Terpelatuk

5.6K 495 153
                                    

Di bookstore tempatnya bekerja Lila diomelin habis-habisan oleh bosnya, setelah Senin sebelumnya tidak memberitahukan alasannya absen kerja. Lila hanya bisa pasrah, karena waktu itu ia betul-betul lupa. Hp saja tak ia pedulikan.

Di kampus tadi ia juga malas-malasan belajar. Nyaris semua penjelasan tiap dosen tak ia dengarkan—walau matanya terus menatap. Menatap hampa. Masih mending masuk kuping kanan keluar kuping kiri, masih ada yang lewat. Lah ini? Masuk kuping kanan keluar kuping kanan; membal. Rasanya tak ada gairah untuk kuliah.

Teman-temannya juga tidak begitu ia hiraukan.

Atik tak henti-hentinya memastikan keadaannya. Bertanya, apakah kelesuannya itu terkait dengan sakitnya yang kemaren atau tidak. Joni pun sama saja, walau tak semengesalkan Atik yang selalu cangkeman tiap ada kesempatan. Joni lebih santai meski raut khawatir tetap ia perlihatkan.

Ya, mereka perhatian. Hanya saja Lila sedang tidak enak pikiran.

Ingat ya, tidak enak pikiran. Bukan tidak enak badan.

Bahkan, jadwal padat yang dulunya Lila bangga-banggakan itu mulai ia benci hingga ke ulu hati. Ia tak punya waktu yang cukup untuk mengistirahatkan pikirannya yang terlampau error.

Bukan karena ia gunakan terus-menerus. Justru sebaliknya; jarang ia pakai.

Kalaupun terpakai, apalagi kalau tidak diperuntukkan hanya untuk dia seorang.

Ah, hidupnya terlalu membosankan.

Akhirnya jeda beberapa menit yang ia miliki, ia maksimalkan untuk menenangkan pikiran. Bukan di kelas atau perpus tempat ia biasa nangkal, melainkan di toilet kampus.

Ya, toilet kampus, saudara-saudara.

Untuk sampai ke sini, ia sampai berkali-kali bersilat lidah dengan Atik yang dua kali mengajaknya untuk makan dan satu kali memaksanya ke medical center. Karena temannya itu mengira Lila masih kecapekan dan butuh pengobatan. Padahal yang dibutuhkan hanyalah kasih sayang.

Namun mengingat ia yang kurang berbakat dalam hal persilatan lidah, Lila tak mampu memenangkan perseteruan sengit dengan Atik. Makanya Lila terpaksa mengeluarkan jurus terakhirnya, yaitu jurus menghilang—seribu bayangan. Ia kabur—dalam arti yang sebenarnya—melarikan diri dari Atik setelah ia dibungkamnya dengan paksaan dan tekanan.

Untung saja temannya itu rada semok alias buntal. Kalau tidak pasti dia akan menyusulnya dengan gampang dan ujung-ujungnya tahu dimana Lila menyembunyikan badan.

Dan jadinya, tadi, di toilet yang berbeda-bedalah ia menghabiskan tiap jeda kuliahnya—yang durasinya tak seberapa itu untuk sekadar duduk di closet dan diam mengosongkan pikiran. Istilah bekennya, yoga.

Ya, yoga ala Lila.

Kosong. Pikiran. Ia ingin mengosongkan pikiran.

Setelah pikirannya runyam hanya karena satu orang.

Satu orang! Bajingan.

"Pikiran. Kosong."

Memejamkan kedua matanya, mantra itu ia lafadzkan dengan pelan dan penuh penghayatan.

Tolol

Ia merasa sia-sia.

Bisakah kau melenyapkan sesuatu dari pikiranmu tanpa memikirkannya terlebih dahulu?

Percuma.

Ia jadi teringat suatu cerita, dimana seseorang diminta untuk tidak membayangkan gajah. "Jangan bayangkan gajah!" Perintah entah siapa kepada entah siapa lainnya.

Love is wanting to be LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang