18

120 11 6
                                    

"Akulah yang melempar boomerang itu tanpa berfikir panjang apa yang akan terjadi selanjutnya."

_♥♥♥_

"Terus apa masalahnya kalau dia famous?." Kening Oca berkerut.

"Yaa nggak suka aja, orang famous biasanya banyak yang nge-fans. Jadi yaa banyak saingannya gitu. Hehe." Aku menyeringai sok polos.

"Duh ngomong apaan sih aku!." Umpatku dalam hati.

Oca sempat diam beberapa detik, lalu kemudian berkata "Oh.. paham paham ana paham."

"Aish udahlah ana gak mau bahas topik ini lebih lanjut. Yuk dah buruan masuk kamar, kena omelan Fathin mampus dah kita nggak bisa tidur nyenyak."

_♥♥♥_

"Satu, dua, em.."

"Tiga."

Karena merasa kalimatnya dipotong oleh seseorang, ia menoleh padaku.

"Antum gimana tho qila, habis dua itu ya tiga. Bukan empat." Aku beranjak duduk disampingnya.

Syaqila tidak meresponku, malah tersenyum sambil memandangi buku agenda yang berada di tangannya.

"Hey! Antum gak papa? Kok senyum-senyum sendiri sih? Ana jadi takut." Aku jadi teringat beberapa waktu lalu ia sempat menggodaku seperti ini.

"Eonni kira ana sakit jiwa apa? Ya enggaklah. Ini loh ana lagi nge-hitung kurang berapa hari lagi kita pulang. Eh nggak terasa tinggal tiga hari lagi." Katanya riang lalu memeluk buku agenda miliknya.

Aku hanya ber-Oh panjang.

"Oh iya ngomong-ngomong ana lihat Hulya dari kemarin sibuk beres-beres bawa koper sana-sini. Emang ada apa?." Ia membuka topik baru.

Wajahku kemudian menunduk lesu, mengingat kembali perkataannya malam itu.

"Oke Hul, ana akan memantaskan diri untuk menjadi yang terpilih sebagai penjaga kalam-Nya, menjadi seorang Hafidzah Qur'an." Tanganku terkepal di udara.

"Iya na, sama. Ana juga akan bersungguh-sungguh untuk menjadi pantas sebagai penjaga kalam-Nya. Insyaallah dengan niat yang ikhlas dan tekad yang kuat Allah akan memudahkan jalan kita untuk meraih impian mulia ini."

"Aamiin ya rabbal 'alamin."

Menit selanjutnya kami hanya saling berbalas senyum. Tapi lama-kelamaan kulihat senyum Hulya kian memudar dan aura sedih mulai nampak di wajahnya.

"Edelina." Panggilnya dengan nada yang sangat lemah lembut.

"Ya?."

"Sepertinya ini adalah malam terakhir bagi kita untuk saling menyimak hafalan di pondok ini." Matanya mulai berkaca-kaca.

"Ke-kenapa Hul?." Sungguh perasaanku mulai nggak enak.

"Alhamdulillah ana dapat beasiswa ke Cordoba untuk belajar 'ulumul qur'an lebih dalam. Tapi itu berarti ana akan berpisah dengan antum dalam waktu yang tidak sebentar."

Setelah sepotong kalimat itu selesai, meneteslah bulir-bulir air dari kelopak mata kami. Selama beberapa saat hanya isak tangis yang terdengar.

"Alham-dulillah. Kabar baik dong Hul. Harusnya antum bersyukur, jangan nangis kayak gini." Kudekatkan posisi dudukku dengannya lalu meraih bahunya dan menepuknya tanpa tenaga.

Ya. Aku menyuruhnya agar tak menangis tapi apalah daya aku juga hanyut dalam tangisan. Memang sebuah kabar baik, tapi mengapa terasa perih di bagian hati yang lain?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 17, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LENTERA RINDU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang