BAB 21

1.9K 128 26
                                    

Mil POV (Point Of View)

Perkataan Max benar-benar membuatku kesal bukan main. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu, tanpa sadar kalau dia juga mencampuri urusan Brenda. Huh, manusia jaman sekarang memang seperti ini; tak sadar dengan perbuatannya sendiri. Mungkin Max akan menganggap kalau aku ini baper. But, i don't care! This is my self, terserah aku ingin berbuat apa. Dia tidak ada hak untuk mengatur keputusan yang aku buat, termasuk mencampuri permasalahan Brenda. Satu hal yang paling tidak aku suka; niat baikku dianggap hal yang salah oleh orang yang tidak tau kebenarannya. 'Kan percuma saja dia menganggap niat baikku salah, kalau nyatanya dia sendiri tidak memiliki bukti.

Dengan berat hati, aku keluar dari kelas—sambil menenteng ransel merah muda milikku. Ini sudah pukul 13:45, itu artinya waktu pulang sekolah tiba. Aku melangkah dengan santai melewati lorong kelas demi kelas. Keadaan disini cukup ramai, para siswa dan siswi berbondong-bondong keluar dari kelas, sama seperti diriku. Kebanyakan dari mereka keluar dari kelas dengan membawa perasaan semangat. Mungkin mereka senang karena jam pelajaran telah usai. Dan seharusnya aku juga senang seperti mereka. Karena setiap bell tanda pulang sekolah berdering, aku pasti lega dan merasa senang. Tapi, kali ini tidak terjadi seperti itu. Aku keluar dari kelas dengan membawa rasa kesal, malas untuk berbicara pada siapapun, dan hanya ingin pergi sendirian. Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa mood ku tiba-tiba menjadi sangat buruk seperti ini.

Sekarang, aku sudah tiba di halaman depan sekolah—sangat dekat dengan tempat parkir sekolah. Disini juga ramai, bahkan sangat ramai. Suara mesin motor berloba-lomba saling bersahutan. Ada juga sang pemilik motor yang membunyikan klaksonnya—karena tidak sabar mengantre untuk keluar melewati gerbang sekolah. Aku mendengus pasrah, setelah menyadari kehadiran Max diantara gerombolan siswa-siswi diparkiran itu. Ternyata, Max juga menyadari kehadiranku. Aku lantas segera membuang pandang ke segala macam arah—terkecuali kearah Max. Aku bergegas melangkah cepat menuju gerbang sekolah. Yang kuinginkan kali ini hanya menghindari Max, karena aku masih merasa kesal terhadapnya. Ku bawa langkahku menepi didepan gerbang sekolah—sambil terus melangkah tanpa tujuan. Aku sempat berniat untuk memesan G-jek, tapi, aku mengurungkan niat itu. Dan kuputuskan untuk menunggu angkot di halte bus. Kedaan disini juga cukup ramai, karena banyak anak-anak yang satu sekolah denganku juga menunggu bus atau angkot di halte ini.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Segera ku ambil ponsel yang kuletakkan didalam saku rok seragam ku, kemudian mengusap layar ponsel itu sekali. Sebuah pesan dari orang yang ku kenal baru saja terkirim ke ponsel ku, dan aku buru-buru aku baca pesan itu.

Vania : Lo nggak lagi diruang musik kan? Soalnya hari ini khusus anak-anak vokal aja yang perfome, kita kan udah kemarin. Jadi, boleh langsung pulang.

Setelah membaca pesan, segera ku balas pesan itu.

Mil : Nggak kok, gue lagi nunggu angkot di halte.

Setelah pesan sukses terkirim, aku meletakkan ponselku di dalam ransel, lalu kembali menunggu angkot lagi. Namun, tiba-tiba saja tanganku diraih oleh seseorang. Tanpa berkata sepatah dua patah kata terlebih dulu, orang itu langsung menyeretku keluar dari halte—mengajakku untuk berdiri berhadapan dengannya ditrotoar dekat halte.

Kupandangi dengan saksama wajah seseorang yang telah menarik tanganku tanpa izin, dan ternyata, aku mengenali orang itu. Sangat mengenalinya. Dia juga mengenakan seragam sekolah yang sama sepertiku. Bedanya, dia mengenakan celana, sedangkan aku mengenakan rok. Rambutnya yang sama sekali tidak terlihat berantakan sejak tadi pagi membuat aura ketampanannya semakin terlihat. Sedangkan tubuhnya yang tinggi dan kekar, membuat gadis manapun akan terpesona dengannya. Dia adalah sahabat kecilku, Max Dino Bramasta.

"Berangkat bareng gue, pulang sekolah juga harus bareng gue!" Max berbicara padaku setelah sesi tatap menatap yang terjadi hanya beberapa detik berakhir. Wajahnya yang ganteng kini memperlihatkan ekspresi tanda dirinya sedang kesal, entahlah kesal karena apa dan kesal kepada siapa. Kupandangi lekat-lekat bola matanya itu, dan menyadari akan sesuatu yang berbeda dari tatapannya seperti biasa. Tatapannya yang sekarang memiliki arti kekhawatiran yang mendalam, aku juga tidak tahu dia khawatir karena apa dan khawatir kepada siapa.

Max & Mil [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang