Suara shower yang tadi terdengar deras tiba-tiba menghilang. Sam mematikan keran shower setelah memastikan tubuhnya bersih dari busa sampo dan sabun. Setelah menyeka tubuh sekadarnya, dia melilit handuk di pinggangnya, lalu keluar dari shower booth.
20:05, waktu nya untuk bersantai. Sam mengancing celana jeans midnight blue kesukaanya sambil mendengar alunan musik merdu yang terdengar menguasai seluruh penjuru ruang kamarnya.
Merasa haus, ia meraih segelas kopi hangat yang terletak di atas nakas tempat tidurnya—usai mengenakan pakaian. Ia membawa cangkir berisi kopi itu ke sova putih yang empuk—seraya menonton tayangan di televisi.
Sesekali dirinya menghirup pelan nikmatnya aroma kopi buatanya itu, lalu mencicipi nya sedikit demi sedikit.
Tok tok!
"Sam?"
Suara familier itu terdengar dari depan pintu kamar Sam—yang bernuansa cokelat gelap, sama seperti nuansa di kamarnya; bersih, rapi, berukuran luas, dan elegant. Siapa pun yang menempati ruangan ini, pasti akan merasa nyaman. Sebab, kamar Sam di rancang seindah dan tidak terlalu meriah mungkin—tentunya oleh arsitek ternama di London.
Sebelum menjawab panggilan itu, Sam memilih untuk menyeduh sekali kopi kesukaanya. Ia kemudian menaruh cangkir berisi kopi itu di atas meja ruang televisi, kemudian beranjak menuju pintu kamar nya.
Sam membuka pintu kamarnya dan melihat sosok wanita yang usia nya hampir mencapai kepala empat tengah berdiri di hadapannya. Wanita itu mengenakan dress berwarna biru selutut, bagian lengan nya di-desain dengan indah. Tak lupa ia mengenakan heels berwarna putih, serta rambut cokelat nya yang ia hias secantik mungkin.
"Where are you doing, now?" wanita itu tersenyum kepada Sam, ketika mereka sudah berhadapan sekarang. "Does mother bother you?"
Sam menggeleng samar. "Not."
Sarah tersenyum kecil usai mendengar jawaban dari anak semata wayangnya. "Can we talk for awhile?"
Cowok itu menatap sejenak manik mata Sarah, sebelum ia menjawab permintaan sang Ibu. Memang selalu seperti itu, Sam sangat dingin terhadap kedua orang nya—entahlah dengan teman-temanya, terkadang dia dingin, terkadang juga tidak. Sejak kecil, cowok itu selalu melakukan tindakan tanpa perlu bicara terlebih dulu. Dia sangat peduli dengan orang-orang disekitarnya—terlebih lagi kepada orang yang dia sayangi, namun, tetap saja sikapnya akan dingin. Karena menurut Sam, seseorang membutuhkan pembuktian—bukan hanya perkataan yang berujung kebohongan.
Sam mengangguk samar lagi, ia kemudian mempersilakan Ibu nya untuk masuk ke dalam kamarnya dan membiarkan Sarah duduk di sova putih—disusul oleh Sam yang duduk di sampingnya. Sebelumnya, Sam sudah menutup pintu kamarnya—berjaga-jaga apabila ada yang mengintip ketika Ibu nya sedang berbicara mengenai sesuatu yang mungkin saja penting.
Sarah mendengus pelan, lalu berpaling ke arah Sam. Ia menatap lekat-lekat manik mata Sam yang teramat cokelat. Nampak pula senyuman kecil yang terukir di permukaan wajah wanita itu. "Kamu masih ingat dengan Milena?"
Sebuah pertanyaan yang berhasil membuat jantung Sam berdetak cepat. Pertanyaan yang Sarah berikan sukses membuat Sam sulit untuk menjawab 'ya atau tidak'. Ia merasa sesuatu yang sudah ia buang jauh-jauh bahkan ia paksakan untuk menguburnya, tiba-tiba saja datang dan kembali lagi padanya. Sungguh, Sam tidak pernah mengira jika pertanyaan yang Sarah lontarkan ialah mengenai Milena—gadis asal Indonesia yang dulu sempat berteman baik dengannya.
"Tanpa kamu menjawab pun Mamah tau, kamu masih mengingatnya," Sarah melanjutkan perkataanya. "Mamah tuh dulu suka banget lihat kamu sama dia kalau lagi main bareng. Milena sering nangis gara-gara kamu, tapi, kamu selalu berhasil bikin dia ketawa lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Max & Mil [Completed]
Short StoryDia adalah Max, kapten basket terbaik di SMA Model. Cuek, tidak banyak omong dan sulit ditebak. Meskipun Max sama seperti cowok di luar sana yang hobi bermain basket dan menonton film action, percayalah, dia juga hobi membuat Mil kesal. Lain lagi d...