Sheet 44 : The Ring From The Past

265 41 1
                                    



.

30 September 201X

Sasuke dan aku menjalani hari-hari seperti biasa, diantara kami berdua memang masih terasa kecanggungan. Tentu saja Sasuke yang hilang ingatan harus menyesuaikan diri dengan keberadaanku mulai saat ini. Aku juga berusaha untuk menerima keadaan Sasuke, walau tentu saja aku merasa sedih ketika tiap kuajak berbincang Sasuke hanya akan menyahut dengan singkat dan datar. Tatapannya bahkan tak terasa hangat, ia hanya mengikuti kemana ajakanku. Ini... membuatku merasa seolah ia tak benar-benar berniat bersamaku.

Sasuke tak bisa mengingat semua masa lalunya. Ketika kucoba tuk menunjukkan foto kami bersama teman-teman selama SMA, Sasuke hanya bergumam tak jelas. Dan memperhatikannya dengan datar seolah tak tertarik. Sasuke terasa semakin misterius saja.

Tak ada yang berubah... semua tetap seperti ini.

Aku pernah bertanya pada dokter yang menangani Sasuke selama ini, namun beliau tak bisa berbuat banyak, bahkan memastikan apakah amnesia yang dialami Sasuke permanen atau tidak. Dan yang bisa kulakukan saat ini, hanya menunggu dan menunjukkan pada Sasuke bahwa aku ada.

Aku menunjukkan foto ketika kami satu sekolah dulu, kemudian memberi tahu siapa saja nama-nama sahabat dan teman dekat yang mengenal kami. Sasuke hanya mengangguk tanpa ekspresi yang berarti.

Selanjutnya, aku mengajaknya ke taman bermain, taman yang beberapa tahun lalu tampak ramai kini mulai terlihat lenggang. Mungkin karena saat ini hari telah beranjak menuju sore, berjalan-jalan kemanapun, dan aku menunjukkan beberapa spot yang pernah menjadi kenanganku dan Sasuke di masa lalu. Namun, Sasuke bahkan hanya menatap datar semua yang kutujukkan.

Aku bahkan merasa senyum tegar yang kupaksakan perlahan-lahan akan runtuh, bahkan airmata telah menumpuk di pelupuk. Kenapa semua yang kutunjukkan seolah tak berarti, kemana Sasuke yang dulu?

Sasuke berjalan mendahuluiku, membuatku bisa melihat punggung tegapnya yang seolah terasa jauh, terasa sangat dingin dan asing bagiku. Seolah Sasuke yang dulu bersamaku telah mati.

"Sakura?" ketika ia memanggil, aku yang terpaku segera tersadar. Segera mungkin aku berteriak untuk membalas panggilannya, kemudian berlari kecil menuju sosoknya yang berjarak beberapa meter dariku. Berhenti di sampingnya dan memasang senyum manis seperti biasa.

"Ne, ada apa?" tanyaku. Sasuke tak menyahut, ia menatap ke depan, sedikit mendongak membuatku seketika ikut menatap depan seolah memahami isyarat tanpa kata darinya.

Manikku sedikit melebar ketika sebuah bianglala raksasa dengan latar matahari yang akan tenggelam menjulang tinggi.

"Mau naik?" tanyanya. Aku hanya bisa terpana, ketika tangan besar Sasuke tiba-tiba menarik lenganku. Air mata haru seolah melesat-lesak dari pelupuk, terjun bebas seolah Sasuke yang dulu telah kembali.

Oh, bahkan sudut bibirku serasa ingin berkedut dan mematrikan senyum.

Antrian tak cukup panjang, kami berdua naik ke salah satu gondola bianglala. Sasuke duduk di kursi satunya sementara aku berada di hadapannya. Matahari kian padam, begitu juga dengan semburat-semburat orange yang nantinya kan sirna seiring gelapnya malam. Lampu-lampu di setiap sudut taman bermain mulai menyala.

Matahari mengirimkan cahayanya yang terang sebelum ia melanjutkan keberadaannya dibelahan bumi yang lain.

"Dulu... kita juga pernah seperti ini." ucapku tiba-tiba. Sasuke hanya menatapku datar. "Rasanya kangen sekali ya.., waktu itu, aku ingat... kita bertiga, aku, kau dan Ino-sahabatku- kita pergi ke taman ini bersama-sama. Waktu itu aku merajuk karena kau lebih banyak bermain bersama Ino, kemudian kau menghiburku dengan tiba-tiba menci-"

"Sayangnya aku tak mengingat apapun." Tiba-tiba Sasuke memotong ucapanku, memalingkan wajahnya menghadap mentari yang tinggal separuh.

Aku hanya bisa tergugu, mengantupkan bibir dan mengembangkan senyum getir. Benar juga, Sasuke mana mungkin ingat tentang semua itu?!

Tes....

Tes...

Kurapatkan kelopak mataku, berusaha menghalau tetesan-tetesan air yang tiba-tiba tanpa ijin meluncur deras. Membuatku merasa sangat kesal. Tanganku terangkat mencoba menghalau tetesan-tetesan itu agar tak turun dari pipiku. Sasuke tak boleh melihat ini! ia tak boleh melihatku menangis!

"Kau menangis?" tanya Sasuke tiba-tiba. Ia menatapku dengan datar membuatku terhenyak dan segera memalingkan wajahku.

"A-apa sih, aku tidak menangis kok. I-ini tadi mataku kemasukan debu! Sakit nih!" dustaku, aku mengucek kasar mataku yang berair. Sementara dari sudut mataku aku hanya bisa menemukan Sasuke yang tetap menatapku datar tanpa pergerakan yang berarti.

Aku tiba-tiba memekik kecil ketika ia menarik tangan kiriku. Ia tampak sedikit mengernyit heran memperhatikan sebuah cicin dengan berlian biru yang melingkar di jari manisku. Memperhatikannya erat-erat seolah ia akan mengingat sesuatu.

"Aku merasa cincin di jarimu pernah kulihat sebelumnya."

"Tentu saja, kau kan yang memberikannya padaku!"

"Apakah... ini berhubungan erat dengan masalaluku?" tanyanya kemudian, aku hanya mengangguk kecil, ini cincin yang kau berikan khusus untuk seseorang yang kau cintai. Dan kau memberikannya padaku sebelum kepindahanmu ke Kanada.

"Begitu ya?" ia mengembangkan senyum tipis. "Aku tak menyangka bahwa dulu aku sungguh gila sampai-sampai memberikan cincin untuk tanda persahabatan kita." Ujar Sasuke.

Ketika ia mengatakkannya, rasanya aku merasa sesak luar biasa seolah tak bisa bernafas. "Ayo pulang!" ketika sadar, matahari telah padam dan godola yang kami naiki telah berhenti bergerak. Aku hanya bisa mengikuti langkahnya yang berada dua meter didepanku.

Punggungnya terliat lebar, ia lebih kokoh, namun juga terasa sangat dingin dan misterius. Sekali lagi, aku menatap cincin biru yang dulu Sasuke berikan padaku.

Hai, cincin mungil? Kau yang dulu menjadi bukti cintanya di masa lalu padaku, bisakah kau beritahu dia bahwa ada aku di sini?

.

50 Sheet of Paper DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang