Alunan musik Jaz yang mengisi ruangan penuh lampu kuning itu membuat para pengunjung betah berlama-lama berada disana. Apalagi diluar sedang turun hujan, menikmati seduhan minuman hangat di kedai itu mungkin menjadi kegiatan yang menyenangkan. Hal itulah yang dirasakan oleh Mil dan Sam.
Pada salah satu meja kedai yang mereka tempati—yang berada di ditengah-tengah ruangan—terlihat segelas green tea latte dan secangkir hot coffee yang diletakkan diatas meja berukuran sedang itu. Sang pemilik minuman sedang saling melempar pandangan dan bertukar cerita. Sesekali mereka tertawa kecil, apabila hal yang dibicarakan terdengar lucu.
Sang pemilik green tea latte saat ini mengenakan jaket kulit berwarna cokelat yang menutupi kaos putih lengan panjang tanpa gambar. Kakinya yang jenjang dibalut oleh celana jeans panjang hitam yang memang terlihat cocok untuknya. Rambutnya yang lurus, panjang, serta hitam berkilau itu sengaja diurai—untuk menutupi suhu dingin yang merasuk lewat pori-porinya—termasuk bagian lehernya.
Lain lagi dengan sang pemilik hot coffee, ia hanya mengenakan kaos biru lengan pendek dan celana jeans selutut. Jaket hitam yang ia kenakan sengaja disisipkannya pada permukaan kursi kedai yang didudukinya."Jadi, tinggal di London itu enak ya?" Mil bertanya lagi—setelah kesekian kalinya ia bertanya pada cowok yang sedang duduk berhadapan dengannya.
Sam—yang merupakan orang yang duduk berhadapan dengan Mil—menyeduh pelan minumanya. Setelah itu, ia menaruh cangkir minuman yang terisi setengah cangkir diatas meja yang membatasi jarak mereka.
"Kalau saya boleh milih, saya pengin tinggal di Indonesia aja. Negara yang merupakan tempat saya dilahirkan," kata Sam.
"Berarti, nggak enak dong tinggal di London?" Mil cepat menyimpulkan.
"Bukan gitu," selak Sam. "Tinggal di London ataupun Indonesia, sebenarnya sama-sama enak. Cuman, saya lebih suka tinggal di Indonesia."
"Oh, gitu," Mil mengangguk tanda paham. "By the way, lo seangakatan sama gue 'kan?"
"Satu tahun lebih tua dari kamu."
"—Nggak gitu, maksud gue itu tingkat kelas nya," Mil bermaksud memperjelas pertanyaannya.
"Iya tau. Pada kenyataanya, saya memang lebih tua setahun dari kamu tingkat kelasnya," kata Sam lagi.
"Maksud lo—kelas dua belas?" Mil bertanya lagi.
Sam mengangguk pelan. "Iya."
"Gue kira, kita seangakatan loh!" Mil berseru secara spontan. "Soalnya, roman muka lo itu keliatan seperti umur-umur remaja kelas sebelas."
Mendengar hal itu, Sam jadi terkekeh. "Still young face, dong saya?"
"Maybe," Mil jadi ikutan terkekeh. "Jadi, setelah lulus SMA, lo bakalan kuliah? Mau ngambil jurusan apa?"
Cowok itu menggeleng samar. "Saya nggak mau kuliah."
Setelah jawaban dari Sam yang Mil dengar, alis mata Mil seketika menyerngit. "Terus, mau ngapain?"
"Daftar dan sekolah di sekolah penerbangan. Soalnya, saya kepengin jadi pilot."
"ARE YOU SERIOUSLY?!" Mil memekik keras secara tiba-tiba. Ditatapnya manik mata Sam dengan tatapan yang mengartikan jika dirinya sulit mempercayai hal yang dijelaskan oleh Sam.
"Jangan terlalu kaget. Kamu dilihatin orang-orang tuh," Sam berusaha menahan tawanya.
Setelah kalimat peringatan dikatakan oleh Sam, Mil buru-buru melirik kesekitarnya—mendapati beberapa pengunjung yang menatapnya dengan tatapan bingung. Karena itulah Mil jadi sedikit menunduk dan merasa malu. Ditatapnya lagi manik mata Sam dengan tatapan yang mengartikan betapa malunya dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Max & Mil [Completed]
Short StoryDia adalah Max, kapten basket terbaik di SMA Model. Cuek, tidak banyak omong dan sulit ditebak. Meskipun Max sama seperti cowok di luar sana yang hobi bermain basket dan menonton film action, percayalah, dia juga hobi membuat Mil kesal. Lain lagi d...