarkan sepatah kata.
"A..ana pingin pulang." Akhirnya aku berkata walau diselingi sesenggukan isak tangis dan terdengar amat lirih.
"Ahh biar ana tebak, antum nggak betah ya mondok disini?."
Aku mengangguk samar.
"Kenapa dek?."
"Sejak jauh dari orang tua... hidup ana menjadi tidak teratur. Tidur ana tidak nyenyak, makan tidak enak, apa-apa harus antri, bahkan terhitung dengan jari ana mencuci baju sendiri sisanya ana taruh di laundry. Belum lagi masalah yang datang bertubi-tubi."
Aku belum menyelesaikan paragrafku dan air mataku terlanjur jatuh kembali. Aku tak kuasa menghadangnya. Kak Avi tidak menyangkal kalimatku melainkan menepuk nepuk pelan pundakku seraya menyuntikkan kekuatan padaku untuk melanjutkan cerita.
"Persahabatan ana hancur ukh. Sahabat kecil ana yang sudah ana kenal lebih lama daripada siapapun di pondok ini telah meninggalkan ana tanpa suatu kejelasan. Ana tahu ini salah paham. Tapi ana belum menemukan jalan keluarnya. Belum lagi masalah nilai raport ana yang turun drastis daripada biasanya. Semuanya menjadi berantakan. Rasanya ana pingin pulang saja dan tak ingin kembali ke tempat ini lagi."
Kak Avi hanya memanggut-manggut pelan. Menunggu suasana hatiku lebih tenang.
"Yang antum rasakan saat ini sama persis seperti apa yang ana rasakan lima tahun silam. Tanpa perlu antum jelaskan lebih dalam lagi ana sudah faham kok seluk beluk kekecewaan dalam hati antum."
Aku sedikit terkejut.
"Dek.. kecewa, sedih, marah itu boleh. Memang wajar setiap insan merasakannya. Karena itu fitrah. Tapi ingatlah kembali tujuan kita diciptakan. Pertanyaannya adalah dapatkah kita mencapai tujuan dan cita-cita kita sedangkan kita masih menikmati buaian kesedihan?
Allah tidak akan menciptakan dunia seluas ini hanya untuk membuat kita berlarut-larut dalam kesedihan dek. Rasa sedih ada sebagai bumbu racik dalam kehidupan kita. Agar kita tahu bagaimana nikmatnya bahagia.
Mungkin pada awalnya pilihan antum mondok menjadi sesuatu yang benar-benar antum benci. Tapi sekali lagi ana ingatkan. Masih ingat kan Qs. Al-Baqarah:216. Bahwa sesuatu yang kita benci belum tentu terlihat buruk di mata Allah.
Tidak ada secuil kejadian di dunia ini yang tidak membawa hikmah di dalamnya. Tugas kita hanyalah menggali hikmah itu dan menjadikannya senjata dalam menghadapi rintangan berikutnya.
Maka bersabarlah dan terus berusaha untuk menggali sedalam-dalamnya. Kelak antum akan mengetahui seberapa indahnya rencana Allah. Yakinlah bahwa Allah telah menapakkan jejak kaki antum untuk mengkaji ilmu di pondok ini agar antum dapat menyaksikan sendiri bukti kasih sayang-Nya."
Sungguh aku tak dapat berkata-kata apapun lagi. Air mataku sempurna mengering tergantikan oleh semburat senyum. Hatiku mendadak menjadi sejuk laksana sungai yang kembali terisi penuh oleh air setelah sekian lama melalui musim kemarau panjang.
_♥♥♥_
"Antum kenapa na? Kok dari tadi senyum-senyum sendiri tapi bermandikan jejak air mata."
Oca menodongku dengan puisi dadakannya.
"Ya kali mandi air mata." Cibir Fathin acuh tak acuh.
"Yeee siapa juga yang ngajak omong situ? Nyambung wae padahal disini susah sinyal."
Aku hanya tertawa kecil melihat tingkah laku mereka. Ya dan kini aku telah berhasil mengembalikan senyumku yang sempat hilang beberapa waktu ini.
Kak Avi telah berhasil menyulut kembali api semangat dalam ragaku. Aku sangat bersyukur karena Allah telah mempertemukanku dengan sosok sepertinya. Dan semoga begitu seterusnya.
"Eh eh kalian udah pada lihat belum pengumuman peserta yang lolos babak final OMSI? Mading sekolah udah penuh tuh sama rayapan ganas anak-anak."
Tiba-tiba saja Hulya masuk dalam kamar dengan nafas terengah-engah. Seperti maling yang hampir tertangkap polisi saja.
Tanpa menunggu aba-aba semua manusia yang ada di kamarku keluar dan bergegas untuk memenuhi mading sekolah. Hanya tersisa aku dan Hulya. Saat aku hendak melangkah keluar kamar, tangan Hulya mencekalku. Sorot matanya seakan mengatakan "Antum ngapain ikutan keluar?."
"Ana mau lihat-"
Ia memelukku. Bahkan aku belum menyelesaikan kalimatku. Heran. Tapi aku merasakan adanya aura kebahagiaan dalam diri Hulya.
"Alhamdulillah kita berdua lolos ke babak final na."
Kata tahmid tak henti-hentinya menggema dalam hatiku.
Inikah secarik hikmah yang telah dapat kugali dari berjuta hikmah lainnya?
Atau inikah sepotong bukti kasih sayangNya kepada hamba yang hampir berputus asa?
Ah! Pepatah itu memang benar.
Memang Allah tidak menjanjikan langit selalu biru, bunga selalu mekar, dan mentari selalu bersinar. Tapi Ia memberi pelangi di setiap badai, senyum di setiap air mata, hikmah di setiap cobaan, dan jawaban di setiap doa.
KAMU SEDANG MEMBACA
LENTERA RINDU
SpiritualSebuah kisah tentang pijar rindu dalam lentera kenangan. Bermula dari setetes kesederhanaan yang terpilin menjadi sebuah keajaiban. Memancarkan cahaya indah yang melekat diantara ruang kalbu. Merengkuh jiwa, membimbing raga menuju asa. Gemerlap tera...