BAB 14

2.1K 148 5
                                    

Anya membereskan buku-buku paket serta buku tulis fisika yang berserakan diatas meja nya. Ia bergegas meletakkan buku-buku tersebut ke dalam ranselnya, begitu juga dengan peralatan tulisnya seperti pensil, penghapus, bolpoin, serta penggaris, yang ia masukkan ke dalam kotak pensil lalu memasukkan kotak pensil itu ke dalam ranselnya. Namun untuk penggaris, ia langsung saja meletakkanya di dalam ransel.

"Anya!" seseorang menyebut namanya. Dia adalah Gita, teman satu kelas dengan Anya yang juga merupakan teman sebangkunya. Dengan membawa minuman berbungkus kotak yang ia beli di kantin, Gita melangkah menuju bangku Anya. "Lo dipanggil Bu Berta sekarang di ruang guru."

"Oh—," Anya mengangguk paham. "Thanks Git infonya. Gue ke ruang guru sekarang."

Selepas Gita mengangguk tanda paham, Anya beranjak dari bangkunya menuju ruang guru yang terletak di lantai satu. Ia harus melewati lorong-lorong kelas sebelas terlebih dulu, yang merupakan jalan satu-satunya menuju tangga yang akan membawanya tiba di lantai satu.

Begitu tiba di tangga, Anya langsung saja menuruni anak-anak tangga itu dan kembali melanjutkan langkahnya melewati lorong-lorong kelas sepuluh—satu-satunya jalan untuk tiba di ruang guru. Tak menempuh waktu lama untuk tiba di ruang guru, karena letaknya tak jauh dari lorong ruang kelas sepuluh.

"Selamat siang Bu," dengan nada bicara yang terdengar sopan, Anya menyapa Berta ketika tiba dihadapannya. "Ada apa ya, Ibu manggil saya?"

"Silakan duduk Anya," Berta menjawab tanpa melirik sedikit pun kearah Anya. Berta masih berkutik pada lembaran-lembaran kertas putih yang terisi ratusan kalimat—yang bahkan Anya sendiri tak tahu itu lembaran tentang apa.

Anya mengangguk pelan tanpa mengingat jika anggukan itu hanya sia-sia saja. Sebab, Berta tak melihatnya. Ia kemudian duduk di kursi kosong—berhadapan dengan Berta yang masih fokus dengan pekerjaanya. Yang membatasi jarak mereka hanyalah meja kayu berwarna cokelat yang diatas permukaan meja itu diletakkan tumpukan-tumpukan buku tulis serta beberapa buku paket fisika. Terdapat juga alat-alat tulis milik Berta yang diletakkan di dalam tempat pensil hasil karya anak-anak Seni Keterampilan.

"Gimana kabar kamu?" Berta bertanya. Masih sama, tanpa melirik sedikit pun kearah Anya.

"Baik, Bu," jawab Anya pelan.

"Syukurlah kalau gitu," kata Berta. "Persiapan untuk olimpiade fisika, gimana?"

"Saya sudah mempelajari materi-materi yang Ibu berikan," Anya menjelaskan masih dengan suara yang terdengar sopan. "Semua soal-soalnya sudah saya kerjakan Bu. Sudah saya cocokan juga dengan jawaban yang benar."

Berta membenarkan kacamata nya yang hampir melorot. Pikiran serta tangannya kini tak lagi fokus dengan setumpuk lembaran yang merupakan pekerjaanya. Sekarang, tatapan Berta beralih pada wajah Anya—yang berada di hadapannya. Ditatapnya lekat-lekat manik mata Anya, seolah ada sesuatu yang ingin ia tanyakan terhadap murid nya itu.

"Hasilnya?"

Deg.

Tidak tahu alasan yang pasti, Anya tiba-tiba saja merasa gugup dan bingung harus menjawab apa. Sebuah pertanyaan simpel dari Berta berhasil membuat dirinya mendadak kaku tak berdaya. Ditambah lagi sebuah tatapan yang sulit dimengerti dari Berta—membuat Anya semakin merasa gugup.

"Dari seratus dua puluh soal yang Ibu berikan, saya berhasil menjawab dengan benar sebanyak sembilan puluh tujuh soal," Anya menjelaskan dengan getir. Ia masih menatap manik mata Berta yang semakin membulatnya kepadanya. Tatapan tanpa diketahui artinya itu sesungguhnya semakin membuat Anya jadi takut—takut dengan tanggapan Berta mengenai pernyataanya. Namun, bagaimana pun juga, Anya memang harus memberitahukan yang sebenarnya.

Max & Mil [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang