7

134 52 7
                                    

"Dari sorot matanya, aku dapat merasakan hangatnya mentari dan sejuknya embun di pagi hari."

_♥♥♥_

"Aku janji akan berusaha sekuat yang kubisa untuk dapat mempersatukan kalian seperti dulu lagi."

Itulah tekad Ais yang masih terngiang di benakku. Aku bingung. Apa yang harus kulakukan untuk dapat mengembalikan semua pada sedia kala.

Ahad pagi ini tidak ada kegiatan yang terdaftar di list daily activity ku. Mau nya sih nyuci baju. Tapi sudah terlanjur aku serahkan pada petugas laundry. Jadilah aku hari ini pengangguran sampai dhuhur tiba. Karena kami baru boleh mengambil hp dan laptop setiap ahad dhuhur.

Pintu kamar tiba-tiba terketuk pelan.

"Masuk aja. Nggak dikunci." Seruku sepertiga berteriak.

"Nah kebetulan banget kamu disini. Ayo na berangkat. Aku mau bayar hutangku."

"Hutang?."

"Lupa ya? Yaudah aku anggap lunas loh."

"Ooohh aku inget. Hehe. Yuk cabut."

_♥♥♥_

"Hmm Fai. Sepertinya kita salah jalan deh. Harusnya kan belok kiri. Warungnya—"

Belum genap aku bicara. Faiza memotong

"Siapa bilang mau ke warung?."

"Loh bukannya kamu mau nraktir aku bakso disana?."

"Haha... iya memang aku mau traktir kamu, tapi bukan disana tempatnya."

Aku masih butuh beberapa detik untuk mencerna kalimat Fai.

"Gausah sok bingung deh na. kali ini aku ajak kamu makan bakso di tempat yang spesial. Habisnya aku bosen ngerasain bakso pondok. Rasanya gitu-gitu mulu. Kau tahu dalam kurun waktu hampir dua bulan aku sudah makan bakso di warung enam belas kali. Ugh! Bayangin aja betapa enegh nya diriku. Maka dari itu aku mau makan di luar. Eh kebetulan ada janji ke kamu. Yaudah deh sekalian."

Fai malah nyerocos panjang.

"Ke-keluar?."

Tanyaku dengan sedikit membelalakkan mata.

"Iyalah. Kenapa sih na? kok kayaknya kamu ogah-ogahan gitu? Padahal ya salah satu surga kecil bagi santri adalah bisa keluar dari area pondok. Eh kamunya malah aneh gitu." Jawab Fai dengan mengerutkan dahinya. Heran.

Bagaimana aku tidak ogah-ogahan. Setiap kaki ini hendak melangkah keluar dari gerbang. Kenangan itu kembali berputar. Rasa malu itu masih terasa hingga sekarang. Tapi tak mungkin juga aku ceritakan hal ini pada Fai. Bisa-bisa jadi bahan ledekan baru buatku. Cukup aku, Mey, dan Ais (serta Allah) yang tahu tentang ini.

"Halo? Kesambet apa mbak?."

Aku pun tersadar dari lamunanku.

"Hehe enggak kok. Saking senengnya aja bisa diajak keluar. Aku jadi ngelamun."

Kataku berbohong.

"Hmm yaudah yuk langsung aja. Kasihan kakakku nunggu lama di luar".

_♥♥♥_

Ya. Hari ini Fai sedang dijenguk oleh keluarganya. Lebih tepatnya kakak perempuan pertamanya. Dan untuk kedua kali nya aku melangkah keluar dari gerbang. Bisa kalian terka bagaimana perasaan dan tingkahku ketika keluar? Oh sungguh aku berusaha mati-matian untuk mengontrolnya. Aku hanya berjalan menunduk selama perjalanan hingga mencapai parkiran. Dalam hati aku berdoa agar tidak ada seorang pun yang mengenaliku. Apalagi mengingatku akan kejadian sore itu. "tenang na, itu sudah dua bulan yang lalu. Tidak akan ada orang yang masih mengingatnya" aku berusaha menenangkan diri sendiri. Walau kedua telapak tanganku tak berhenti bergetar.

Fyuhh

Aku menghembuskan nafas lega saat kami telah sampai di tempat parkiran pondok. Kami pun segera menghampiri kakak Fai yang tengah menunggu kami sedari tadi di dalam sedan putih.

"Oh, jadi ini dek temanmu yang jadi penyelamat saat kamu kekunci di kamar mandi? Wkwk." Perempuan beralis tebal itu terkekeh pelan.

Fai hanya meringis.

Jadi Fai sudah cerita semuanya? Batinku.

Kami pun saling berkenalan dan mengobrol hangat selama perjalanan. Tak dapat kupingkiri, suasana seperti ini dapat lebih mengakrabkanku dengan Fai. Rasanya menjadi lebih dekat dengan gadis berkacamata yang memiliki frame ungu itu. Ya gadis aneh yang pernah salah memanggil namaku.

Setelah sampai di tempat tujuan. Kami segera memesan bakso. Tempat yang dipilih Fai bisa dibilang menarik. Sepertinya ia sudah pernah kesini sebelumnya.

Dan kabar baiknya, bakso ini terasa begitu lezat. Bisa masuk daftar list warung bakso ter-enak nih. Ketika tiga mangkuk bakso kami telah tandas. Aku beranjak untuk mengambil botol minuman di lemari pendingin untuk melenyapkan rasa pedas di mulut.

Tepat saat tanganku meraih ganggang pintu lemari pendingin, dalam waktu bersamaan hadir pula sebuah tangan di atas tanganku. Refleks kami pun saling bersitatap.

Tiga detik terasa seakan menjadi lebih lama dari biasanya. Kami pun tersadar.

"Si-silahkan duluan." Kata sosok itu mempersilahkanku.

Aku pun mengambil tiga botol minuman dingin.

"Syukran." Jawabku lirih lalu segera bergegas mengambil langkah meninggalkan kotak lemari pendingin dan juga sosok itu.

_♥♥♥_

"Dadah kak Jihan! Makasih ya kak buat hari ini." Aku melemparkan senyum dan juga melambaiankan tangan saat saudara pertamanya Fai beranjak pergi meninggalkan pondok.

"Yuk na masuk. Udah kelewat dhuhur nih. Kita belum sholat dan belum ambil hp."

"Ayuk!."

Saat perjalanan pulangnya aku merasa lebih rileks ketika berjalan menuju gerbang asrama. Tidak se-grogi tadi.

"Ngomong-ngomong enak gak baksonya tadi?." Celetuk Fai tiba-tiba.

"Enak. Enak banget malah." Jawabku seraya mengangkat kedua ibu jari.

Fai pun tertawa pelan.

"Tadi kamu kepedesan banget ya?." Tebak Fai.

"Eh... ya nggak terlalu sih. Aku kan suka pedes." Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala pelan.

"Tapi kenapa tadi muka mu keliatan merah saat kembali dari lemari pendingin?." Selidik Fai.

"Oh iyakah? A-apa se-merah itu?." Aku pun berlagak berfikir keras. Untuk menyembunyikan kegugupanku.

_♥♥♥_

Usai menunaikan sholat dhuhur aku menyempatkan diri untuk membereskan kasur sebentar. Kemudian Oca datang menghampiriku.

"Mau minum dingin na? nih aku punya satu buat kamu."

Oca menyodorkan sebotol minuman dingin padaku.

Lantas terbesit kejadian saat di depan lemari pendingin itu.

Walau hanya tiga detik tapi aku sempat merekam wajahnya. Aku ingat betul garis wajahnya. Kulit putih dengan hidung mancung dan alis nyambung. Dan satu hal yang benar-benar membuatku tak dapat berkedip.

Iris matanya. Berwarna amber alias kuning atau keemasan, bahkan bisa dibilang nampak seperti warna tembaga. Sorot matanya begitu dalam.

"Na? mau nggak?."

"E-eh i-iya iya ma-mau. Ma-makasih ca."

LENTERA RINDU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang