9

130 48 5
                                    

"Kaca itu telah pecah. Dan aku hanya bisa berharap keajaiban agar kaca itu kembali utuh."

_♥♥♥_

Sesampainya di kelas...

"Ekhem. Kayaknya ada orang nih yang dicari kemana-mana tapi nggak ngerasa. Udah gitu gak nyari balik pula."

Aku menoleh, dan kudapati seseorang berdiri di ambang pintu kelas.

"Mey?."

"Iya ini aku. Kenapa? Kok kaget gitu? Kayak lihat zombie bangkit dari kubur aja." Cerocos Mey dengan judesnya. Belum pernah kulihat ia seperti ini.

Aku pun memberhentikan aktifitas menyapu kelasku pagi ini.

"Ah. Enggak kok Mey. Tapi aku mau jelasin ke kamu kalau sebenarnya kemarin itu-"

"Penjelasan apa lagi hah? Gak perlu dijelasin aku juga udah paham kok. Aku benar-benar kecewa sama kamu."

Ia memotong kalimatku. Bahkan nada bicaranya mulai meninggi.

"Ya Allah Mey tolong dengerin dulu penjelasanku. Apakah persahabatan yang telah kita bangun bertahun-tahun akan runtuh hanya karena kesalahpahaman sepele seperti ini?." Kurasakan mataku mulai memanas.

"Cih! Gausa sok dramatis gitu deh di depanku. Selama ini kamu yang mulai menjauh dariku dan perlahan tidak mengaggapku sebagai sahabatmu!." Kemarahan Mey mulai terlihat.

"Masyaallah bukan begitu Mey. Kamu pikir hanya kamu yang merasa seperti itu hah? Oke aku minta maaf kalau memang aku berbuat kesalahan yang tak kusengaja. Tapi tolong jangan seperti ini. Kita bisa bicara baik-baik dan menyelesaikan kesalahpahaman ini. Aku benar-benar benci permusuhan." Aku mengakhiri kalimatku dengan menggores senyuman kecil walau terasa amat menyakitkan.

Di ujung sana, Mey mengalihkan pandangannya.

"Aku juga-" Belum sempat Mey menyelesaikan teriakannya. Datanglah Faiza.

"A-ada apa ini? Kenapa kalian teriak-teriak di kelas? Masih pagi loh."

Lontaran pertanyaan itu berhasil menghentikan perang mulut kami di pagi yang masih menyisakan embun di balik dedaunan.

Mey tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung masuk kelas dan duduk di kursi paling belakang. Sekalipun bahkan ia tak menatapku.

"Sebenarnya ada apa sih?." Tanya Faiza padaku.

"Ehe gak ada apa-apa kok. Kan tadi aku lagi piket, terus tiba-tiba ada kecoak lewat. Jadiya kami teriak-teriak gak jelas gitu."

Ya aku berbohong. Dan menjadikan kecoak sebagai tumbal kesalahan. Entahlah apa reaksi Faiza nanti. Aku tak peduli. Kepalaku rasanya menjadi lebih berat dua kali lipat.

"Ohh.. emangnya kelas kita sekotor apa sih sampai ada kecoaknya."

Faiza pun mencari tempat duduk yang menurutnya nyaman. Ia masih heran dengan jawaban ngasalku tadi.

_♥♥♥_

Hari ini terasa lebih suram dari biasanya. Selama pelajaran berlangsung fokusku terpecah-belah. Ais yang duduk di sampingku terlihat gusar dengan kelakuanku hari ini.

"Are you okay na?." Tanya Ais memastikan.

"Yes, maybe" jawabku lirih.

Akhirnya waktu yang dinanti-nanti telah tiba. Yakni saat bel pulang sekolah berbunyi. Semua siswa sudah merapikan alat tulisnya masing-masing dan guru pengajar pelajaran terakhir telah meninggalkan kelas. Lalu kami pun berdoa.

Usai berdoa tiba-tiba Adzka maju ke depan kelas.

"Attention please."

Siswa yang tadinya sudah berdiri hendak pulang kembali ke tempat duduk semula.

Aku masih diam di tempatku. Setengah fikiranku kabur.

"Jadi disini aku mau ngumumin sesuatu. Dua minggu lagi akan diadakan lomba Olimpiade Matematika dan Studi Islam (OMSI) babak penyisihan tingkat kabupaten/kota. Nah barang siapa yang berminat ikut lomba silahkan daftar ke aku atau ke Puput. Terakhir pendaftarannya tiga hari lagi ya. Syukran perhatiannya."

Selang beberapa detik setelah Adzka mengakhiri kalimatnya terdengar suara lebah yang bersahutan.

"Mau daftar nggak na?." Tawar Ais padaku.

"Nggak tau ai aku masih bimbang."

"Kalau boleh saran nih, mending daftar aja dulu. Ya siapa tahu bisa jadi juara, atau syukur-syukur masuk final. Nggak ada salahnya mencoba kan? Buat nambah pengalaman juga loh." Kata Ais meyakinkan.

"Iya juga sih. Kalau kamu mau ikut?." Aku memanggut-manggut pelan dan kembali bertanya pada Ais.

"Insyaallah aku ikut."

_♥♥♥_

Hari akan terasa lebih panjang bagi orang yang sedang galau. Ya dan kini aku sedang merasakannya. Siang hari kupaksakan untuk tidur, tapi tetap saja tak bisa. Sore hari saat pelajaran pondok (diniyah) hanya jasadku yang hadir di majelis itu. Tapi tidak dengan jiwaku.

Hingga malamnya. Saat aku dan Ais masuk ke kelas baca qur'an tingkat 5 mendadak ada orang yang menyapaku.

"Eonni?."

Aku terperanjat.

"Syaqila?."

Orang yang kusapa balik malah tertawa.

"Oh ternyata kita satu kelompok ya. Kenapa baru hari ini aku menyadarinya." Kataku ramah.

"Hehe iya. Ini siapa? Temen deketnya eonni*?." Tanya Syaqila seraya menunjuk Ais.

*(kakak perempuan dalam Bahasa Korea)

Ya mau tak mau akhirnya aku menjadi pemandu acara perkenalan tak terduga ini.

Seusai pembelajaran qur'an, maka kami pun kemudian menunaikan sholat isya' berjamaah.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Salam kakak organtri setelah dzikir isya' selesai.

Lalu yang mendengar pun menjawab salam.

"Ukhti rahimakumullah, disini kakak minta waktunya sebentar ya. Karena ingin menyampaikan peraturan terbaru mengenai pembiasaan baik di pondok."

Kami menyimak dengan seksama. Kemudian kakak berlesung pipit itu melanjutkan.

"Jadi peraturan barunya adalah... pembiasaan penggunaan Bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari."

Mendadak seisi musholla menjadi riuh.

"Sebentar uhkti, kakak belum selesai bicara."

Perlahan keadaan dapat kembali seperti semula.

"Berhubung ini adalah peraturan baru, maka kosa kata Bahasa Arab yang wajib digunakan hanya beberapa saja. Sedikit demi sedikit tiap minggunya kita akan menambah kosa kata. Untuk awal kita menggunakan kata 'ana' untuk saya, 'antum' untuk kamu, dan 'ukhti' untuk kakak kelas atau yang lebih tua.

Peraturan ini berhukum Fardhu 'Ain. Maka barangsiapa yang tidak menjalankannya akan dikenai sanksi atau iqab. Ini semua dilakukan demi kebaikan kita semua. Karena sudah sepatutnya bagi seorang santri mahir dalam berbahasa Arab. Sekian pengumuman pada malam hari ini. Syukran katsir atas perhatiannya. Kakak akhiri. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

_♥♥♥_

Semua mata di kamar ini telah terpejam kecuali aku. Ya kalian pasti sudah paham hal apa yang menghalangiku untuk berlayar di pulau kapuk. Segala hal yang terjadi pada hari ini terasa amat mengganjal.

Setelah berfikir sejenak. Kuputuskan untuk mengambil puluhan helai kertas yang tersusun rapi. Aku mulai mengotori warna putihnya.

Perkenalkan ini hobiku. Bahkan sejak jumlah gigiku belum jangkap. Hanya dengan ini segala perasaanku dapat teruraikan. Walau hobi ini tak begitu istimewa namun ia sudah mendarah daging dalam diriku.

Sebuah hobi sederhana.    

LENTERA RINDU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang