BAB 5

2.6K 173 18
                                    

Empat puluh lima menit berlalu, Max dan Mil sudah tiba di dalam bioskop dengan dua tiket film yang sudah mereka beli tadi. Sekarang Max harus menepati janji nya untuk mengajak Mil menonton film Dilan 1990 bersama. Makanya, pulang dari sekolah mereka langsung pergi ke bioskop di suatu mall besar.

Mil memalingkan kepala nya ke sebelah kanan tempat ia berdiri. Terdapat sebuah mini bar yang menjual cemilan—sebagai teman untuk menonton film.

"Max, beli popcorn dulu yuk!" Mil bermaksud mengajak. Pandangannya sekarang berubah ke arah Max. "Sekalian beli minum juga."

"Bayar sendiri, tapi?"

Mil terkekeh pelan. "Gue kira lo yang ngajak gue nonton dan lo juga yang bakalan beliin popcorn."

"Rugi bandar, coy," dengus Max. "Ya udah, lo duduk di situ," Max menunjuk ke arah salah satu kursi kosong yang berada dekat dengan poster film Dilan 1990. "Biar gue yang beli."

Mil mengangguk, disusul oleh senyum manis khasnya—menandakan kalau dia lagi senang karena sesuatu. Begitu Max beranjak pergi menuju mini bar, Mil yang kemudian beranjak pergi menuju tempat duduk yang Max maksud, tadi.

Mil duduk di sana—sendirian. Diam-diam ia merasa senang. Dan karena rasa senang itulah dia terus tersenyum manis. Beberapa faktor yang bikin Mil senang hari ini adalah:

1. Proses pembelajaran ditiadakan.

2. Pulang sekolah lebih awal.

3. Max mengajaknya menonton film Dilan 1990 bersama.

4. Max membelikannya popcorn.

Mil tersenyum lega. Cewek itu sedikit mendongkak ke kanan dan melihat poster film Dilan 1990 yang terpajang di sana. "Dilan, gue hari ini nonton lo bareng Max, sahabat kecil gue yang nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba baik banget sama gue hari ini," Mil nyengir kuda.

"Lo ngomong sendiri?"

Entah sejak kapan Max tiba di hadapan Mil dengan membawa dua popcorn dan dua gelas lemon tea—untuknya dan Mil. Alisnya menyerngit pertanda bingung. Matanya menatap manik mata Mil lekat-lekat—seakan sedang mencari sesuatu dari Mil.

"Cepet amat lo belinya," Mil mengalihkan pembicaraan. "Beli tiket nonton aja tadi antre, masa beli cemilan nggak antre?"

Max melangkah pelan lalu duduk di samping Mil. "Gaya gue kayak preman tadi, makanya orang lain pada takut dan gue bisa dengan gampang order cemilan, duluan."

Mata Mil memicing ke arah Max, di susul oleh bibirnya yang memberikan kode seakan meremehkan apa yang Max katakan. "Gaya mu le le," Mil menanggapi dengan logat khas Jawa.

"Lo tuh, ngapain ngomong sendiri?" Max bertanya, kemudian memberikan satu popcorn dan lemon tea pada Mil. "Dilihat aneh, tau gak?"

Mil menerima pemberian Max dengan raut wajah yang santai. "Gue tadi nyanyi."

"Nyanyi muka lo," cibir Max. "Jelas-jelas gue denger lo ngomong sendiri kok."

"Serius? Emang gue ngomong apaan?"

"Ya mana gue tau lo ngomong apa," dengus Max. "Gue cuman liat lo kayak ngomong sendiri, gitu."

Spontan Mil terkekeh pelan. Ia menggeleng samar. "Gue nyanyi, bukan ngomong."

Tling.. tling.. tling.. tling..

"Pintu teather dua telah di buka. Para penonton yang telah memiliki karcis, dipersilakan untuk memasuki ruangan teather. Mohon perhatian anda."

Terdengar suara pemberitahuan tentang pintu teather dua yang akan menayangkan film Dilan 1990 telah dibuka, sekaligus himbauan pada para penonton untuk memasuki teather.

"Udah dibuka tuh, yuk masuk!" Mil bermaksud mengajak, dan Max segera meng-iya kan ajakan itu.

Mereka berjalan beriringan—melangkah menuju pintu teather dua, untuk menonton film Dilan 1990 bersama.

Setelah tiba di dalam teather dua, Mil segera menuju kursi C7 dan C8. Mereka sengaja memesan kursi di atas agar mata mereka tidak merasa sakit akibat menghadap layar terlalu lama. Mil tak henti tersenyum ketika mereka sudah tiba di kursi C7 dan C8.

Cewek itu duduk dengan santai, sambil menyaksikan beberapa penonton lain yang tengah berlalu lalang. Ada juga karyawan mini bar yang menjual cemilan sedang berjualan di dalam teather, bersama dua orang temannya. Mereka menawarkan cemilan kepada para penonton yang belum membeli jualan mereka.

Sebelum film ditayangkan, layar lebar berwarna putih itu menayangkan beberapa trailer film yang sedang tayang maupun film yang segera tayang—sebagai pengisi kekosongan penonton yang sudah duduk di tempat duduknya masing-masing, sambil menunggu penonton lain yang masih berlalu lalang di hadapan mereka.

"Gue nggak sabar banget! Penasaran sama film nya!" ungkap Mil, senyumnya mengembang lagi. "Teman-teman bilang, kalo film nya bagus banget!"

"Lo kan emang selalu gitu dari dulu," Max menyahut seraya melirik ke arah Mil. "Semua film yang lo akan lo tonton, sebelumnya lo pasti bilang 'nggak sabar pengen nonton dan penasaran sama film nya' gitu,"

"Iya, gue emang gitu," Mil menjawab. "Tapi kali ini, banyak banget teman-teman di kelas yang bilang kalo film ini tuh bagus banget, setelah mereka nonton."

"Awas aja lo minta pulang nanti kalo film nya masih tayang."

"Tenang aja, ini bukan film horror kok!" Mil terkekeh pelan. "Kalo film horror, udah pasti gue bakalan minta pulang duluan."

"Hm," dengus Max.

***

kalian udah pada nonton film Dilan 1990 belum?😆 hayukkklah nonton film nya kalo penasaran wkwkwk.

oh iya, beberapa readers pernah ada yang tanya/mengajukan pendapat tentang Mil:
cuman bisa main piano?
nggak bisa nyanyi sambil main piano?
kayaknya lebih bagus bisa nyanyi sambil main piano, dah!

gini gaiss, sengaja gue buat tokoh Milena ini jago bermain piano aja, nggak nyanyi. kenapa? karena dia berbanding balik dengan Max yang jago nyanyi tapi kurang paham mainin alat musik! Mil sebenarnya juga bisa nyanyi, suara nya yaaaa lumayan lah WKWKW, tapi di cerita ini gue pengennya bikin Mil jago main piano aja, bukan nyanyi, hehehehe.

gue berterimakasih banget sama kalian yang udah nanya soal ini dan memberikan pendapat kalian😉

Max & Mil [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang